14 (a)

308 26 2
                                    

Aku melirik jam milik Dita, sudah menunjuk ke angka tujuh. Kami memesan makanan, sambil menunggu pesanan, kami mulai bertukar cerita. Si Dadang yang punya rencana untuk kumpul hari ini, sudah sukses dengan usahanya menjadi pemilik caffe. Ia bercerita bagaimana jatuh bangunnya membangun caffe yang sekarang menjadi tempat tongkrongan kami. Ia jarang berada di Jakarta karena anak dan Istrinya ada di Bandung. Makanya ketika berda di Jakarta ia menyempatkan diri untuk membuat acara malam hari ini.

Melvi Adriano, komplotan Ares pada zaman dulu. Yang nakalnya sebelas dua belas dengan Ares. Sekarang menjadi pengacara di salah satu firma hukum ternama di Bandung juga.

Ada Sarah yang sudah sibuk dengan butiknya. Masih ada beberapa orang lagi yang belum datang.

Kalau Dita mah sudah dipastikan menjadi guru terbaik yang bersedia mengabdikan diri untuk mengajar di sebuah sekolah ternama di Jakarta.

Untuk Ileana aku pikir tadi aku sudah memperkenalkannya seperti apa perempuan cantik itu.

Sementara itu pandanganku terpaut pada seseorang yang baru saja bergabung dengan kami. Narendra Aksa Perdana. Lelaki itu cukup misterius. Dari yang aku dengar kalau sekarang Naren meneruskan perusahaan milik keluarganya, yang sekarang bekerja sama dengan perusahaan milik keluarga Leana.

Memang luar biasa dari dulu, Narendra selalu bersaing dengan Ares. Bedanya Naren itu kalem sementara Ares nyebelin.

Di sela-sela obrolan kami yang mulai asik, kami diinterupsi oleh kedatangan Ares yang seperti terpaku pada tatapan Leana.

Dari posisiku aku bisa merasakan tatapan yang penuh kerinduan dilemparkan ke arah Leana. Leana langsung berdiri dan berjalan mendekati Ares. Yang memang aku akui ia sangat tampan kalau sedang kalem.

Selanjutnya kami semua menjadi penonton setia acara pelukan Ares dan Leana. Dita menyikutku lalu berbisik yang hampir saja tidak bisa kudengar karena suara tepukan yang melihat kedekatan Ares dan Leana.

"Don't be jealous." Dita menggenggam tanganku.

Aku cemburu? Mana mungkin, aku sudah memperkirakan hal semacam ini terjadi, di mana Ares akhirnya akan bertemu dengan Leana kembali. Seperti saat ini.

Ares dan Leana nampak serasi, aku melihat Ares menggunakan setelan jas berwarna biru dongker, dan Leana menggunakan gaun berwarna biru muda.

Ares menyalami satu persatu orang yang sudah mengelilingi meja, ia selalu seperti ini melewati untuk menyalamiku. Lihat saja aku kubalas nanti.

"Naya nggak cemburukan," teriak Melvi yang membuatku ingin memakannya.

Kan sudah kubilang, aku sudah memperkirakan semuanya.

Siapa sih yang tak tertarik pada pesona Ares? Cowok jangkung yang tingginya nggak kira-kira itu memiliki alis tebal, rambut yang tertata rapi, dan yang paling penting dari segalanya ia nggak merokok.

Bahkan dulu Dita pernah ngaku ke aku kalau dia suka sama Ares. Tapi, dia sengaja mundur karena tahu aku juga suka dengan lelaki itu. Sahabatku itu juga berkata kalau dirinya tak cocok untuk Ares, Ares seperti bulan yang tinggi jadi ia menyerahkan Ares untukku sepenuhnya. Katanya kala itu.

Aku pernah menembak Ares karena saat itu aku sudah tidak tahan lagi untuk mengungkapkan perasaanku padanya, aku benar-benar jatuh cinta saat itu, saat di mana Ares harus terpisah dari Leana. Aku kira aku bisa menggantikan Leana ternyata nama Leana sudah ada di hati Ares.

"Hadeh, kalian ini. Mana mungkin gue cemburu."

Mendengar ucapanku, Ares mencibir, seolah-olah di hatiku hanya ada dia seorang. Emang Ares siapa sok-sok ngatur hati orang

Miracle In 29thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang