chap 21 - room 17 (17 호)

360 75 2
                                    

CHAPTER 21

ROOM 17 (17 )

|

Mengapa harus ada benang merah takdir yang terbelit?

Dalam ruangan sempit tersebut, Yuri mendapatkan tempat teraman yang pernah ada. Dia bilang kepada ayahnya—yang sangat pengatur itu—bahwa Yuri ingin ada ruangan khusus di rumah ini di mana tidak sembarang orang dapat masuk. Tidak hanya itu, hanya Yuri yang mendapatkan akses kunci kemari jadi mau seberantakan apa, maupun diisi apa, itu jadi hak Yuri. Ruangan itu disebut kamar 17, angka kelahirannya sekaligus angka yang memang keberuntungannya. Yuri tidak dapat menjelaskan bagaimana terobsesinya dirinya dengan angka tersebut. Orang awam mungkin mengira umur 17 adalah umur ajaib, hanya saja, Yuri pikir umur itu yang istimewa lebih daripada apapun. Tidak hanya itu, kamar 17 punya memorinya tersendiri. Di sini, dia pun terbiasa berteman dengan sepi dan ketukan keyboard dan layar monitornya yang begitu setia.

Di sini dia menulis kesakitannya yang menjelma jadi berlembar-lembar halaman digital. Bahkan, jika gadis itu dapat menjabarkan, kenangan akan Magic Island masih sesegar embun pagi di otaknya. Dia dapat merasakan bagaimana lezatnya makanan, bagaimana nyamannya kasur, atau bagaimana begitu nyata perubahan yang terjadi kepada teman-teman satu keretanya. Tidak hanya itu, Yuri bahkan masih ingat dengan seksama bagaimana ramainya pawai dan antrean yang meliuk panjang di balik punggung.

Dia berkeringat dingin, mempercepat gerakan jemarinya yang lincah. Jika sudah dalam zona "inti" seperti sekarang, tulisan mengalir tanpa bisa dibendunga. Bahkan beton besar sekalipun tidak mampu menahan betapa deras kata-kata yang terus lahir dari ujung jemarinya. Perpaduan antara kepuasan dan kelegaan menari-nari dalam dada. Yuri tidak mau kembali ke tempat asing tersebut, tapi dia tetap rindu terbangun dengan terkejut, merasakan perut kenyang dan hati ringan, serta perasaan mabuk yang menguasai diri sampai sarafnya terasa tumpul tidak terdeteksi.

Yuri memandang puas mahakarya terbesar yang pernah dia cipatakan—buah inspirasi dari perjalanan paling magis dalam kehidupannya. Terbangun dari koma terasa bagaikan selesai menonton potongan film yang tercecer, membentuk badai besar aneka warna, serta ledakan kosmik terbesar di semesta.

Indah.

*

*

Oktober 20

Naeun punya senyuman yang membuat mentari iri. Bukan jenis iri yang sekadar lewat bebas, iri yang mendarahdaging sampai rasanya mentari tidak tenang menjelang malam. Naeun tidak tersenyum hanya dari bibir, melainkan dari sorot matanya yang melekuk cantik. Tidak hanya itu, tutur kata dan sikap Naeun memang membuat malaikat jadi rendah diri. Karena, Naeun sudah membuat siapapun tersenyum dan merasa hidup mereka penuh harapan.

Kenangan itu akan tersemat di benak siapapun yang mengenalnya.

Yuri masih tidak percaya dia berada di tempat ini. Di hadapan lemari kaca berisikan guci besar, serta beberapa foto serta bunga yang masih segar, Yuri memandangi wajah Naeun sekali lagi. Senyuman sehangat pelukan seorang ibu. "Naeun­-ssi, aku datang. Surga aman saja kan? Aku ingin berbicara kepadau karena akhir-akhir ini beban pikiranku makin menjadi. Ayah kelimpungan, ibu mengkhawatirkanku tapi dia masih di Daegu, ibuku yang itu juga kelimpungan dengan urusan sekolah. Kabar terbaru; sekolah mereka terbakar. Tidak hanya itu, sepupuku Choi Beomgyu dinyatakan tewas karenanya. Aku percaya? Entahlah, aku sendiri bingung sampai akhirnya kemari.

Yuri merasa lega karena tempat itu sepi, jadi dia bisa leluasa curhat kepada udara kosong. "Aku juga khawatir, paman dan bibi memang baik dan perhatian. Tapi aku pikir, sesuatu pasti salah kan? Choi Beomgyu itu agak keras dan menutup diri. Aku sudah bilang kepadanya untuk tidak bersikap demikian. Marah-marah saja, menangis saja, toh kita hanya manusia. Tapi, dasar kepala batu! Hm, aku harap dia masih hidup."

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang