***
Setiba di rumah sakit, aku langsung menuju ke ruang rawat inap VIP. Kata mama, tante Desi dan Ares ada di sana. Tak cukup sulit menemukan kamar VIP. Kulihat dari posisiku, om Rayhan sedang berdiri sambil berbicara melalui ponselnya . Aku mendekat ke arah om Rayhan dan menyapanya seperti papaku sendiri."Tante Desi gimana, Om?" tanyaku dengan prihatin.
"Aduh anak om semakin cantik aja, udah nggak apa-apa, Nay. Kamu masuk aja." Om Rayhan mempersilakanku masuk ke kamar inap tante Desi.
Aku langsung menyapa tante Desi yang terbaring di brankar dengan kaki kiri yang diperban. Kudekati perempuan seumuran mamaku itu, ia tampak sudah membaik.
"Assalamualaikum, Tante," sapaku sopan
"Waalaikumsalam." Ia menjawab salamku dengan ukiran senyum di wajahnya.
"Lho, bukannya kamu di Jogja, Nay? Kata mama kamu besok baru pulang," sambungnya lagi yang berusaha bangkit dari tidurnya.
Aku langsung berlari mendekati tante Desi dan membantunya untuk duduk.
"Ada feeling nggak enak, makanya langsung pulang," jawabku seadanya.
"Maaf ya aku nggak sempat bawa apa-apa, Tan."
Aku memang lupa tadi untuk membawa buah tangan untuk membesuk, karena terlalu terburu-buru. Bagaimana pun juga tante Desi adalah mama keduaku, orang yang selalu membantu kami dalam kesulitan.
"Ya Allah, tante tu kamu besuk aja udah senang banget lho, Nay. Oh iya, kamu udah ketemu Ares?"
Oh aku hampir melupakan tujuanku pulang mendadak ke rumah padahal liburanku belum selesai. Ares, aku perlu bicara dengannya.
"Kadang ya tante nggak percaya kalau kalian itu udah dua puluh sembilan tahun, abisnya di mata tante kalian sama masih sama kayak dulu. Maafin Ares ya, dia sering banget nyakitin kamu, Ares padahal sayang lho sama kamu, Nay."
Ucapan tante Desi menyadarkanku kalau kami seharusnya bersikap lebih dewasa lagi. Aku tersenyum pelan menanggapi omongan perempuan itu.
"Tadi yang ada di depan cuma om Rayhan aja, Tan. Kalau Ares aku nggak lihat."
Seperti yang aku lihat tadi, tak ada sosok Ares di depan ruangan. Aku cuma melihat om Rayhan yang sedang berbicara melalui ponselnya.
"Tante udah makan siang?" tanyaku yang melirik ke jam yang ada di dinding kamar.
Ia menggeleng, "Makanan rumah sakit nggak enak, Nay. Tante mau pulang aja ini, om kamu kayaknya sedang urus adminitrasinya."
Aku mengangguk pelan.
Tak berapa lama, om Rayhan datang dan bilang kalau tante Desi sudah boleh keluar. Aku yang kebenaran ada di sana langsung membantu keluarga itu untuk mengemasi barang-barang yang dibawa tante Desi ke rumah sakit.
Aku menuntun tante Desi yang bersih keras tidak mau menggunakan tongkat atau kursi roda. Katanya ia hanya keseleo dan itu tidak terlalu parah. Sampai di mobil aku duduk di belakang bersama tante Desi.
Setiba di rumah mereka yang mewah ini, aku membantu tante Desi untuk keluar mobil dan menuntunnya ke kamarnya.
"Terima kasih ya, Nay. Udah bantuin tante dan bikin repot kamu," ucap tante Desi yang sudah nyaman di posisi tidurnya.
"Ih tante mah, biasa aja atuh. Yaudah ya, Tan. Aku balik dulu, mau bobok masih ngantuk."
Aku menguap tanpa menutup mulut, tentu saja langsung mendapat sorotan mengerikan dari tante Desi.
"Tutup lho, Nay!"
Sebelas dua belas kalau sudah berhubungan dengan kebiasaan jelekku. Aku nyengir kuda langsung kabur dari kamar tante Desi. Di ruang tamu mereka aku melihat om Rayhan sedang membawa tas yang dibawa dari rumah sakit tadi. Aku menyalami om ganteng itu lalu pamit pulang.
Setelah menutup pintu rumah mereka aku melihat di depan pagar ada mobil putih sedang terparkir, menunggu penjaga rumah untuk membukanya.
Emosiku kembali memuncak ketika melihat sosok Ares lah yang ada di dalam mobil itu.
Aku sengaja menunggu kedatangan pria yang hatinya kadang tak berperasaan itu.
Ia memarkir mobilnya di garasi, lalu keluar dan terdengar suara khas mobil terkunci. Kuperhatikan gerak geriknya yang semakin mendekatiku, senyuman itu. Senyuman menyebalkan dan tak akan pernah kumaafkan untuk sekali ini.
"Pulang lo?" katanya tanpa dosa.
Ia memakai kemeja berwarna biru mudah yang lengan kemejanya dilipat sampai ke siku, khas seperti eksekutif muda.
"Becanda lo nggak lucu, Res!"
"Emang gue ada becanda sama lo?"
"Nggak usah mutar balik omongan, harusnya lo nyadar udah sesering apa lo ngebohongin gue, cuma buat kesenangan lo sendiri!"
Sumpah aku benar-benar emosi, ekspresi wajahnya masih sama seperti tadi. Tanpa dosa!
"Lo ngomong apa sih gue nggak ngerti?" Dia berjalan melewatiku hendak membuka pintu rumahnya.
"Dari dulu, Res. Dari dulu lo selalu semena-mena sama gue, lo nggak tahu gimana perasaan gue pas lo ngomong tentang mama gue. Lo selalu memanfaatkan kelemahan gue cuma untuk kesenangan lo, lo nggak tahu gimana cemasnya gue harus buru-buru pulang di tengah-tengah liburan gue?"
Aku melihat Ares tak jadi membuka pintu, ia masih berdiri di sana tanpa menoleh ke arahku. Sementara air mata sialan ini turun tanpa diperintah.
"Jauh, Res. Jogja Jakarta gue buru-buru ketinggalan ini itu, gara-gara omongan lo. Pas gue pulang semuanya baik-baik aja. Becanda lo kali ini kelewatan banget, dan gue nggak nyangka lo setega ini sama gue!"
Aku langsung berlari meninggalkan Ares yang tetap tak bergeming di posisinya. Untuk apa aku berlama-lama ada di sini, hanya akan menambah luka.
Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di rumah. Mama yang melihatku menangis sesenggukan langsung menghampiri.
"Nay? Kamu kenapa?" tanya mama pelan.
Aku menoleh sejenak ke arah mama, lalu kubenamkan lagi wajahku ke bantal yang ada di sofa. Mama duduk di sebelahku, ia mulai mengusap bahuku pelan. Walaupun aku baru saja menginjak usia dua puluh sembilan tahun tapi tetap saja bagi mama aku adalah putri kecilnya nan lucu.
"Udah jangan nangis ah, Malu sama umur."
Mama menenangkanku, tapi entah mengapa semakin dielus-elus semakin aku ingin menangis. Mama bangkit dari duduknya dan kembali dengan segelas air putih. Lalu menyuruhku minum.
Aku mengangkat wajahku yang sudah bengkak karena menangis, dan meminum air yang dibawakan mama.
"Ma, kalau ada tetangga sebelah ke sini jangan kasih masuk," pintaku pada mama.
Bahkan menyebut namanya saja aku sudah malas, mama memicingkan matanya. Mamaku dan mama Ares sudah sering mendengar kalau kami sering berantem dan aku pulang-pulang nangis. Tapi kali ini berbeda, aku benar-benar sudah malas untuk bertemu Ares.
Apa yang diucapkannya sudah keterlaluan menurutku. Bisa-bisanya ia menjadikan mama alasan untuk mengacaukan liburanku. Dia tahu kalau mama segalanya bagiku dan itu justru ia manfaatkan untuk membuatku pulang.
"Emang ada apa, Nay? Kamu sampai nangis gini banget."
"Dia jahat, Ma. Dan aku nggak terima perlakuan dia kali ini." aku menatap mama dengan tatapan memohon, sungguh biarkan kali ini aku bersikap lebih dewasa dari sebelumnya.
"Bisa diomongin baik-baik, Nay. Jangan berantem kalian kan udah gede."
"Nggak bisa, dia udah kelewatan banget. Kalau mama masih ngizinin dia ke sini aku aja yang pergi dari rumah ini!"
Aku langsung bangkit dan meninggalkan mama yang terlihat kaget dengan kata-kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle In 29th
ChickLitAku perempuan dua puluh sembilan tahun yang memiliki impian tapi hobi rebahan. Perempuan dengan segala kelemahannya dan berusaha untuk bangkit dari segala macam kegagalan yang pernah ia alami. -Nay-