Reality vs Dreams

225 42 12
                                    

REALITY VS DREAMS

[ ENTER YOUR OWN FEAR.... ]

|

Mengapa aku lebih senang tidur daripada apapun? Karena aku bisa lepas dari permasalahanku. Aku dapat lari dari segalanya dan menyamarkan suara tangisku. Aku senang tidur sebagai langkah menghindari banyak permasalahan di kehidupanku. Aku senang 'berlari' hingga aku menemukan satu tempat imaji yang dapat menenangkanku—Magic Island.

Peraturannya mudah; serahkan ketakutanmu dan menjelajah di sana. Jika aku dapat menggambarkan petanya mungkin;

1. Wahana Penghilang Ngeri

2. Kolam Air Mata Abadi

3. Hutan Pelarian Mimpi

4. Sungai-sungai Harapan

5. Air Terjun Kehilangan

6. Menara Bintang

7. Gua Penghapus Memori

Dsb.

Tempat-tempat itu masih penuh selubung magis, menggoda untuk dijelajahi. Tapi, dibanding semua tempat, aku senang melihat Jembatan Harapan – Jurang Hitam Abyss. Di sana, aku tidak merasa sendirian, di sana aku dapat mendengar tangis siapapun yang membuatku tidak lagi kesepian. Mereka takut akan 'ketakutan' mereka sendiri, tapi aku menikmati seakan ketakutan itu rekan berbulu besar yang cengeng namun senang merajuk. Jadi, yah, itu hiburan tersendiri.

.

.

.

PARADOX.

Sekarang aku melihat ketakutanku seperti monster cengeng. Kau melihat monster seperti hantu yang dihindari. Aku menyapa kesakitanku seakan mereka rekan lama. Kau menghindarinya seakan itu wabah. Aku berbincang dengan memori kelam. Kau terus membuang, mengubur, menginjak-injak mereka hingga jadi bagian tulang belulang purba. Aku suka bermain-main di tengah hujan mengingat penderitaan dan satu luka di kakiku, atau hatiku yang kian membusuk. Kau senang bersembunyi di balik selimut dan gemetaran.

"Apakah kau tidak terpikirkan untuk menulis lanjutan Magic Island?"

"Mungkin. Aku toh masih sedih—jadi aku punya banyak bahan yang perlu aku tuliskan. Tapi, urusan sekolah sepertinya akan menyibukanku jadi yah, kita lihat saja nanti." Jawaban sesingkat itu jadi menempel di kepala Yuri. Masalahnya, mudah saja sih untuk mengabaikan tugas-tugas atau omelan ayahnya, toh dia juga tidak pernah setuju dengan acara pindah sekolah yang sudah seperti perintah telak. Masa bodoh, aku benci sekolah.

Yuri memainkan ujung pulpennya kemudian memperhatikan empat pemuda itu. Dari manapun, mulai dari fisik, sikap, bahkan cara berpikir mereka, semuanya berbeda. Namun tujuan mereka sejelas tulisan di papan tulis atau di ucapan mereka; menyelamatkan Beomgyu. Aneh juga, sebelum ini Yuri pikir sepupunya itu luar bisa tertutup dan jika dia memang lenyap, selain keluarga mereka, tidak akan ada yang mau pusing untuk mengingatkan lagi. Orang-orang ini? Rela menghabiskan banyak waktu dan tenaga hanya untuk percaya Beomgyu dapat pulang ke hadapan mereka. Yuri tersentil dengan kegigihan mereka, betapa mereka punya keyakinan seteguh itu atau pun niat yang begitu bulat nan utuh. Yuri jarang punya teman dekat dan dia memang tidak berniat punya teman dekat karena merepotkan. Tapi di sini, sekarang ini, Yuri dapat melihat ketulusan yang terpancar di hadapan mereka.

"Ngomong-ngomong, aku memang penggemar beratmu, Writer-nim." Itu suara lembut milik Hueningkai. Yuri mendelik menatapnya. "Kau membantuku. Saat aku sedang sedih atau gundah, membaca tulisanmu dapat menghiburku."

"Oh ya? Kau senang?"

"Bukan senang lagi, aku sangat bahagia!" pekiknya. Wajah pemuda itu polos dan memberikan kesan 'malaikat' jadi Yuri tidak tega jika berkata dengan nada ketus terus.

"Sekarang kau sudah bertemu denganku bahkan satu sekolah denganku."

Kai tergelak. "Yak, itu mengejutkan sekali. Dan sekarang kita teman kan?" tanyanya, agak canggung. Yuri mengangguk, memancing senyuman Kai tertarik naik. "Aku rasa aku akan banyak belajar darimu."

"Ckckc, aku hanya pembual. Pada dasarnya, menjadi penulis itu berlatih menjadi pembual ulung. Tentu saja kisah-kisah itu tidak nyata dan terkesan kekanakkan. Kau tidak bisa belajar apapun dariku, jadi simpan saja harapan itu baik-baik." Apa yang dapat Yuri berikan untuk pembacanya? Mungkin berbagi kesakitan. Mungkin juga berbagi luka. Tapi Yuri merasa terbantu dengan itu semua. Sejauh ini, menyenangkan juga tidak menanggung semua itu sendirian. "Mau aku beritahu sesuatu?"

"Yah, apa itu?"

"Jika kita berhasil membawa Beomgyu, aku sebenarnya ingin berhenti menulis, ataupun membahas Magic Island. Aku sudah berniat seperti itu tadinya. Tetapi, kalau memang .. kalau memang cukup memungkinkan, aku akan mulai dengan pikiranku yang baru dan melibatkan kalian juga."

Kai mengerjap cepat. Sepasang matanya sontak membulat dan berbinar. "Benarkah? Apa yang .. kau akan menulis yang semacam Magic Island?"

"Belum tahu." Yuri menumpu dagunya sejenak. Mereka akan membakar sekolah, mereka akan menyusul Beomgyu dan itu sudah cukup sinting. Meskipun mereka sudah menyiapkan segala hal termasuk keamanan dan kemungkinan lainnya demi proyek ini. Tetap saja, itu terdengar gila. Tapi yah, itu cukup menantang juga. "Aku pikir itu akan jadi hadiah buat kita semua. Satu pengalaman setelah berhasil membawa Beomgyu pulang. Kita lihat saja, aku juga penasaran."

PARADOX. Aku berharap semuanya berhenti, dan menarik diri dari menulis. Tetapi, aku melakukan semua ini demi akhirnya memberikan hadiah berupa tulisan. PARADOX. Aku menulis agar aku terlihat kuat menghadapi masalahku tapi aku juga menulis untuk menuliskan betapa rapuh dan lemahnya diriku, betapa manusiawinya aku dengan segenap luka dan rasa sakit.

[]

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang