chap 29 - starline (스타라인)

234 46 2
                                    

CHAPTER 29 :

STARLINE

(스타라인)

.

Oktober 1

Paman Choi mengecek arlojinya dengan seksama. Masih sempat. Toh hari ini bisa dibilang hari "agak bebas" karena tidak ada pembelajaran layaknya biasa, justru digantikan dengan kunjungan sekolah lain ke sekolah mereka. Tidak hanya itu, anak-anak pasti akan lebih sibuk menjaga booth atau berjualan dengan antuasias. Yah, dia bisa berleha-leha sejenak setelah ada banyak urusan nilai yang membuat pening. Paman Choi berjalan ke dekat gudang belakang sekolah, mengecek sekitar kemudian merogoh sakunya. Ia mengeluarkan satu benda dari kotak kecil dan menyulut ujungnya dengan api dari pemantik.

Setelahnya, pria itu mengembuskan napas hingga asap berterbangan di depan wajah. Seharusnya dia berhenti merokoh, dia sudah janji dengan Yuri serta Hanna, tapi karena banyaknya tekanan akhir-akhir terlebih Yuri jadi serba menuntut dan makin tidak dapat diatur (gadis itu ingin pindah ke rumah ibunya!), rumah tangganya dengan Hanna pun di fase kering, tandus, dan tidak menggairahkan. Tidak enaknya bekerja di tempat yang sama adalah Paman Choi harus rela bertemu terus dengan Bu Hanna sembari berpura-pura sebagai pasangan yang harmonis.

Itu memuakkan, kadang.

Pria itu menjepit batang rokok di bibirnya, mengerang samar setelah ia menarik benda itu di sela jari dan mengembuskan asap lain. Hanya sepuluh menit, setelahnya, dia akan sibuk di dalam untuk mengecek pekerjaan anak-anak dengan booth masing-masing. Paman Choi sadar hanya di tempat ini dia dapat merokok dengan tenang, apalagi dengan jabatannya sebagai guru alias "sebagai contoh baik" untuk murid-murid, jadi dia tidak leluasa merokok seperti waktu ia masih kuliah dan itu jadi stres tersendiri.

Ia sudah membawa parfum di saku lain, berjaga-jaga jika ada bau nikotin masih melekat. Tapi, sosoknya masih enggan untuk berhenti hingga rokok kedua dikeluarkan, terdengar satu suara yang memantul tidak jauh. Pria itu tergelak hebat kemudian cepat menjatuhkan rokoknya, menginjak dengan asal. "Sial.." Matanya langsung waspada, melihat ke kanan dan kiri namun tidak ada siapapun.

Sesaat dia hendak mendekati sumber suara, satu anak sudah memanggilnya. "Seonsaengnim!"

.

.

November 18

Yeonjun mengecek punggung ibu jarinya dengan ekspresi sedatar biasa. Meski sudah berlalu hampir sebulan lebih, luka itu masih ada di sana. Yeonjun pikir luka ini tidak ada apa-apanya dengan luka di sekujur tubuhnya namun luka ini yang terus membawa mimpi buruk—kebakaran. Yeonjun terus mendesah frustrasi betapa orang-orang tetap menyalahkannya akan peristiwa itu di saat dia saja tidak ingat secara jelas semuanya. Yeonjun masih gemetaran jika memegang pemantik di tangannya, seolah-olah memang benar dia yang menyebabkan kebakaran di sekolah mereka.

Yeonjun bangkit kemudian berjalan pelan ke dekat halte namun sosoknya berhenti karena melihat beberapa murid lain di sana, jadi dia memutuskan untuk berbalik kemudian berjalan ke arah lain, toh Yeonjun sudah hafal ada banyak jalan menuju rumahnya. Plus, dia tidak berniat cepat-cepat pulang hari ini karena tubuhnya pun kurang membaik. "Astaga! Jaketku!" Yeonjun tergelak kemudian melewati gerbang kembali untuk berjalan ke bangunan sekolah namun sosoknya membeku ketika melihat Taehyun, Soobin, Hueningkai dan satu gadis yang nampak asing untuknya.

Murid baru?

Yeonjun tidak yakin, namun dia buru-buru memacu langkahnya agar mereka tidak sempat melihatnya.

"Tapi, serius, bagaimana bisa kita membakar sekolah?"

"Yah, maksudku, terlalu beresiko. Bagaimana jika ada korban? Bagaimana jika para guru terluka? Ini sangat serius," timpal suara lain.

Yeonjun terus berjalan, agak menunduk dan menjaga langkahnya agar dia tidak terjungkal seraya melewati murid-murid lain yang agak jauh dari kerumunan empat orang tadi.

"Tapi ini demi Beomgyu Hyung, kita harus melakukannya."

Kebakaran? Guru? Beomgyu?

Yeonjun merasa tubuhnya bergidik. Namun dia terus berjalan dengan tempo cepat sampai sosoknya mencapai bangunan depan sekolah dan bergegas ke ruang kelasnya.

.

.

Satu hal yang masih mengganjal adalah siapa yang menyebabkan kebakaran di bulan Oktober tersebut. Siapa yang menyebabkan serta harus bertanggungjawab akan itu semua. Hal tersebut masih menjadi pertanyaan besar yang masih menggantung di sekitar mereka. Para guru maupun pihak yayasan seakan tidak ingin ada penyelidikan lebih lanjut karena akan berdampak kepada reputasi sekolah dan akan terdengar kurang enak di telinga para orang tua yang masih punya kepercayaan untuk membiarkan anak-anak mereka tetap bersekolah di sini. Bahkan ketua yayasan sendiri mengucapkan terima kasih dengan sangat senang ketika anak-anak itu tidak jadi keluar dari sekolahnya. Detektif swasta tidak punya wewenang kuat di saat pihak-pihak itu pun sudah mencegah mereka untuk menyelidiki lebih lanjut. Satu-satunya mungkin harus ada perintah dari atasan mereka dan dari publik yang masih penasaran dengan peristiwa mencekam tersebut.

Beomgyu sering bertanya-tanya; apakah orang itu merasa bersalah? Menyesal? Atau justru panik? Sejauh ini, Beomgyu sendiri belum yakin siapa pelaku sebenarnya dan dengan keadaan serta situasinya, mustahil untuk Beomgyu tahu. Bagaimana bisa mencari tahu? Toh dia saja masih terjebak di sini tanpa ujung. Beomgyu tidak paham bagaimana atau kapan waktunya berakhir. Seperti berharap saja agak berlebihan. Meski begitu, Beomgyu belum mau berakhir sekarang. Dia masih ingin bertemu orang tuanya, berkumpul dengan mereka dan mengucapkan beribu terima kasih dan kata maaf serta bertemu teman-temannya, terlebih Taehyun. Beomgyu merasa bersalah kepada sosok itu.

"Tapi bagaimana..."

Beomgyu tersentak dengan napasnya terdengar terpotong-potong. "Apa .."

"Kau sadar!" pekik biarawati yang ternyata sudah berada di sisinya. Wajahnya agak memudar sampai Beomgyu dapat memfokuskan pandangannya dan mengerang karena dia sudah dikerumuni. "Astaga .. dan .." Ia agak tercekat menyentuh bekas di leher Beomgyu. "Tunggu di sini!"

Beomgyu menelengkan wajahnya. "Apa yang terjadi? Mengapa .."

"Kau tergigit, Bodoh!" Night membentak dengan suara lantang. "Kau tidak boleh jadi vampir atau kau akan terikat di sini."

"Jungwon."

"Apa?"

"Namanya Jungwon," gumam Beomgyu. "Yah, aku mengenalnya sekarang." Beomgyu mencari keberadaan pemuda itu namun hanya ada Night, ranjang yang ia tempati, dan ruangan dengan cat putih kusam. Tidak berapa lama, biarawati kembali kemudian menaruh sesuatu di lehernya hingga Beomgyu mengerang. "Apa yang kau lakukan?"

"Kita harus menghentikan prosesnya, kau tidak bisa jadi vampir."

Night mengangguk. "Yah, atau kau akan terperangkap selamanya di Magic Island, Beomgyu." Terperangkat. Selamanya. Magic Island. Aku vampir. Semuanya tumpang tindih, saling bercampur hingga ribut. Beomgyu tetap mengerang karena sesuatu terus menekan kulitnya sampai pemuda itu perlu menggeliat kesakitan.

"Ini. Sangat. Tidak nyaman."

"Tahan!"

Beomgyu meringis dalam, merasakan matanya seperti terbakar dan tubuhnya terasa terkoyak. Remember our starline. Remember the star's song. Remember my name. Beomgyu terus menggelepar layaknya ikan yang dipaksa ke daratan. Remember the promise. Remember us.

[]

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang