Tadi setelah agak mendingan, aku bersama mama dan tante Nisa kembali ke rumah eyang, sementara tante Mala memilih untuk menjaga eyang bersama Pandu. Sekarang aku sudah selesai mandi, lebih fresh setelah seharian berada di rumah sakit. Beberapa kali aku menghubungi sopir yang membawa barang kami ke Semarang, untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja.
Aku memeriksa ponselku yang amsih tersambung dengan charger. Ada beberapa panggilan dan pesan chat masuk, kubiarkan saja dulu, karena perutku sudsh meronta-ronta minta makan. Mbak Nani sudah menyiapkan makan di meja makan. Wanita paruh baya yang dipercaya untuk menjaga eyang itu memang mempunyai kemampuan memasak yang super enak. Aku bahkan biss menambah sampai tiga piring.
"Jadi, udah sampai mana barang kita, Nay?" kata mama yang duduk di seberangku.
"Katanya sih, baru sampai Indramayu, Ma. Maklum macet perbaikan jalan," ucapku jujur.
"Masak sih? Sampai seharian itu, ini udah jam delapan, harusnya sih udah di sekitaran Tegal," protes mama.
"Ya, mana aku tahu, Ma. Sabar aja sih," aku mememindahkan nasi ke piringku.
Tante Bisa baru bergabung bersama kami, ia memakai daster berwarna biru semotif dengan yang dipakai mama, cuma beda warna doang.
"Nay, kalau mau pake daster, itu di kamar tante masih ada, warna merah kesukaan kamu," kata tante Nisa yang sepertinya sadar kalau aku memerhatikan dasternya.
"Ogah ah, nggak demen pakek gituan," jawabku singkat sambil menyuapkan nasi ke mulutku.
"Iya sekarang nggak doyan, entar kalau udah jadi emak-emak, daster bakal jadi baju kebesaranmu, Nay," cibir tante Nisa tak mau kalah. Mama hanya menggeleng saja.
Aneh memang rasanya meligat mama seperti tak ada semangat hidup, entah apa yang membuatnya seperti ini. Biasanya tante Nisa menjadi orang yang selalu mendukungku sementara mama akan selalu mengomentari apapun yang aku lakukan. Dan sekarang mama diam, itu artinya otak mama rada geser!
Kurang ajar kamu, Nay. Bisa dilempar mama sepatu kalau berani mengatakan otak mamamu geser!
"Kenapa sih?" tanya tante Nisa melihat mama seperti tak nafsu makan. Dan itu pertanyaan yang dari tadi inginku tanyakan pada mama.
Mama hanya menggeleng pelan, mungkin mama begitu karena merasa bersalah selama ini ia telah meninggalkan eyang dan memilih tinggal di Jakarta.
"Udahlah, apapun yang terjadi sama ibu, semua itu udah menjadi jalannya, nggak usah sedih gitu, Mbak." Tabte Nisa memang tanteku paling pengertian, ia berucap lembut sambil mengusap-usap bahu mama.
Air mata mama menetes, akupun tak kuasa menahan air mataku. Kelemahanku adapah melihat mama menangis, sesaatu itu juga mama sesenggukan. Aku dan tante Nisa berusaha meredakan tangisan mama yang sepetinya menjadi-jadi. Seolah-olah semuanya akan meledak malam ini.
"Nay," tabte Nisa mencolekku, ia tak tahu harus bagaimana menghibur mama.
"Ma, jangan nangis dong," kataku pelan memeluk mama.
Mama memelukku erat, ia menyalurkan kesedihannya padaku.
Lalu mulailah mama menceritakan segala kesedihannya.
Dulu, mama bersikap egois, ketika menikah mama pergi dari rumah, karena pernikahan mama dan papa tak direstui. Mama dan Papa menikah beda agama dulunya, itu yang membuat eyang murka pada mama, hingga akhirnya eyang tak mau lagi peduli dengan mama, lalu mama dan papa meilih untuk tinggal di Jakarta.
Tak jauh berbeda dengan keluarga mama, keluarga papa pun menolak keras pernikahan itu sampai akhirnya, papa dan mama harus hidup susah payah di Jakarta. Sampai akhirnya papa bertemu dengan keluarga Ares yang saat itu sama-sama merintis perusahaan, mereka sangat akrab dengan keluarga itu sampai akhirnya tiba-tiba papa memutuskan untuk memeluk agama seperti yang dianut mama.
Setelah itu, mama dan papa memutuskan untuk menikah ulang, tak berapa lama, mama hamil dan itu aku. Kedekatan keluargaku dan keluarga Ares menjadi salah satu moment terbaik yang membuat mama dan papa berhutang budi pada keluarga itu. Ekonomi yang mumpuni dan Perusahaan yang maju dan berkembang yang bergerak di bidang peralatan otomotif.
Sampai pada saat papa jatuh sakit dan semuanya berubah, papa harus kehilangan sahamnya di perusahaannya sendiri akibat ada orang yang sengaja menghancurkan usaha papa dari dalam. Setelah itu kami pindah ke dekat rumah Ares. Dan di situlah kehidupan kami mulai kembali, sampai papa bensr-bensr meninggalkan dunia ini.
"Karen mama yang egois, mama harus kehilangan semuanya," ucap mama terbata-bata.
"Mama kehilangan papa, dan sekarang mama tak bisa berkata-kata kalau eyang harus pergi," lanjut wanita yang sangat kusayangin ini.
"Ma, udah jangan nangis lagi dong, kan kata mama kita harus menerima apapun ketetapan Allah, masa mama lupa sih," kataku mengusap pelan bahu mama yang empuk.
Tante Nisa menyodirkan air putih kepada mama setelah tangisnya sedikit reda. Mama mengambil air itu sambil membaca isigfar, seperti itulah mama, kebiasaannya ketika ia sedih ia suka membacakan air yang hendak diminumnya dengan Ayat-ayat suci yang ia hafal.
Terang saja, mama lebih tenang, ia mengelap sisa air matanya, lalu tertawa sendiri, membuat aku dan tante Nisa ikut terbahak. Lucu sekali habis nangis langsung tertawa.
"Nay, mama kangen Ares," ucap mama tiba-tiba.
"Ih, mama tu ya suka nyebelin loh, nyesek banget tadi nggak aku rekam pas nangis." Hatiku mendadak sewot ketika mama menyebutkan nama orang itu.
Sebenarnya dari tadi aku berharap ada pesan masuk dari Ares, tapi sampai sekarang belum ada sama sekali. Mungkin Ares memang senang aau kami pindah.
"Nay, telponin tante Desi dong," pinta mama penuh harap.
"Mana hp mama?" tanyaku setengah terpaksa.
"Ah, nggak usah deh, nanti aja, nanti Desinya malah nangis-nangis kayak mama."
Aku menggeleng pelan, mungkin sikap absurdku menurun dari mama, aku bahkan bingung dengan diriku sendiri yang terlalu absurd dan tak jelas.
Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, suara klakson terdengar nyaring di telingaku. Aku langsung bangun ketika suara rusuh terdengar jelas. Kulihat mama san tante Nisa mulai memandori beberapa bapak-bapak untuk menurunkan barang-barsng dsri truk.
Mendadak teras rumah eyang dipenuhi oleh barang-barang kami. Memang barang-barang seperti lemari lebih banyak mama tinggalkan di Jakarta, kata mama siapa tahu yang membeli rumah membutuhkan lemari-lemari kami.
"Nay, ini barang-barang kamu, langsung masukin aja ke kamar, takut pecah," kata mama yang membuatku labgsung setuju.
Aku mengangkut kardus yang bertuliskan 'Barang Naya' ke kamar yang aku tempati.
Sebenarnya mama sudah sepakat untuk membeli rumah ya g ada tepat di sebelah rumah eyang. Tapi, eyang tak mau tahu, katanya mama dan aku harus tinggal di rumah eyang sekarang. Jadi, mau tak mau kami tinggal di sini.
****
Selamat membacaa, karena hari ini lagi free banget buat ngedit cerita... seperti biasa jangan lupa vote dan komen yakkk 🤣🤣🤣💕💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle In 29th
ChickLitAku perempuan dua puluh sembilan tahun yang memiliki impian tapi hobi rebahan. Perempuan dengan segala kelemahannya dan berusaha untuk bangkit dari segala macam kegagalan yang pernah ia alami. -Nay-