Aku disibukan dengan kegiatan belajarku, sementara mama benar- benar mengurangi intensitasnya bertemu tante Desi. Ia lebih sering main ke rumah tante Nisa. Bahkan saat aku bilang kalau aku pulang sore mama lebih sering memilih untuk menginap di sana. Seperti saat ini aku sendirian di rumah, mama tadi menghubungiku kalau ia nginap di rumah tante Nisa. Sebenarnya tadi aku ingin nginap di sana juga, tapi aku ingin belajar waktu untuk jadwal tes SKD sebentar lagi. Jadi, aku harus berjuang.
Tentang Ares? Aku berusaha untuk tak peduli, seperti yang kuduga pertemuan terakhir kami waktu itu memang untuk memeperingatkanku agar menjauh.
Sakit rasanya perasaan kita dipaksa untuk tidak mencintai lagi, tapi aku bisa apa. Seiring waktu berjalan semua akan tergantikan. Aku mendengar ketukan dari pintu.
Kulirik jam menunjukkan pukul sembilan malam. Siapa orang malam-malam mengetuk pintu, aku jadi parno sendiri. Apalagi sekarang kalau kuingat adalah malam jumat. Mendadak bulu romaku meremang.
Ketukan masih terdengar, aku berjalan pelan untuk membuka pintu. Dan ternyata tante Desi, aku berucap syukur bukan setan yang mengetuk.
"Naya? Kamu sendirian kan? Kamu belum makan? Ini tante bawain makan." Aku terenyuh. Rasanya jahat sekali kalau aku harus ikut mendiamkan tante Desi.
Tapi, aku sudah berjanji untuk tidak akan mengganggu keluarga mereka lagi.
"Terima kasih, Tan," ucapku pelan lalu memgambil bungkusan yang diberikan tanye Desi.
"Oh iya, maaf, Tan. Aku ngantuk." Aku langsung menutup pintu, sengaja berbuat kurang ajar supaya tante Desi tak baik lagi dengan kami.
Suara ketukan terdengar. Aku kesal mendengarnya akhirnya kubuka lagi.
"Kan uda-"
Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, aku terkejut melihat kedatang Orion yang selarut ini.
"Mas, Orion?" tanyaku pelan.
Aku melihat masih ada tante Desi di sana. Ia enggan untuk pergi entahlah apa yang diinginkannya.
"Siapa, Nay?" tanya perempuan itu penasaran, dan kembali mendekatiku.
"Teman, Tan. Kenalin Ini Mas Orion."
"Mas, ini tante Desi tetangga sebelah itu." Aku menunjuk ke rumah mewah yang ada di sebelah kiri rumah kami.
Aku melihat Orion dan tante Desi berjabat tangan sambil mengucapkan nama masing-masing.
"Tadi sebelum ke sini saya telpon mama kamu, katanya dia lagi nggak di rumah, terus mama kamu minta tolong saya buat beliin makan sekalian," kata mas Orion singkat dan jelas.
"Loh kok tahu di sini?" Aku penasaran mengapa bisa tahu rumah kami.
"Kebetulan saya ke sini sama, Pandu. Tapi dia masih makan di ujung komplek," jawabnya jelas.
"Yaudah, kamu makan ya, saya balik dulu. Besok saya ke sini lagi," katanya menundukkan kepala begitu melintasi tante Desi yang masih setia berada di antara kami.
"Tan, maaf saya masuk dulu." Untuk kedua kalinya aku berlaku kejam kepada tante Desi.
Maaf, Tan.
***
Pagi ini Mas-mas gateng sudah nagkring di teras rumah. Pandu sibuk berbicara dengan kucing liar yang masuk ke kawasan rumah ini. Aku yang tak percaya Pandu se-enggak-waras ini kalau bertemu kucing hanya tercengang saja. Mas Orion sedang sibuk dengan ponselnya aku tak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan ponsel ditangannya itu. Dari raut wajahnya aku menangkap kilatan amarah.
"Diminum dulu tehnya, Mas. Biar nggak spaneng." Aku meletakan dua gelas teh hangat.
Mas Orion langsung meletakan ponselnya dan menyeruput teh yang baru saja aku hidangkan.
"Padahal, kami mau lama lho di Jakarta, tapi saya nggak bisa, karena mendadak ada operasi, Nay." Raut wajah mas Orion penuh penyesalan.
"Kayaknya pelet lo berhasil, Nay. Tahu nggak yang ngebet ngajak ke Jakarta dia lho!" Suara Pandu terdengar melengking.
"Apa gue bilang, emang manjur, awas itu teh udah aku jampi-jampi, Mas," aku terbahak melihat ekspresi Pandu yang kesal.
Setelah obrolan singkat, kedua Mamas tampan berpamitan untuk pulang.
"Minggu depan aku kayaknya nggak di rumah deh, Mas. Aku mau ke Surabaya ikutan tes CPNS."
Sumpah sedih sekali rasanya menolak kedatangan mereka minggu depan. Ya, tapi aku tak bisa juga meninggalkan tes ini, tes hidup dan matiku.
"Oh kamu jadwalnya minggu depan? Saya percaya kamu bisa lulus, semangat ya, Nay." Mas Orion menyemangatiku dengan mengelus rambutku.
Ia berhasil membuat jantungku terobrak-abrik. Pandu mesem-mesem sendiri melihat kelakuan kami.
"Yaudah, gue balik dulu. Tadi udah pamitan sama tante," kata Pandu.
"Saya juga pamit ya, Nay. Assalamualaikum." Duh, dokter tampan itu membuatku sejenak lupa akan perlakuan Ares.
Setelah kepergian dua makhluk tadi, aku kembali ke kamar. Karena hari ini hari libur, aku menghabiskan waktuku dengan menonton drakor. Hari ini pun aku sendiri lagi, karena kata mama ia malam ini tidak pulang, ia sudah betah berada di rumah tante Nisa. Aku hendak berniat untuk menyusul tetapi aku terlalu mager.
Kadang aku menyesal mengapa tak belajar menggunakan kendaraan, bahkan di rumah ini kami tak punya motor. Jadi, kalau mau ke mana-mana kami mengandalkan ojek. Waktu selesai wisuda, mama berniat membelikanku motor, tapi aku menolaknya. Karena aku tak mahir menggunakannya.
****
Part terpendek
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle In 29th
ChickLitAku perempuan dua puluh sembilan tahun yang memiliki impian tapi hobi rebahan. Perempuan dengan segala kelemahannya dan berusaha untuk bangkit dari segala macam kegagalan yang pernah ia alami. -Nay-