12

295 24 5
                                    

Sudah lebih dari seminggu aku tak pernah peduli dengan Ares, bahkan aku memblokir kontak Ares dari whatsapku. Akhir-akhir ini aku pulang nebeng Miko dan sore ini pun aku harus memaksa Miko untuk mengantarku, karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, sementara Ela tempatku biasa nebeng dia hari ini tidak masuk.

"Thank you, Mik. besok-besok gue ngulang." Aku nyengir tanpa dosa.

"Besok-besok bayar,Nay. Makanya baikan sana biar gue nggak dilihatin kayak yang udah ngerebut cewek orang aja," sewot Miko. "Yaudah gue balik, see you." Miko melambaikan tangannya sebelum pergi lalu mengegas motor kesayangannya.

Ia menunduk ketika melewati pagar rumah orang sebelah, aku menoleh. Seseorang sudah bersedekap memandangiku dengan wajah seolah mau mengejek. Aku sudah paham sekali dengan ekspresi itu, seandainya aku sedang baik-baik saja dengan orang itu, aku tak segan melemparnya dengan sepatuku.

Daripada pusing memikirkan orang itu, lebih baik aku langsung masuk ke rumah. Aku merasa ada yang mengikuti langkahku, tapi malas sekali rasanya untuk menoleh. Aku ada di mode malas untuk menanggapi orang itu.

"Assalamualaikum," ucapku ketika sudah sampai di depan pintu.

Rumah nampak sepi, biasanya  sesore ini lampu depan sudah hidup. Aku bingung ke mana mama yang biasanya sibuk ngomel saat aku pulang kesorean. Aku meraih ponselku, tapi suara seseorang mengurungkan niatku.

"Tante Jani pergi ke rumah tante Mira, persiapan buat nikahan si Juna," jelasnya.

Aku ingat mama waktu itu bilang kalau mas Juna mau menikah, duh beruntung banget sih yang jadi istrinya.

Cukuplah memikirkan keberadaan mama, aku lebih baik mendudukan diriku yang seharian ini sangat lelah dan butuh istirahat. Aku memilih duduk di kursi yang ada di teras kami ini, sambil memanjangkan kaki lalu memejamkan mata. Tak peduli dengan makhluk asing yang masih berdiri tak jauh dari tempatku.

"Nay, maaf," lirihnya pelan.

Aku tak berniat sama sekali membuka mataku, yang kudengar ia menggeser kursi dan sepertinya duduk di sebelahku. Masih saja mataku tertutup rapat. Terdengar helaan napas.

"Gue nggak ngira kalau lo bakal semarah ini," lanjutnya.

"Please, Maafin gue sekali ini, Nay."

Aku masih saja belum minat membuka mata.

"Gue salah banget kemarin makanya gue jadi nggak tenang pas lo nyuekin gue gini, Nay."

Tak tahan menedengarkan ocehan lelaki itu aku membuka mata, lalu berdiri dan hendak meninggalkannya. Tapi, hatiku merasa kasihan juga melihat Ares ngemis-ngemis maaf, padahalkan aku bukan Tuhan.

"Lo tahu kan kayak apa mama bagi gue? Dia tu segalanya, apapun itu. Walau kadang orang yang liat gue sering debat dan adu mulut sama mama, tapi gue lebih sayang dia daripada diri gue sendiri."

Aku menatap Ares yang sekarang tertunduk lemah.

"Lo mana bisa mikir begitu, yang ada di hati lo yang penting lo seneng. Gue tau selama ini keluarga gue, udah jadi parasit di keluarga lo, makanya gue mikir wajar kalau misal lo mau semena-mena sama gue, gue ikhlas dan gue tahan."

Aku mengirup napas kasar, kulihat dia seperti kaget dan hendak membuka mulut.

"Tapi untuk sekali ini gue nggak terima, lo boleh ngatain gue sesuka hati lo, tapi kalau udah nyangkut mama gue nggak bisa tinggal diam. Emang bagi lo ini lebay, berlebihan. Tapi, bagi gue yang cuma dibesarkan oleh mama, gue nggak tahu harus gimana kalau sampai kenapa-kenapa sama mama."

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang