ROUND 2 (2차 가자!)

246 48 2
                                    

ROUND 2 (2차 가자) :

JUVENILE DELINQUENCY

|

Kau bohong. Aku tahu, kau bohong jika mengatakan masa remajamu penuh dengan keluguan dan kepolosan yang sudah tergagas di pikiranmu. Bohong. Sampai kapan akan berbohong? Seperti kuncup yang baru mekar, seperti semburat fajar di pagi hari, masa remaja itu meriah—kadang penuh teriakan, tangis, bahkan umpatan. Beomgyu sadari betul bagaimana dia mengalami serangkaian rollercoaster emosi. Jika orang bilang masa remaja adalah masa pembentukan diri, masa pencarian siapa kita sebenarnya. Masa remaja untuk Beomgyu pikir itu tahapan eksperimental; kau akan jatuh, kau akan bangkit, kau akan merangkak, kau tersuruk dengan keras dan kau akan tahu caranya bersandar.

Bersama dengan orang-orang yang sekarang punya arti dalam dirinya; Beomgyu pikir perjuangan untuk kembali ini akan sepadan. Dia mau diomeli oleh Taehyun karena terus mendumel-mengeluhkan nasib buruk-makan ramyun sampai perutnya terisi penuh. Dia mau disindir Soobin karena terus membuat Soobin terusik. Dia bahkan mau dijahili Yeonjun hanya karena alasan sepele, atau bahkan didekati ditempeli dan dikejar Hueningkai yang selalu menganggapnya seolah saudara dan menatapnya hangat.

Beomgyu tersenyum miring, kemudian menunduk. Sepasang kakinya terayun pelan sedangkan embusan angin tetap menerpa sisi kulit. Di atas pohon rindang dengan daun menguning, pikirannya tidak sedamai itu; penuh dengan memori yang dia pikir agak mendekati kata sampah, rupanya sangat berharga melebihi emas. Di Magic Island ada banyak kesenangan tapi mereka semu. Meskipun Beomgyu terpukau dengan langit luas, fajar dan senja menawan, bangunan yang menawan bekas ditempati atau bahkan ajaibnya jembatan pelangit, Beomgyu tetap merasa itu ilusi. Yang nyata ialah dirinya, teman-temannya di sana, dan orang tuanya.

Bahkan dia ingin bertengkar dengan Yuri lagi kalau boleh. Hal remeh itu yang tetap membuatnya punya semangat dan berpikir; oke, akan kucoba terus sampai bisa.

Aku akan kembali, batinnya bergetar.

.

.

"Eomma..."

Ibu Beomgyu menarik bibirnya, yang Beomgyu kenali sebagai mimik tidak suka. Dia pun bergegas membungkuk kemudian menatap wajah putranya. Mungkin usia Beomgyu sekitar enam tahun, hampir merangkak tujuh tahun dan sejak itu, rasanya Beomgyu berhenti bertumbuh. Tidak secara harfiah, tapi emosinya .. berhenti bertumbuh bagaikan bianglala yang berhenti karena mesinnya rusak di tempat. "Dengar, Beomgyu-ya, ini tidak akan lama. Kau akan baik-baik saja dengan Bibi Moon di sini.."

"Tidak mau!" pekik Beomgyu kecil. Dia menatap sekitar, masih mendekat boneka Mr. Hudgens, beruang putih dengan setelah biru yang memudar. "Aku tidak mau dititipkan lagi."

"Tapi Eomma dan Appa ada urusan sebentar sampai sore nanti."

"Kalian selalu pergi.."

"Ini tidak akan lama. Apa yang kau inginkan? Es krim? Cokelat? Boneka laginya?" tanyanya cepat. Beomgyu refleks melihat tumpukan benda-benda di sudut kamarnya kemudian menggeleng. Itu sudah terlalu banyak sampai rasanya Beomgyu tidak berminat untuk mendekatinya lagi.

"Aku mau ikut."

"Tidak bisa, anak-anak tidak diizinkan untuk ikut. Ini acaranya orang dewasa."

"Memang aku tidak?"

Ibu Beomgyu melipat bibirnya tipis. "Tentu saja tidak. Kau masih anak-anak, kau masih kecil dan kau sebaiknya bersama Bibi Moon sampai kami pulang. Tidak ada protes, oke?" Ibu pun bangkit sebelum Beomgyu sempat merengek. Meskipun Beomgyu menahan betis wanita tersebut, Ibu tetap kukuh untuk pergi dengan setengah mendorongnya agar menjauh.

Tidak berapa lama, satu wanita lain pun muncul dan mengajak Beomgyu untuk turun ke bawah. Mungkin akan bermain beberapa kotak balok atau permainan yang sama membosankannya. Beomgyu menekuk wajahnya, berubah masam padahal pagi tadi, dia sudah bertekad untuk agak lebih bersemangat dengan berniat membuat semangkuk sereal dan makan buah. Hyuk! Semuanya tidak berjalan lancar.

"Tuan Muda, apakah sudah bosan? Mau bermain yang lain?"

.

.

When i was a kid, i wanted to be a cowboy—i wanted to be my own defender.

Beomgyu membanting pintunya keras seraya menguncinya. Dengan bantal di tangan, ia berusaha menghalau suara ibu yang meninggi bahkan bisa dipastikan, suara beliau dapat mencapai langit-langit kamar Beomgyu. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Tiga kali dan itu menjadi mantra ampuh untuk membuat Beomgyu jadi lebih tenang, sampai akhirnya ia dapat menurunkan bantal seraya abai dengan teriakan ibu.

Ibu dan Ayah Beomgyu punya gambaran ideal untuk seorang Choi Beomgyu (putra mereka). Tapi, Beomgyu merasa dia gagal untuk memenuhi standar ideal tersebut dari waktu ke waktu. Mereka mengharapkan anak yang patuh, baik hati dan selalu mendengarkan apapun yang mereka inginkan. Tapi, Beomgyu yang ada di tubuhnya tidak pernah mau mengikuti arus semacam itu. Sudah cukup memuakkan dengan tidak memprotes mereka yang seenaknya memutuskan banyak hal terkait Beomgyu termasuk kepindahan ke Seoul padahal mereka cukup tahu bagaimana paranoidnya Beomgyu akan lingkungan baru dan bagaimana susahnya untuk anak Daegu sepertinya beradaptasi di kehidupan perkotaan sepadat Seoul. Sekarang apa? Mereka inginkan Beomgyu masuk akademi khusus setelah SMA? Apakah mereka tidak pernah puas dengan dirinya?

Beomgyu bukannya tidak mau, tapi apakah dia memang tidak ditakdirkan untuk memilih? Dengan fisik seperti ini, yang mudah terserang sakit bahkan dengan perasaan berubah-ubah, Beomgyu pikir itu adalah bencana. Akademi khusus itu pasti dipenuhi selusin anak laki-laki sok keren,berbadan sempurna dengan banyak otot yang mereka pamerkan dengan angkuh, kemudian mereka senang menindas. Beomgyu? Masih untung dia tidak memprotes untuk datang ke sekolah dan duduk belajar.

Tapi mereka ingin yang terbaik.

Tidak, mereka itu ingin punya anak baik yang diinginkan mereka.

Beomgyu buru-buru membuka lemari, menjejalkan beberapa baju secara paksa dan mengantongi dompetnya. Dia tahu penginapan murah yang hanya butuh dua kali naik bis, kemudian dia akan bermalam di sana. Tidak hanya itu, mungkin Beomgyu akan meminta sang pemilik untuk memberikannya soju. Segelas dua gelas tidak akan membuatnya teler sampai, mungkin tiga gelas? Empat gelas? Beomgyu sudah memikirkannya diam-diam. Kabar bagusnya ia tidak perlu sekolah atau repot menjelaskan kemana ia semalaman karena ibu dan ayah memang tidak mau pernah mendengarkan pendapatnya. Bukan hanya sekarang tapi sejak ia kecil, ibu dan ayah yang punya mulut sedangkan Beomgyu hanya punya telinga.

[]

MAGIC  (마법) | txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang