chap 9 - magic island ( 매직 아일랜드)

842 147 14
                                    

CHAPTER 9

.

SECTION 2:

THE TALE OF THE MAGIC ISLAND

|

Agustus. 9

"Kau percaya cerita semacam itu? Di sini?" Tawa Soobin menggelegar. Dia memukul bahu teman sekelasnya tersebut. Sedaritadi dia terkejut karena beberapa siswa nampaknya sedang asyik bergosip sedangkan ia baru kembali dari ruangan Pak Choi. Dia juga terkejut karena mereka terlihat antuasias lebih daripada ketika mengetahui besok adalah hari libur atau semacamnya.

"Yah, terserah sih mau percaya atau tidak. Tapi aku diceritakan kakakku, dia kan alumnus di sini pula. Dia tidak bergurau soal tempat itu."

Soobin mengulum senyum. "Ya! Lihatlah! Kalian sudah dewasa, tapi masih percaya dongeng." Laki-laki bertubuh jangkung itu kembali duduk di kursinya. Ternyata, di zaman sekarang masih saja ada orang-orang yang percaya soal "keajaiban". Besok-besok mungkin mereka akan membeli sapu ramai-ramai dan berkumpul di lapangan yang terik hanya untuk membuktikan bahwa mereka setengah penyihir. Hah, yang benar saja!

Soobin tercenung untuk beberapa saat. Yang sekarang menganggu pikirannya bukan lagi pembicaraan absurd teman-teman sekitarnya. Tetapi, ucapan Pak Choi. Entah pria itu mulai menaruh curiga atau belum, Soobin sadar, dia seharusnya lebih waspada. Terlebih, Pak Choi bisa saja langsung mengadukan semua masalah ini kepada orang tuanya bahkan membawa lebih banyak masalah untuknya. Padahal, reputasi siswa terbaik sudah melekat baik-baik dalam diri Soobin.

Aku tidak mau ini menjadi bangkai yang mengotoriku.

Choi Soobin yang terbaik. Yang sempurna. Yang dibanggakan.

Bu Hanna pun tidak banyak berubah; tidak banyak membantu dan tetap gencar menunjukkan rasa tertarik yang terlalu kentara terhadapnya. Soobin, di depan umum, tentu saja mengabaikannya. Namun, kapan itu akan bertahan "aman"? Bagaimana jika ada yang mulai menyelidiki mereka dan memperhatikan tanda-tanda kedekatan mereka? Bukan hanya Pak Choi yang akan membuatnya babak belur, tapi reputasi, nama baik, citra yang berusaha ia bangun dari nol justru tergerus begitu saja.

Soobin tidak sanggup membayangkannya.

Sungguh.

*

*

September 20

Stay Out from Fire.

Beomgyu mengerucutkan bibirnya. Tidak biasanya ia memperhatikan bagaimana Taehyun di perpustakaan, kali ini, karena Beomgyu memang tidak punya kegiatan lain dan dia akan masuk jam olahraga setengah jam, mau tidak mau dia mengekori Taehyun seperti anak kucing yang terpisah dari induknya.

"Baca apa?" tanyanya. "Serius sekali, Tae."

"Entahlah, aku senang membaca buku apapun yang bersampul merah. Menurutku, itu menarik perhatian." Taehyun menekuni buku di hadapannya bak Profesor ternama yang tengah membuat kajian baru. Taehyun dalam mode tersebut sudah pasti membuat siapapun terintimadasi.

"Kadang aku iri denganmu."

Taehyun melongok kecil dari bagian atas buku di tangannya. "Hah? Mengapa?

"Kau nampak ... tidak terusik. Aku pernah baca bahwa perundung itu sebenarnya hanya ingin target rundungannya agar "perhatian" terhadapnya, dan membuat orang sekitar pun ikut "perhatian" terhadapnya. Semacam krisis menjadi pusat atensi. Aku iri karena kau tidak menaruh secuil pun rasa perhatian terhadap siapapun, entah itu Yeonjun maupun yang lain yang berlaku tidak baik kepadamu."

"Kau tidak tahu saja."

Beomgyu mengeryit. "Apa yang aku tidak tahu?"

"Aku hanya pandai menyembunyikannya. Aku perhatian terhadap mereka, aku berpikir, aku juga sadar akan perbuatan mereka. Aku hanya ... tampil tidak peduli saja, dengan berharap kelak aku tidak peduli." Taehyun kembali menekuni bukunya, kali ini, Beomgyu tidak membuka suara apapun lagi. Alarm yang berdengung masih menghantui mimpi-mimpinya. Beomgyu juga tidak dapat bercerita kepada Ibu maupun Ayah karena itu pasti akan menjadi beban pikiran tersendiri untuk keduanya. Mereka sudah berharap tinggi Beomgyu dan Seoul akan menjadi teman akur.

Beomgyu meraih buku kecil yang berada dalam jangkauannya kemudian mencoret-coret secara kasar. Beberapa hari ini ia terus memikirkan cara-cara "ajaib" yang terus membuat jantungnya berdegub keras maupun membuat dirinya penuh dengan adrenalin. Jemarinya menununtunya untuk menggambar satu bangunan besar, langit, kemudian udara hampa.

Apa yang terjadi jika kau benar-benar lompat begitu saja ke udara kosong nan terbuka?

Apakah sakit?

*

*

September 29

Di dekat pilar dekat gerbang, Beomgyu menyipitkan matanya, agak terkejut dengan sosok tersebut. Apalagi Beomgyu terbilang jarang melihat ada yang berangkat di pagi buta seperti dirinya. Selain karena alasan tidak ingin berbaur dengan murid lain yang baru datang ke sekolah kemudian dia menjadi tersisihkan dan merasa gundah. Dia juga menghindari Choi Yeonjun yang kadang menahannya untuk bergerak menuju kelas. Pagi-pagi, dia pun tidak perlu merasa terlalu bersalah kalau-kalau dia tidak sengaja bertemu dengan Pak Choi maupun Bu Hanna.

"Ada apa?"

Hueningkai berdeham. "Kau mau cerita, Hyung?"

"Soal apa?" tanyanya singkat dan melangkah terlebih dahulu. Hueningkai mengekori, terdengar derap langkah yang memantul di belakang punggung Beomgyu.

"Soal kau yang hendak melompat—"

"Kau?" Beomgyu terkesiap kemudian tercekat, napasnya seperti tertahan. Dia membalikkan badan dengan wajah pias. "Kau yang ... apakah kau yang membuat kegaduhan tersebut?" Sekarang, akhirnya, dia tahu siapa pelakunya.

Hueningkai menggaruk tengkuknya. "Itu ..."

Emosi berkumpul di wajah Beomgyu. Ia sudah ingin melontarkan makian; karena satu orang ini dia masih harus jadi Beomgyu di hari-hari berikutnya. Tentu saja, ini melelahkan dan tidak tertahankan lagi. "Lantas kau mau apa sekarang?" Suaranya jadi kasar dan tajam,

Hueningkai berdeham kemudian membuka resleting tasnya, dia mengeluarkan satu buku bersampul gelap. Beomgyu terus mengaitkan perhatian terhadap benda tersebut. Hueningkai menyerahkannya, dengan sigap. "Aku mungkin tidak pernah menjadi orang yang tepat untukmu ... tapi, mungkin ini akan membantu."

"Buku cerita?"

"Bukan buku biasa. Itu buku magis yang aku temukan di belakang sekolah ketika aku tengah menyendiri. Bacalah, dan apapun keputusan yang kau ambi¸aku harap itu memang yang kau mau. Aku mungkin tidak akan ikut campur lagi untuk urusanmu dan maaf kalau aku menganggu." Akhirnya, Hueningkai membungkuk dalam dan melewati Beomgyu yang masih tercenung. Tangannya kebas menerima buku tersebut, meskipun, hatinya masih tersangkut di mana, tapi tangan dan pikirannya refleks untuk menerima buku tersebut.

MAGIC ISLAND; THE PLACE TO BE HIDDEN.

GO THERE OR NEVER.

[]

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang