16

285 26 4
                                    

Sebelum membaca part 16 ini, marilah sejenak kita berdoa untuk tim tenkes kita yang sekarang berjuang melawan Covid-19 semoga wabah ini segera berakhir. Dan untuk para korban semoga mendapatkan kelapangan di alam kubur, Aamiin...

Buat kalian semua yang menjadi pembaca setia, #stayathome ya #Dirumahaja #staysafe jaga kesehatan diri kita, keluarga kita dan semua orang yang ada di sekitar kita... 💕💕💕💕

****

Subuh-subuh sekali aku memaksa Alvano untuk memgantarku ke bandara. Meskipun dia kadang menyebalkan, tapi Alvano tidak pernah menolak permintaanku yang meskipun menyusahkannya. Kulihat ia mengendarai mobil putih milik Ares.

Semenjak kedatangan Ares, aku tak pernah lagi memintanya untuk membantuku. Beruntung sekali saat ini ada Alvano di rumah tante Desi. Jadi, aku tidak perlu waswas jika harus naik gojek jam empat subuh.

Memang dasar bu Mita yang kelewat nyebelin, aku disuruhnya datang terlebih dahulu, supaya bisa chek in mandiri.

"Al, siapa cewek lo sekarang?" tanyaku untuk mencairkan suasana. Dan supaya lelaki itu tidak terlalu mengantuk.

"Gue ceritain pun lo kaga kenal, Nay," katanya kurang ajar. Sudah berkali-kali aku memintanya untuk memanggilku Kakak, tapi dia bilang aku tidak termasuk kakak-kakak yang patut untuk dipanggil kakak.

"Ya, gue kan basa basi aja," balasku terkekeh pelan.

"Lo yakin mau menjomblo sampe tua? Nggak usah ngarepin Ares. Dia mah kalau ada Leana bisa lupa segalanya."

Wah, aku tercengang mendengarnya untuk saat ini aku merasa seperti adik kecil yang sedang dinasihati Abangnya.

"Gue serius, Nay. Ini demi kebaikan lo, lo udah gue anggap sama kayak Nadine." Ada keseriusan ketika ia mengatakan itu.

Ia masih belum memalingkan wajahnya dari jalanan yang mulai ramai.

"Kemarin, Naren minta gue jadi istrinya," ucapku tak yakin.

Karena, kalau hal seserius ini aku lebih sering bercerita kepada Ares. Berhubung itu tak mungkin mending aku ceritakan saja dengan Alvano. Masalah rahasia semua aman dan tak tersebar, Alvano bukan tipe orang yang suka mengumbar-ngumbar cerita orang.

"Naren? Narendra maksud lo?" tanyanya bingung, aku mengangguk.

"Narendra yang temen kalian itu? Ah dia mah sama aja dengan sih Ares, bucinnya Leana." Santai sekali si Alvano mengatakan itu semua.

Ia tak tahu apa aku yang mendengarnya seperti tersengat listrik, tiba-tiba melemah. Memang dari dulu aku cukup bodoh untuk menilai seseorang. Atau aku hanya mudah terlalu percaya kalau orang akan selalu jujur.

"Mending Ares deh daripada Naren."

"Kayak yang lo tau aja."

"Ya gue kan kasih saran aja, kalau nggak mau yaudah. Sebagai bahan pertimbangan lo, makanya kalau ada cowok ngomong tu lihat-lihat dulu dia serius atau nggak, heran gue sama cewek. Gampang banget dibodohin cuma gara-gara dijanjiin buat dinikahin. Sebelas dua belas lo sama si Nadine."

Mungkin yang dikatakan Alvano benar, aku harus hati-hati mulai sekarang karena menikah itu bukan untuk main-main. Sepertinya Alvano yang usianya tiga tahun lebih muda dariku lebih dewasa pemikirannya. Aku menjadi malau pada umur.

"Age just number, dewasa itu pilihan, Nay," katanya pelan seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Tanpa terasa kami sudah tiba di terminal keberangkatan bandara, obrolan kami tadi benar-benar membuatku sadar bahwa manusia itu bergerak maju. Kalau aku mau jadi manusia yang berguna aku harus berubah menjadi orang yang lebih baik lagi.

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang