26

299 25 2
                                    

Hari ini aku pulang dari rumah sakit, sementara mas Orion mengabari bahwa ia juga sudah pulang ke Semarang kemarin malam. Sepulang Ares kemarin, mas Orion kembali ke kamarku dan ia  cerita banyak. Entahlah, ia bercerita dengan sangat nyaman padahal itu masalah pribadinya. Yang aku tak habis pikir adalah ia ditinggal begitu saja oleh pacarnya yang sama sekali tidak peduli dengan perasaan mas Orion. Tak ada yang bisa kulakukan saat wajah sedih itu benar-benar seperti kehilangan sesuatu yang berharga.

"Kamu kenapa, Nay?" tanya mama yang baru saja masuk ke kamarku.

"Entahlah, Ma. Manusia tuh memang punya kesedihan masing-masing ya. Aku kira mas Orion yang sesempurna itu nggak ada masalah yang menghampirinya." Aku memikirkan betapa beratnya perjuangan mas Orion dalam kehidupannya, sampai ia seperti sekarang.

"Namanya hidup, sebagai manusia kita tuh, harus terus menerus bersyukur, apapun keadaannya. Memang berat menerima masa keterpurukan kita, tapi Allah nggak akan pernah membiarkan kita selalu dalam keterpurukan." Mama mulai menceramahiku persis seperti Mama Dedeh.

"Duh, udah bisa gantiin mama Dedeh, Ma." Aku melipat tanganku di depan dada. Sontak membuat mama menaikan alisnya bersiap akan mengeluarkan kata-kata mutiaranya lagi.

"Mulai sekarang, harus banyakin bersyukur, Nay."

Setelah mengatakan itu, mama langsung keluar kamarku. Meninggalkan aku yang masih sibuk dengan isi otak yang tidak karuan. Aku berjalan ke arah jendela. Dari sini aku bisa melihat rumah besar milik keluarga om Rayhan. Dan dari sini juga aku bisa melihat Kamar Ares yang gordennya melambai-lambai cantik tertiup angin.

Dulu waktu SMA saat aku melihat gorden Ares tertiup angin seperti ini, aku langsung berlarian ke rumah Ares dan langsung menuju ke kamar Ares. Aku kira Ares sudah pulang dari ikut olimpiade Matematika. Ternyata, itu kerjaan bik Ijah yang sedang membereskan kamar majikannya itu. Setiap kali mengingat itu aku ingin sekali menertawakan diriku sendiri.

Sesuka itu aku dulu dengan Ares, orang yang kadang bisa menjadi pelindung di saat aku mulai butuh seseorang untuk melindungi. Tak jarang juga Ares justru yang sering membuatku menangis. Pertemanan aku dengan Ares seperti itu. Orang bilang tidak mungkin cowok dan cewek bisa berteman. Pasti salah satunya menyimpan perasaan.

Dan istilah itu memang benar, aku merasa kalau aku mulai sangat menginginkan Ares di sampingku, sampai kapanpun. Tapi, masalahnya Ares kadang menunjukkan sikap yang membuatku merasa aku harus sadar diri dan mundur.

Aku mulai mengemasi barang-barangku, memasukan semuanya ke dalam kardus, secepatnya kami harus mengosongkan rumah ini, karena kata mama ada pembeli, yang tiba-tiba menawar rumah kami tanpa nego. Mama tak memikirkan harganya, pasalnya memang mama harus pulang ke Semarang karena keadaan Eyang akhir-akhir ini sudah tidak sehat lagi.

Bahkan Sassy-sepupuku menyempatkan diri untuk ke Semarang. Aku bisa mengerti perasaan mama, bagaimana sedihnya aku ketika Ares memberi info ambigu saat itu. Atau saat Mama mendadak sakit saat aku kuliah dulu.

Setelah mengemasi semua barang-barang, aku dan mama mendapatkan telpon dari Pandu, kalau Eyang sekarang keadaannya kritis, mau tak mau secepat kilat aku dan mama langsung membawa koper yang sudah berisi baju-baju menuju bandara. Padahal baru saja aku keluar rumah sakit dan sekarang kami harus ke Semarang untuk melihat keadaan Eyang. Setelah mobil yang kupesan datang, aku menuntun mama untuk masuk segera, dari tempatku aku bisa melihat bagaimana mama, wajahnya memang tenang tapi aku yakin hatinya sedang bersedih dan berdoa. Aku mungkin tak dekat dengan Eyang, tapi Eyang adalah ibu dari mama. Aku benar-benar bisa merasakan kesedihan hanya karena melihat mama tertunduk menatap kosong entah ke mana.

Aku tak banyak omong, lebih baik aku diam. Aku tak pandai bicara bagaimana cara menenangkan seseorang. Yang pasti aku berdoa, untuk kebaikan Eyang, apapun itu aku berharap semoga mama tetap kuat.

Kami sudah sampai di salah satu Rumah sakit tempat Eyang dirawat. Dan di rumah sakit ini juga mas Orion bekerja. Aku sempat mengabari lelaki itu, bahwa sekarang eyang sedang kritis. Tetapi, belum ada jawaban atas pesan yang kukirim ke mas Orion.

Begitu membuka pintu, di sana sudah ada tante Nisa dan tante Mala berada di sebelah eyang. Mama langsung memeluk kedua adiknya itu. Tak ada yang membuka suara selain melihat ketidakberdayaan eyang yang sangat lemah.

Aku melihat semuanya mendadak air mataku seperti akan tumpah. Aku membayangkan kalau di brankar itu adalah mama, bagaimana aku bisa melewati semuanya sendiri? Aku tak punya saudara kandung, papa sudah tiada. Siapa yang bisa aku peluk dalam keadaan seperti itu? Untunglah, mama masih mempunyai dua adik yang bisa menjadi te00mpat berbagi suka duka.

Bahuku mendapat tepukan lembut, tanpa sadar air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Aku menghapus lembut air mataku itu lalu menoleh ke samping, ada Sassy di situ. Ia pun meneteskan air matanya. Sassy masih beruntung ia punya Pandu, tempat untuk bersandar saat hati mulai lemah.

"Lo baik-baik aja, Nay?" tanya Sassy lembut, aku hanya bisa mengangguk lalu melangkah keluar, membiarkan mama dan tante-tanteku menjaga eyang.

"Kata mama, kalian mau pindah?" Sassy mengajakku duduk di kursi panjang yang berada tak jauh dari kamar eyang.

"Iya, mama bilang ia harus jagain eyang, kasian eyang cuma tinggal sama Pandu doang," kataku jujur.

"Sebenarnya, ada solusi biar kalian nggak pindah, eyang dibaaa aja ke Jakarta," lanjut perempuan berwajah manis di sebelahku ini.

"Udah dikasih tahu ke eyang, tapi beliaunya nggak mau." Yang diucapkan Sassy sudah pernah kami tawarkan ke eyang, tapi eyang bilang, sampai akhir hidupnya ia mau tinggal di Semarang.

"Iya sih, mama bilang juga gitu, terus kalau kalian pindah gimana rumah di Jakarta?"

"Udah dijual, mulai hari ini kami tinggal di sini," ucapku lemah. Mendadak aku merasakan sesuatu yang seharusnya tak perlu kurasakan, ".... Dan barang-barang udah dikirim, tinggal tunggu datangnya aja," lanjutku lagi.

Aku mendapati Sassy tampak ragu, entah apa yang ada dipikirannya yang pasti ia seperti menimbang-nimbang sesuatu.

"Yah, jauh dong kalau gue mau curhat," ia mendadak manyun.

Ia, selama ini selain Dita, Sassy adalah orang yang paling setia kepadaku, meskipun aku sempat kesal kalau Sassy dulu sempat pacaran dengan Ares. 

Ares lagi Ares lagi.

"Kan bisa VC-an, Sas," jawabku cepat.

"Kerjaan lo gimana? Terus kelanjutan hubungan lo sama Ares gimana?" Aku menoleh menatap Sassy yang sepertinya berharap banyak pada hubunganku dan Ares. Entahlah, dari dulu Sassy selalu menyuruhku untuk menikah dengan Ares.

"Masalah kerjaan nanti gue harus balik jakarta lagi, Sas. Masih ada yang mau diurus, surat pindah dan lain-lain," kataku tak memberi jawaban untuk pertanyaan mengenai Ares.

"Gue yakin, Ares pasti kehilangan banget," wajah Sassy dibuat-buat menjadi sedih.

"Ngomong apa sih lo, ge-er ni gue." Mendadak saja jantung ini berharap seperti yang dikatakan Sassy.

"Ares emang ngeselin, Nay. Tapi, mending dia sendiri sih yang cerita." Sassy meninggalkanku setelah ia mendapati ponselnya berdering.

Sejak pertama Sassy mengajakku ngobrol hari ini, sejak itu juga otakku dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tak perlu aku pikirkan.

****

Lanjuttttttt...

Maunya segera ditamatin ini cerita :D

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang