25 (c)

310 29 4
                                    


"Sekali lagi, tolong maafin juga anak itu ya, Nay. Om tahu dia seperti apa, makanya pas dengar dia udah lancang menampar kamu, rasanya om kecewa sama dia."

"Udah om, aku coba buat lupain semua, aku memang kadang ngeselin, makanya Ares begitu. Aku sadar diri om," cicitku yang mengingat setiap kali membuat Ares kesal.

"Walaupunnya, sejahat apapun perempuan, tak sepatutnya laki-laki berlaku kasar." Om Rayhan terlihat sangat kesal.

"Yaudah kamu istirahat dulu ya, om mau kembali ke kantor," katanya seraya mengelus puncak kepalaku. Aku mengangguk lemah.

Tak berapa lama dari itu, aku kedatang orang yang dari tadi menjadi topik dalam pembicaraan kami. Mama mempersilakan Ares masuk, tante Desi masih rerlihat kesal pada anak laki-lakinya itu.

"Nay, mama sama tante Desi mau cari makan dulu ya." Mama menyeret tante Desi yang masih betah di ruanganku.

"Aku di sini saja," kata tante Desi yang tak mengerti kode dari mama.

"Udah ayok!" ajak mama.

"Awas ya, Res. Kamu macam-macam sama Naya lagi," teriak tante Desi sebelum pintu tertutup. Aku tersenyum singkat melihat kelakuan mama dan tante Desi.

Sepeninggalan mereka aku menatap waja Ares yang lebam dan membiru. Ia duduk di sebelah brankar yang aku tiduri. Aku menggerakkan tanganku menyentuh wajahnya yang biasa mulus itu.

"Lo nggak apa-apa?" tanyaku yang sudah tahu pasti Ares kesakitan menahan pukulan papanya semalam.

"I'm okay,  lebih baik dari sebelumnya," katanya pelan.

"Beli salep terus yang rajin ngobatinnya biar biru-birunya cepat hilang," celotehku yang khawatir melihat keadaan Ares sekarang.

"Udah, gue nggak apa-apa, lo yang sekarang sakit," katanya tersenyum lembut.

"Gue udah sehat kok, semalam gue shock aja."

"Baguslah kau lo udah baik-baik aja, ada yang mau gue omongin."

"Apa?"

"Gue sama Leana batal nikah," katanya tegas tanpa beban.

Aku terkejut mendengarnya, aku tahu bagaimana Ares memuja Leana dan bagaimana bahagianya lelaki itu setiap bersama Leana.

"How come?"

"Karena yang gue cinta ternyata bukan dia," jawabnya yakin.

"Kok bisa begitu?" tanyaku bingung.

"Nay, kalau gue bilang jangan tinggalin gue, lo mau tetap di dekat gue?" katanya tiba-tiba.

"Asal lo tahu aja, yang selama ini ninggalin itu siapa? Justru gue yang sering lo tinggalin begitu aja, Res."

"Makanya sekarang gue minta lo, jangan tinggalin gue, Nay. Lo tahu gimana gue tanpa lo? Selama lo ngediamin gue? Gue ngerasa hampa, Nay."

Aku bergidik ngeri mendengarkan ucapan Ares.

"Res, kepala lo nggak kebentur kan semalam? Atau pukulan om Rayhan bisa buat orang jadi aneh?"

"Jangan ngalihin omongan, Nay. Lo bukan bocah lagi, yang nggak paham maksud gue."

Menohok sekali kata-kata Ares. Sejujurnya aku paham maksudnya paham sekali. Hanya saja aku perlu meyakinkan diriku dan Ares bahwa ini sedang tidak bercanda.

"Abisnya lebay banget tahu nggak sih, denger lo ngomong begitu tadi, rasanya agak aneh buat gue denger."

"Yaudah emang gitu yang gue rasain, maksud gue lo mau kan?"

Apalagi sekarang mau apa maksud Ares.

"Mau apa?"

"Maafin gue?"

"Gue berusaha buat lupainnya, forgive but not forget begitulah perempuan, Res."

"I know that." Ia menatapku dengan tatapan penuh harap.

Aku bukanlah perempuan yang kejam, membiarkan Ares memohon-mohon maaf kepadaku, hanya saja hatiku masih belum menerima perlakuan Ares saat itu.

Biarlah waktu yang menjawab semuanya.

Setelah keadaan membaik, dokter sudah mengizinkanku untuk pulang. Entah dapat kabar dari mana, sekarang aku melihat mas Orion tiba di kamar inapku, ia menginterupsi obrolanku dengan Ares. Kulihat wajah cemas mas Orion terpampang jelas. Ia mendekatiku seraya bertanya, "Kamu kenapa bisa gini, Nay?"

Aku nyengir kuda yang mendapat pukulan lembut di bahaku. Sementara aku tak mempedulikan keberadaan Ares yang mungkin sekarang sedang memerhatikan aku dan Mas Orion.

"Tadi saya dikasih kabar oleh Pandu. Katanya kalian nggak jadi pindah hari ini karena kamu masuk rumah sakit," ucapnya panjang lebar.

"Ih, si Pandu emang ngeselin, aku lho cuma pingsan biasa, ini juga udah diizinin pulang oleh dokter, kalau infusnya udah abis." Aku menunjuk ke arah cairan infus.

Ia memeriksa infusku yang tinggal sedikit lagi. Aku menatap Ares sebentar ia tak ada niat sama sekali untuk keluar dari ruangan ini.

"Ehem." Ares berdehem sengaja untuk menunjukkan keberadaannya.

Mas Orion menoleh ke arah Ares, ia mengehentikan kegiatannya.

"Eh, maaf. Saya Orion." Ia mengulurkan tangannya.

Sementara Ares cuma menatap tangan itu, tanpa menyambutnya. Ingin sekali kupukul kepalanya yang sudah kurang ajar. Mas Orion menarik tangannya kembali sambil tersenyum, singkat.

"Dia Ares, Mas. Temanku." Aku melirik Ares, ia seperti kaget entah apa yang membuatnya kaget.

"Oh iya, sepertinya keberadaan saya mengganggu kalian," ucap Mas Orion yang membenarkan posisi brankarku.

Aku tersenyum tak enak, karena Ares sekarang mengangguk pelan sambil bersedekap.

"Yaudah, saya keluar dulu, Nay." Mas Orion pamit, sebelumnya ia menyempatkan menatap Ares yang tak kalah menatapnya. Aku hanya bisa menggeleng tak habis pikir.

"Siapa dia?" Ares bertanya dingin.

"Mas Orion," jawabku masih kesal.

"Kok gue baru tahu ada orang itu yang lo kenal?"

Iya, memang siapa pun yang dekat denganku sudah pasti Ares akan kenal, bahkan tak jarang juga Ares melarangku untuk dekat dengan orang yang menurutnya tak pantas.

"Nggak semua yang gue kenal harus lo kenal juga."

"Oh jadi gitu? Nggak mau ngasih tahu dia siapa?" tanyanya lagi penuh penekanan.

"Calon suami gue!" ucapku asal dan berhasil membuat Ares terdiam.

"Hmm, nama kok Aneh gitu," gumamnya setengah sewot yang masih terdengar jelas di telingaku.

"Nama lo juga aneh," balasku tak mau kalah.

"Belain aja terus dia, kesal gue lama-lama di sini!" Ekspresi kesalnya membuatku ikutan tertular kesal. Menyebalkan sekali memang yang namanya Ares ini.

"Nggak ada yang nyuruh lo ke sini, sudah sana lo pulang. Gue mau istirahat." Aku merapatkan selimutku dan berbalik membelakangi Ares.

"Alasan doang, ngusir gue biar bisa berduaan sama, Mas Orion lo itu?"

Aku mendengar nada ejekan dari suaranya dan kursi bergeser. Lalu langkah kakinya terdengar mulai menjauh.

"Maafin gue sekali lagi, cepat sehat!" Sebelum ia benar-benar pergi ia mengatakan itu dengan lembut.

Jujur aku masih ingin Ares menemaniku di sini, tapi entahlah aku kesal saat ia tak sopan dengan mas Orion. 

****

Part ini pendek banget, tapi nggak apa-apa...
Mau aku selesain dan aku tamatin secepat kilat... biar cerita baru meluncur lagi

Jangan lupa buat dikomen sama di vote lho ya.. 

Sedih ni sepi gini💕💕💕💕

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang