Hari kedua aku berada di Jogja, sengaja hari ini aku datang ke kampusku dulu, untuk napak tilas mengenang masa lalu yang pernah kulewati. Aku duduk di Perpustakaan kampus, setelah menyetor muka ternyata penjaga perpus tidak berganti. Aku duduk di pojok ruangan, dulu ini menjadi tempat favoriteku. Kuedarkan pandanganku ke seluruh bangunan ini, tidak banyak berubah hanya beberapa rak buku yang semakin bertambah.
Aku terkekeh pelan ketika teringat saat itu, aku dikejar oleh Dosen Pembimbing Kerja Praktik, untuk segera melaksanakan Seminar. Waktu itu aku lagi enak-enak menikmati es Milo di kantin kampus, tiba-tiba si Dosen menghampiriku, "Kamu KP tahun 2012, sekarang sudah tahun 2014. Nggak ada niat mau ngajuin seminar? Saya mau ke Kanada soalnya."
Aku yang waktu itu tidak terlalu peduli dengan ancaman sang Dosen, malah menganggap angin lalu ucapannya. Tak berapa lama dari pertemuan kami di Kantin, aku mendengar kabar bahwa pak Wahyu sudah berangkat ke Kanada. Aku langsung menghubunginya dan kemudian dia menyuruhku untuk segera ke ruang Dosen dan menemui pak Djarot.
Setelah berganti dosen Pembimbing KP aku mulai merasakan kegalauan yang sebenarnya, pak Djarot terlalu banyak maunya, sehingga laporanku yang sudah selesai itu harus direvisi kembali. Aku sempat nangis berhari-hari, sampai si Ares sialan itu datang ke kosanku dan membantuku mengerjakan laporan mulai dari BAB I sampai Daftar Pustaka. Sungguh baik sekali Ares saat itu.
Di sela-sela kesibukanku men-download drama Korea, pak Djarot menemukanku dengan mata yang memicing, "Syarat ngajuin proposal skripsi, harus selesai seminar KP," ucapnya dengan wajah yang menurutku minta ditonjok.
"Iya, Pak," jawabku santai.
"Iya apa?" katanya lagi.
"Besok saya seminar deh, Pak," aku cengengesan. Tak begitu yakin dengan kesiapanku jika harus langsung seminar besok. Karena yang mengerjakan perbaikan laporanku hampir seratus persen si Ares.
"Ya, nggak bisa langsung dong, saya kan kudu meriksa laporan kamu, kalau memang belum selesai ya mau nggak mau kamu ngajuin proposalnya tahun depan," jelasnya yang langsung meninggalkanku sendirian tercenung.
Aku tersenyum singkat se-absurd itu aku dulu, bahkan untuk mengerjakan laporanku saja aku harus meminta bantuan Ares, yang tentu saja mendapatkan ejekan-ejekan penuh hinaan dari mulut lemes Ares.
Dulu aku dan Ares kuliah di kota yang sama, kami sama-sama merantau ke kota Pelajar ini, sayangnya otakku yang tidak seberapa ini hanya mampu kuliah di Perguruan Tinggi Swasta, Sementara Ares kuliah di UGM jurusan Akuntansi. Tapi, walaupun begitu Ares selalu menyempatkan diri untuk main ke kosanku setiap Weekend atau ketika ia tidak ada kesibukan dengan kuliahnya.
Sebenarnya aku yang ikut-ikut Ares untuk kuliah di Jogja. Waktu itu dia sempat marah karena aku mengikutinya, katanya aku akan menjadi bebannya jika kami sama-sama di Jogja. Tentu saja aku setuju, aku sangat membutuhkan otak cerdas Ares, aku tak sanggup bila harus berjauhan dengan otak yang dimiliki cowok sombong itu.
Aku mengikuti tes ujian masuk di UGM, namun nasib berkata lain aku tidak lulus, dan kabar buruk itu merupakan kabar baik bagi Ares. Melihatnya senang meninggalkanku, aku mencoba mendaftar di kampus lain yang ada di Jogaj dan aku diterima. Setelah mendapat kabar bahagia itu, aku langsung ke rumah Ares dan memberi kabar kalau aku lusanya akan segera ke Jogja untuk mendaftar ulang. Tante Desi yang mendengar kabar baik itu, bertepuk bahagia akhirnya Ares ada temannya.
Ares yang saat itu duduk di sofa rumahnya, langsung menatapku malas.
"Bagus apanya, Ma, yang ada dia tu nanti bakal jadi beban Ares," katanya langsung bangkit dari sofa, begitu aku duduk di sebelahnya.
"Mulut kamu lho, Res. Kadang nggak sadar kalau nyakitin orang." Tante memukul kepala Ares dengan centong nasi.
"Lo kan hidup di dunia ini, memang terlahir untuk gue susahin, Res." Aku nyengir kuda ketika matanya menyorotiku tajam.
"Yaudah, aku balik dulu ya, Tan. Bye Aresku, See you at Jogja, muaah." Aku langsung berbalik.
"Enak aja, gue daftar ulang di UI kok, Bye Parasite." ucapan Ares membuatku terdiam.
Aku berpikir sejenak mengingat begitu banyak hal yang sudah kulakukan semuanya hampir menyusahkan cowok jangkung itu. Aku akhirnya tersadar kalau aku bahkan tidak pernah melakukan apa-apa selain menyusahkan Ares. Aku bisa memahami kalau Ares mulai bosan jika harus terus menerus bersamaku. Aku memilih meninggalkan rumah Ares tanpa menatapnya.
Aku tidak tersinggung dengan ucapannya yang mengataiku parasit, yang membuatku takut ketika tatapan Ares sudah mulai menajam, itu artinya ia sedang serius dengan kata-katanya.
setelah kejadian hari itu, aku tak tahu apa yang terjadi karena aku sudah siap untuk berangkat ke Jogja tentunya diantar oleh Mama dan tante Mala.
Di Sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa aku mencoba untuk bertahan tanpa Ares. Aku harus mebiasakan diri tanpa pria itu, sampai suatu waktu aku tak sengaja bertemu Ares di sebuah tempat makan, saat itu aku sedang bersama seorang cowok yang kuanggap pengganti Ares. Dengan tanpa dosa cowok bernama Ares itu mendekatiku dan menatapku seolah tak percaya.
"Pantesan aja, tante Jani, mohon-mohon ke gue supaya gue kuliah di sini, ternyata kelakuan anaknya begini. Kasihan gue sama tante Jani, punya anak yang nggak bisa dipercaya," katanya panjang lebar. Tak peduli dengan hatiku yang seakan berteriak memintanya diam.
Dia boleh mengataiku apapun tapi kalau sudah di depan orang, itu artinya pembunuhan karakter. cowok bernama Bryan di depanku meminta penjelasan, siapa orang yang tiba-tiba muncul di hadapan kami saat itu.
"Lo ngomong apa sih, Res. Nggak jelas tahu nggak? lagian nih ya, gue mau pergi ke mana dengan siapa itu nggak ada sama sekali urusannya sama lo!"
Setelah mengucapkan itu aku langsung pergi meninggalkan Ares yang mungkin sedang melapor ke mama, apa yang barusan terjadi. Pasalnya tak lama dari situ aku mendapat telpon mama dan mama mencak-mencak marah. Aku sudah mencoba menjelaskan tetap saja tak diterima oleh mama. Anak kesayangannya Ares pasti lebih dipercaya daripada anak kandungnya sendiri. Aku kesal bukan main dengan tingkah Ares yang semena-mena itu.
Tak berapa lama setelah aku tahu kalau Ares juga kuliah di Jogja aku langsung meminta Ares untuk bertemu. Kami bertemu di sebuah tempat yang tak jauh dari kampus UGM, kuperhatikan ia sedang bersama perempuan, manis dan cantik. Seperti biasa Ares selalu mudah mendapatkan cewek dengan sekali tebar pesona.
Aku langsung mendekati Ares dan memeluknya sudah kupastikan kalau Ares dan cewek itu kaget dengan apa yang aku lakukan.
"Dia siapa, Res?"
Aku bisa mendengar kata-kata cewek yang di depan Ares itu dengan jelas.
"Bukan siapa-siapa," jawab Ares tenang.
Sial, Ares selalu punya kemampuan untuk terlihat tenang bahkan dalam masalah sesulit waktu itu.
"Kamu pulang duluan, Shill, aku ada urusan dengan orang ini."
Aku sudah mau muntah rasanya ketika mendengar Ares ngomong pakai Aku-Kamu. Setelah memastikan cewek yang dipanggil Shill itu pulang, Ares menatapku tajam. dan untuk pertama kalinya aku tidak takut untuk tatapan itu.
"Itu balasan dari gue, karena lo ngadu ke mama!"
Aku menatapnya tak kalah tajam.
"Gila ya lo?" Kurasakan Ares mulai kesal dengan tingkahku ini. Mungkin ia merasa gagal untuk mendapatkan cewek cantik tadi.
"Lo yang gila, seenaknya aja ngadu ke mama, terus asal nuduh orang aja, Gue ya nggak peduli lo kuliah di sini atau di mana, gue juga nggak berharap lagi bisa dekat-dekat dengan lo, jadi kalau keberadaan lo di sini mengalasankan gue, semua itu basi, Res. Dan juga apa lo bilang? mama mohon-mohon ke elo supaya kuliah sama dengan gue? Lo bego! gue kira lo pinter taunya lo lebih bego dari gue, nggak ada pendirian banget jadi cowok! Besok gue balik ke Jakarta dan gue bakal minta ke mama supaya gue pindah dari tempat ini. Lo kan yang bilang kalau gue parasit!"
Setelah mengatakan semua itu aku langsung melangkah meninggalkan Ares yang sekarang masih berdiri di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle In 29th
ChickLitAku perempuan dua puluh sembilan tahun yang memiliki impian tapi hobi rebahan. Perempuan dengan segala kelemahannya dan berusaha untuk bangkit dari segala macam kegagalan yang pernah ia alami. -Nay-