chap 4 - soobin (수빈)

1K 176 10
                                    

4. Soobin (수빈)

The Boy that is lonely

November. 5

Kau bisa bayangkan figur yang sempurna. Tubuh yang tinggi dan tegap, bahu yang bidang serta wajah rupawan yang merupakan incaran para gadis. Kau juga bayangkan prestasi yang luar biasa dan bintang dari segala acara sekolah. Kau bisa bayangkan maskot kebanggaan yang terus saja dieluh-eluhkan sepanjang penjuru sekolah. Mungkin kau dapat bayangkan ... Choi Soobin.

Sesampainya di rumah, Soobin bergegas menaiki anak tangga untuk ke kamarnya dengan tangan gemetaran. Dia mengeluarkan ponselnya dan pergi untuk mandi. Orang tuanya tidak pulang lagi malam ini karena perlu ke Shanghai. Selain itu, hanya ada dua pembantunya yang menyiapkan makan malam dan cukup terkejut sewaktu Soobin pulang cepat. "Saya merasa kurang sehat," ujarnya pelan sebelum muncul di kamarnya ini.

Lagipula, mau pulang cepat atau lambat, tidak ada yang peduli pula. Kecuali wanita itu—Bu Hanna.

Semakin hari, wanita itu jadi semakin gencar mendekatinya padahal Soobin sudah memperingati agar mereka berhati-hati tapi sepertinya, itu hanya angin lalu. "Aku sudah menyayangimu, aku tidak dapat menahan perasaan ini lagi, Soobin-ssi. Kau pun membutuhkanku." Soobin mungkin kehilangan akal tapi sejauh ini, Bu Hanna pula yang sudah membantunya untuk tetap di puncak dan menjadi anak yang "diutamakan".

"Tuan, apakah kau sudah selesai? Makam malam di bawah," kata pembantu di luar kamarnya. Soobin menyahut pelan dan segera berpakaian. Dia tidak nafsu makan meskipun begitu, rasanya jengkel saja jika harus menerima banyak panggilan dari Bu Hanna. Apalagi akhir-akhri ini serangan panik Soobin tidak terkendali.

Perlahan, dia membuka lacinya yang sudah dia kunci sedemikian rupa, menelan pilnya kemudian keluar dari kamar setelah semuanya beres. Choi Beomgyu tidak mati karenaku. Tidak. Bukan aku.

"Tuan, Ayah Anda menelpon dan menanyakan keadaan Anda tadi," lapor salah satu pembantunya ketika Soobin baru terduduk. Lelaki itu sontak menunjukkan raut gusarnya. "Maaf membuat Anda terganggu karenanya."

"Bilang saja aku sibuk belajar. Aku tidak butuh ditanya seperti itu."

Pembantu itu membungkuk. "Baiklah, Tuan."

Soobin cepat meraih minum dan meneguknya pelan. Diraihnya sumpit dan piring yang sudah disiapkan kemudian makan dengan lebih tenang seiring obat tersebut mulai bekerja di seluruh tubuhnya.

***

Januari. 31

Rumah ini ternyata lebih tidak menarik daripada yang Beomgyu bayangkan. Ayahnya bilang rumah mereka akan lebih "hidup" dan "damai" tapi dari warnanya yang abu dan putih saja sudah menunjukkan bagaimana "membosankannya" rumah baru mereka. Beomgyu coba mencocokkan dirinya dari hari ke hari. Namun, tidak banyak yang berubah. Seperti pulang ke rumah orang lain dan bukan miliknya.

Kamar Beomgyu di lantai dua dan tidak ada yang menghuni lagi. Satu-satunya spot favoritnya adalah balkon yang luas dan menghadap ke rumah orang lain yang sama menjemukannya. Kadang, Beomgyu bermain gitar dan mengarang beberapa lagu. Itu pun kalau suasana hatinya sedang baik. Momen itu yang jarang terjadi. Apalagi Beomgyu di rumah seorang diri, Ibunya lebih sibuk dengan teman-teman sosialita barunya yang gemar berkunjung ke satu kafe ke kafe lain. Padahal ketika di Daegu, Ibunya nyaman saja berada di rumah dan menghabiskan waktu untuk merajut bahkan membuat beberapa rangkaian bunga yang cantik.

Sebegitu besarnya efek Seoul untuk mereka.

Oh, soal sekolah. Beomgyu merasa biasa-biasa saja. Tidak semenakutkan yang ia kira karena orang di sana pun terbagi menjadi dua; populer dan cupu. Beomgyu tidak mau mengkategorinya terlalu dini. Sejauh ini, sendirian adalah hal yang berharga untuknya. Anak-anak Seoul gemar menghamburkan uang dan foya-foya untuk barang mewah seperti ponsel baru maupun mainan modern seperti skateboard keluaran terbaru. Beomgyu tidak cocok dengan itu, lebih baik dia menepi ke kafe yang punya rak buku dan bacaan bagus. Daripada repot pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli minuman dengan harga mahal yang bersedotan hijau.

Normal.

Beomgyu tidak merasa dirinya banyak berubah, baik di Daegu maupun Seoul. Sederhana saja. Sejauh ini, dengan bisa duduk dan menyesap teh maupun mendengarkan lagu di ponselnya, Beomgyu bisa temukan ketenangan. Meski, ada terbesit keinginan untu pergi ke Daegu lagi dan memulai segalanya di sana lagi. Bukan di tempat seasing ini. Bagaikan terlempar ke Merkurius.

***

September 25.

Taehyun melempar beberapa batu di dekat taman sekolah. Sebenarnya, dia bosan di perpustakaan apalagi Beomgyu tidak ada di sana. Akhir-akhir ini, Taehyun sendiri bingung mengapa dia perlu berbicara atau sekadar melihat Beomgyu. Tapi, kawannya itu, memang sulit dideteksi. Terkadang di kelas, Beomgyu tidak menoleh maupun menyapanya.

Mungkinkah dia terlibat masalah?

Taehyun menolehkan kepalanya, terkejut mendapati Pak Jeon tengah berbicara di telepon sepertinya cukup penting. Sebenarnya Taehyun sudah hendak bangkit namun matanya menangkap bagaimana Pak Jeon justru memanggil seseorang dan orang itu adalah Beomgyu. Keduanya terlihat serius dengan postur tubuhnya yang sama-sama tegang, apalagi mereka bicara bukan di gedung utama sekolah. Beomgyu menaruh kedua tangan di samping tubuh dan menunduk dalam sementara Pak Jeon terus berbicara di hadapannya. Taehyun menyipitkan matanya, dia tidak berusaha untuk mencuri dengar. Hanya saja, aneh, Beomgyu bahkan tidak dapat diraih siapapun. Mengapa Pak Jeon perlu menemuinya?

Setelah lima menit berlalu, barulah Beomgyu membungkuk kemudian pamit. Pak Jeon menggeleng-gelengkan kepala dan kembali berjalan ke gedung sekolah. Jabatan 'Guru Detensi' alias guru yang senang memberi hukuman garis miring skors sudah melekat dengan Pak Jeon. Image-nya yang garang dan terus saja berbicara dengan nada yang terkesan ketus, siapapun menghindari satu guru itu. Apalagi, Beomgyu yang notabene sudah menghindari 'dunia'.

[]

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang