****
1. TAEHYUN
Maret. 24
Tubuhku basah kuyup akan keringat. Pelajaran olahraga selalu saja membuatku seperti bermandikan keringat dan rasa kesal yang mendalam. Selain karena aku perlu (lagi-lagi) menjadi bulan-bulanan anak basket yang bertubuh tinggi bagaikan tiang, aku pun perlu merasakan yang namanya mengitari lapangan sekolah hanya karena aku terlambat muncul di lapangan. Guru kami, Pak Kim, seperti punya dendam kesumat denganku.
Mengatur napas yang tersengal-sengal, aku berdiri di tepian garis lapangan sementara beberapa murid perempuan mulai memenuhi lapangan untuk berlatih voli sedangkan para murid laki-laki sibuk mengatur tim baseball. Aku sebetulnya tidak tertarik, tapi tunggu saja, Pak Kim pasti akan meniup peluitnya dan aku perlu masuk ke dalam tim.
"Payah ya."
Aku menoleh ke sumber suara. Choi Beomgyu menyeringai kecil sembari menepuk-nepuk bahuku yang letih. "Kalau aku jadi Ketua dari Perwakilan Murid, aku mungkin akan menghapus pelajaran olahraga," sahutnya kemudian menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Aku meneguknya perlahan sembari menunggunya berbicara lagi. "Aku melihatmu tadi. Lelah sekali, ya?"
"Terima kasih," kataku, mengembalikan minum tadi.
Beomgyu hanya mengangguk singkat. Kami jarang bicara. Aku hanya tahu Beomgyu pindahan dari Daegu karena Ayahnya yang pindah tugas, dia pun tiba di Seoul. Aku tidak mengerti mengapa Beomgyu tidak punya banyak teman. Dia nampak baik-baik saja, supel, dan humoris. Dia pun nampak hangat dalam beberapa momen termasuk detik ini di mana dia rupanya perhatian kepadaku. Mengapa orang-orang seolah menjaga jarak kepadanya?
"Karena aku berbeda, mereka benci orang yang berbeda. Akan menjadi ancaman."
Sejak percakapan aneh tersebut, Beomgyu pun semakin di luar radar siapapun. Kadang dia memang ada, tapi tersembunyi di balik punggung-punggung lain. Ketika makan siang, dia akan menyendiri di pojok perpustakaan maupun meja paling sulit terjangkau di kafetaria. Aku sering mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya bicara tapi sepertinya lidahku kelu begitu saja.
"Aku duluan ya." Beomgyu pamit dari hadapanku karena Pak Kim sudah meniupkan peluit mautnya sembari menyuruh Beomgyu untuk mengisi bagian pitcher dari tim tersebut. Aku mengangguk singkat kepada lelaki itu dan menunggu giliranku di pinggiran lapangan.
Beberapa murid perempuan lainnya berkumpul di sisiku tapi mereka sepertinya tertarik untuk memperhatikan bagaimana Beomgyu bercampur dengan yang lain. "Dia tampan ya."
"Manis."
"Tapi, sayang, dia agak ... aneh."
"Aku dengar dia itu setengah penyihir."
"Ada tato hitam di bahunya. Mengerikan."
Aku meneguk ludahku dan menggeleng pelan, pura-pura tidak mendengar. Sekolah kami cukup modern dan terkenal, bahkan masuk ke koran utama karena beberapa prestasi di kancah nasional. Tapi aku tidak habis pikir mereka masih bergosip seperti itu.
"Hei, Kang Taehyun, jangan membuat si anak baru jadi ikut-ikutan aneh. Dia seharusnya punya banyak teman," celetuk satu murid di dekatku. Aku hanya mengeryit dan berjalan melewatinya begitu saja. Buang-buang energi.
***
November. 1
Meksipun sudah berlalu satu bulan lamanya, kabar itu masih berhembus kencang bagaikan topan yang meluluhlantahkan banyak hal. Kang Taehyun masih gemetaran di kursinya setiap kali dia mengingat peristiwa kebakaran itu dan bagaimana banyak murid yang terluka. Tapi, bukan sebatas itu, Taehyun masih ingat ketika kepulan asap itu makin tinggi dan Beomgyu di sana seolah berusaha menembus api tanpa takut.
Taehyun tahu, setelahnya, Beomgyu benar-benar menghilang. Orang tuanya dan polisi masih terus menyelidiki keberadaan Beomgyu tapi tidak ada tanda-tanda berarti. Taehyun masih ingat bagaimana dia berteriak putus asa demi Beomgyu menoleh kepadanya dan lari dari api yang makin ganas. Tapi tidak, Beomgyu lenyap bersama dengan runtuhan langit-langit di sekitar mereka.
Apakah dia benar-benar mati?
Misteri itu yang masih menempel kuat hingga detik ini .Taehyun yang sebelum kejadian itu memang sudah punya cap "Anak Aneh" semakin tidak terdeteksi dan terus saja menarik diri dari segala bentuk interaksi sosial manapun. Satu dua kali dia diintegrogasi tapi tidak ada kecurigaan apapun dari pihak polisi karena bukan hanya dia saja yang terjebak di tengah kobaran api. Tepat kejadian tersebut, memang sekolah tengah ramai karena ada pameran dan Kang Taehyun yang memang mendapatkan tugas menjaga satu booth serta memandu beberapa murid dari sekolah lain sontak jadi sibuk pula.
"Hei."
Taehyun terkesiap di kursinya lantas mendongakkan wajahnya ketakutan.
"Kau tidak terlihat baik, mau kuantar ke UKS?" tawar perempuan itu. Park Hyeri kemudian terduduk di kursi depan Taehyun yang kebetulan masih kosong. Gadis bersurai hitam sebahu itu menatap lurus. "Sejak pagi tadi kau jadi terlihat pucat. Kau belum sarapan atau bagaimana?"
"Ti—tidak."
Hyeri menghela napas. "Aku tahu kau masih bersedih soal Beomgyu. Aku juga ... maksudku, ini bukan hakku untuk ikut campur tapi kau seharusnya tidak perlu menyiksa diri. Beomgyu pasti akan sedih—"
"Dia masih hidup! Aku yakin itu!" pekik Taehyun, masih diliputi rasa cemas di dadanya. "Aku yakin sekali, dan sampai sekarang tidak ada bukti apapun. Mayatnya pun tidak ada bukan?"
"Mungkin hangus terbakar—"
"Tidak!"
Hyeri terperajat di tempatnya namun dia tidak dapat menemukan kata-kata. Sementara itu, Taehyun mulai mengatur napasnya. Tarik napas. Hembuskan. Hitung angkat satu hingga lima. Setelah berhasil mengumpulkan napas dan suaranya, lelaki itu menatap lurus. "Tidak perlu bersikap ramah lagi. Aku tidak butuh itu," tukasnya kemudian mulai meraih jaketnya dan mulai menekuk tangannya dan menunduk dalam.
***
Februari. 5
Choi Yeonjun menendang kerikil di atas aspal tersebut. Satu. Dua. Lima. Dia memijat bahunya yang sakit sembari memperhatikan bagaimana luka memanjang di lengannya. Seperti biasa, sore tadi dia terlibat perkelahian lagi. Karena kakak laki-lakinya yang sekali lagi menyakiti tetangga mereka, perempuan tua bangka yang hidup sebatang kara. Kakak laki-laki Yeonjun benci ketika perempuan itu muncul di dekat pintu mereka hanya untuk meminta nasi. Padahal biasanya, Yeonjun sudah mengatur strategi agar si perempuan tersebut dapat pulang dengan aman dan nasi di tangan. Tapi, kakaknya, justru pulang di waktu yang tidak tepat.
Yeonjun pun mulai terduduk di kursi taman tersebut. Dia seharusnya ada jadwal kelas tambahan, seperti biasanya. Tapi sudah sebulan belakangan, dia selalu saja bolos. Entah karena ingin memberi makan si perempuan itu maupun pergi ke warnet di dekat sekolah mereka. Sekolah menyebalkan dan Yeonjun ingin sekali pergi dari tempat terkutuk itu.
Yeonjun merasakan lengannya makin perih. Dia menuangkan sedikit air mineral yang ia bawa untuk membasuh luka tersebut. Kakaknya tidak pernah sebrutal itu tapi tadi, dia langsung mendorong Yeonjun hingga mengenai pinggiran meja mereka yang cukup tajam.
Menahan ringisan, Yeonjun mulai menyeka air matanya. Dia merogoh sakunya menemukan pemantik api yang terus bersamanya. Biasanya, jika dia sedang sedih Yeonjun akan mengenggam pemantik itu dan merasa lebih aman. Ada ukiran namanya di sana. Jika orang melihat mungkin mereka akan mengira yang bukan-bukan. Tapi pemantik ini yang terus menemaninya dari waktu ke waktu. Hadiah dari Ayahnya yang sudah tiada. Seolah, dengan menyalakan api, dia dapat berbicara dengan Ayahnya.
"Nak, aku di sini.Kau harus kuat."
Yeonjun menaruh kembali pemantik tersebut dan duduk dengan lesu. Setelah makan malam jika dia belum kembali, Kakaknya pasti akan menghubungi pihak sekolah untuk memastikan apakah dia benar-benar di sana. Tetapi, Yeonjun benar-benar tidak ada energi untuk sekadar bangkit dan pulang ke rumah. Rasanya seperti kebas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC (마법) | txt
Fiksi PenggemarPeristiwa kebakaran di Seoul Science & Art School meninggalkan banyak misteri. Kang Taehyun pun berusaha untuk menemukan kepingan demi kepingan informasi dan membuktikan bahwa sahabatnya, Choi Beomgyu, tidaklah terbunuh di hari itu. Copyright 2019 b...