21

294 26 0
                                    

Aku masih dalam pelukan mama, Dita duduk di sebelahku. Kami bertiga memulai untuk membuka cerita. Aku yang tak tahu apa-apa sangat penasaran dengan ingatan yang tiba-tiba hadir di dalam otakku.

"Dulu,,,,"

Ada anak baru yang pindah di sebuah rumah yang sederhana. Ia bernama Aurora Kanaya. Anak yang lucu dan sangat ceria. Kelakuannya kadang membuat orang-orang gemas. Sayangnya kedatangan keluarganya di tempat itu tidak diterima oleh beberapa keluarga di sana. Tapi, Naya tetap bermain dengan anak-anak kecil di komplek itu.

Itulah pertama kali, Naya berkenalan dengan Dita dan Juga Ares. Ares tetangga rumahnya, dan Dita adalah anak dari teman mamanya. Mereka sering bermain bersama. Awalnya Orangtua Naya melarang untuk bermain dengan teman-temannya karena Naya anak yang cengeng. Takut orang tidak menyukai kelakuan Naya yang seperti itu.

Tapi Dita dan Ares terus-terusan memanggil dan mengajak Naya untuk bermain bersama mereka. Mau tak mau orangtua Naya membiarkan pertemanan itu terjalin. Saat itu mereka berumur lima tahun. Apa yang bisa dilakukan anak lima tahun selain bermain dalam pengawasan orangtuanya.

Tak lama, datang Naren dan Leana yang kebetulan rumah mereka masih dalam satu komplek. Naya begitu menyukai Leana. Baginya Leana adalah orang yang cantik, dan baik hati. Meskipun Leana sering menjahati Naya. Ia sering melempar boneka kesayangan Naya ke pohon membuat Naya harus memanjatnya. Kadang Leana sengaja mengajak permainan yang membuat Naya harus susah payah. Masuk ke dalam got dan berkeliling komplek.

Di saat itu pula, Ares selalu menjadi orang yang menyelamatkan Naya. Itulah yang membuat orangtua Naya tenang akan keberadaan Ares.

Pada suatu hari, mereka semua mulai masuk sekolah dasar. Ares memberikan pensil bergambar kucing. Naya sangat menyukainya, dan ia memberi tahu Dita dan Leana. Dita sangat iri saat itu, ia menemui Ares langsung dan meminta Ares memberikannya juga. Karena merasa tak enak Ares memberikan pensil yang sama kepada Dita. Sementara Leana, gadis kecil itu memaksa Naya untuk melepaskan pensil yang terus-terusan dipegang Naya.

Sepulang sekolah, Leana mengajak Naya untuk pulang bersama. Leana dijemput ayahnya, jadi Naya mau-mau saja.

"Dita nggak diajak, Le?" Naya berucap bingung karena ia tak melihat Ares dan Dita di mobil mewah Leana.

Leana menggeleng tanpa suara. Matanya masih tertuju pada pensil yang dipegang Naya. Setelah tiba di sebuah rumah berpagar hitam, rumah yang berbeda dari rumah lainnya, rumah yang terlihat sangat sederhana. Naya menunggu supir pribadi ayah Leana itu untuk membuka pintu.

Tangan Leana menahannya untuk keluar, Naya bingung melihat Leana yang menahannya.

"Siniin pensil itu!" pinta Leana dengan membentak.

Naya kaget, ia lamgsung menyembunyikan pensilnya, lalu hendak keluar dari mobil keluarga Leana. Leana ikut turun, ia tak menyerah meminta Naya untuk memberikan pensil itu. Dengan paksa Leana menarik pensil yang dipegang Naya, tapi upayanya sia-sia. Karena kesal, Leana mendorong kuat Naya yang hendak melangkah dan di saat itu pula mama Naya membuka pagar. Telat sekali, Naya sudah terjerembab di dalam got dan kepalanya terkena pinggiran got.

Suasana mendadak panik, mama nanya berteriak kaget melihat darah sudah berlumuran di sekitar kepala Naya. Sementara ayah Leana menarik Leana ke dalam mobil dan membiarkan Naya yang lemah tak berdaya itu terbaring.

Setelah di bawa ke rumah sakit, lalu setelah diperiksa. Naya mengalami gegar otak dan menyebabkan beberapa ingatannya hilang.

Sejak saat itu, orangtua Naya sengaja menyembunyikan kejadian itu karena akan berdampak buruk untuk Naya. Seperti saat ini.

Setelah mendengar cerita mama yang panjang itu, aku teringat ucapan Leana yang mengatakan aku selalu menjadi penghalang baginya. Sepertinya masih banyak cerita yang disembunyikan mama. Tapi untuk saat ini, aku cukupkan sampai di sini.

Kulihat Dita tersenyum lembut kepadaku, aku tahu Dita dulu sempat suka dengan Ares tapi seiring berjalannya waktu ia bisa melupakan perasaannya pada Ares. Sementara aku? Aku pernah mengungkapkan perasaanku pada Ares tapi yang terjadi ia malah menolakku. Ares memang dari dulu sangat menyukai Leana. Tatapannya saat melihat Leana begitu lembut dan penuh cinta, aku teringat suatu kejadian ketika Ares mengikat rambut Leana, saat itu Leana kelelahan menjadi ketua Tim basket SMP kami dulu. Melihat Ares yang sangat telaten mengikat rambut panjang Leana. Sejak saat itu pula aku mulai memanjangkan rambut karena berharap suatu hari nanti Ares akan mengikatkan rambutku juga. Tapi, aku baru sadar aku terlalu tidak sadar diri.

Semua yang diucapkan Leana benar, aku hanya parasit di keluarga Ares. Aku bukan tak sadar hanya saja aku menolak untuk mengiyakan semua itu.

"Nay, sepertinya kamu butuh liburan."

Dita ambil suara, aku melihat mama seperti menemuka sebuah ide.

"Bener yang Dita bilang, gimana kalau kita ke Semarang, Nay?" tanya mama yang membuatku murung.

"Yah, aku sih pengen banget ikut, Tan. Tapi besok aku harus ngawas ujian," lirih Dita yang sedih tidak bisa bergabung dalam rencana kami.

"Sayang banget, Dit. Masa nggak bisa izin?" tanyaku sedih juga.

"Nggak bisa, Nay. Kapan-kapan aja aku ikutnya." Dita berusaha tersenyum.

Biasanya kami selalu berlibur bertiga, Dita sudah seperti keluarga di rumah ini. Entahlah, mama bisa sekali menemuka. Sahabat seperti mamanya Dita. Dari cerita yang aku dengar selain keluarga Ares, keluarga Dita juga banyak membantu kami, terutama saat papa meninggal.

Setelah obrolan mengenai liburan, sepertinya mama tak mau menunggu waktu lagi. Beliau langsung menyuruhku untuk packing. Sebenarnya aku kurang setuju dengan rencana mama ke Semarang. Karena aku lebih suka kalau ke Bali atau ke Lombok biar bisa bertemu bule-bule siapa tahu jodoh aku bule.

"Nay, kita lama di sana, kamu nggak apa-apa nggak masuk?" tanya Mama membuka pintu kamarku.

"Biarin ajalah, Ma. Aku udah izin juga sama orang kantor." Aku nyengir tanpa dosa. Tidak ada yang lebih indah daripada jalan-jalan bersama mama.

Wanita paruh baya yang sangat aku sayangi melebihi diriku sendiri. Mama yang aku yakin menanggung beban sendiri setelah kepergian papa, untuk membesarkanku.

"Ma, tante Nisa nggak diajak?" teriakku dari dalam kamar. Karena kamar kami sebelahan aku lebih sering teriak seperti ini.

"Nggak, katanya dia ada kerjaan nanti kalau bisa ia nyusul," balas mama tak kalah kencang.

"Oh gitu, padahalkan kalau ada tante Nisa aku bisa jajan sepuanya," teriakku lagi.

Aku tak mendengar jawaban dari mama. Pasti mama sedang sibuk memilih baju apa saja yang harus dibawa selama kami di Semarang.

Ngomong-ngomong Semarang, aku rindu berada di alun-alun simpang Lima bersama Ares. Hm, Ares lagi. Sepertinya aku benar-benar harus melupakan Ares mulai saat ini.

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang