SEMERBAK aroma kopi memenuhi ruangan, aroma khas yang diciptakannya menjadi candu bagi para penggemarnya. Ditambah lagi dengan langit sore yang berubah kelam seakan siap menghantam bumi dengan butiran-butiran air, membuat semua orang berlari menepi mencari perlindungan dan kehangatan.
"Jadi Nadya udah mau ngomong sama lo?" tanya Louis, cowok berjaket navy yang duduk disebelah Regan.
Regan menghela napas menyembunyikan kekesalannya, sesekali ia mengacak-acak rambutnya yang basah terkena guyuran air hujan tadi.
"Lou, sebenarnya gue yang nggak bisa menerima kenyataan atau gue yang terlalu bodoh dalam menyampaikan rasa, sih?"
Louis berhenti menyeruput kopi panas, menatap Regan lamat, cangkir putih kecil yang semula berada dalam genggamannya berpindah ke meja panjang coklat pekat yang berada tepat di hadapannya. Ia hanya heran dengan pertanyaan Regan yang terkesan klasik, pasalnya sangat jarang bahkan hampir tak pernah terdengar olehnya ketika Regan berbicara soal perasaan.
Sebelah alis Louis bertaut. "Kenapa lo nanya gitu?" tanyanya balik.
Tidak tahu kenapa Regan malah jadi galau saat ingatan tentang Nadya tadi siang terus menghantui pikirannya. Hati Regan perih saat dirinya ditampar oleh kenyataan.
Regan, cowok itu butuh seseorang untuk mendengarkan seluruh keluh kesahnya. Namun semua orang seakan berlari meninggalkannya dalam kegelapan seorang diri, tanpa ada satupun yang ingin menolong. Tidak ada yang bisa dipercayainya saat semua masalah berteriak minta diselesaikan, diberi solusi. Pada masa seperti ini hanya Louis lah yang dapat ia beri kepercayaan. Regan yakin Louis bukan tipekal orang yang suka membuka rahasia orang lain.
"Nadya, dia minta gue untuk lupain dia," ujar Regan perlahan tanpa menatap Louis yang padahal hanya berjarak beberapa senti darinya.
Regan membenarkan jaket jeans maroon yang menempel di tubuhnya. "Lo setuju?" tanya Louis yang hanya mendapatkan jawaban berupa gelengan dari Regan.
"Ga, gue ngerti perasaan lo. Tapi coba lo pikir-pikir lagi deh, buat apa sih lo masih mengingat dia yang bahkan meminta lo untuk melupakannya? Buat apa lo memperjuangkan cinta itu sendirian? Gini ya, kalau dia juga punya perasaan yang satu frekuensi sama lo mungkin nggak dia berkilah?" ucap Louis dijeda, sementara pandangan Regan tak sedikitpun teralih ke arah lain. Cowok itu mendengerkan dan mencerna setiap perkataan Louis dengan saksama.
"Mungkin aja sih, gue makhlumi karena dia cewek. Tapi mungkin nggak sih hanya karena hal kecil dia nggak mau mengakui perasaannya padahal lo udah nunggu dia dari lama? Gue rasa itu udah nggak mungkin! Gue yakin dia punya perasaan yang sama ke lo, tapi dia nggak mau menjalin hubungan yang lebih serius sama lo. Dia cuma mau lo itu jadi temennya nggak lebih."
"Jadi maksud lo, dia juga suka sama gue tapi dianya nggak mau menjalin hubungan lebih dari sekedar temen?" tanya Regan meyakinkan.
Louis mengangguk pasti lalu menyeruput kopinya hingga habis tak bersisa.
"Tapi kenapa dia nggak bilang?" dahi Regan sukses mengerut, menantikan jawaban Louis.
"Cewek emang gitu Ga! Mending lo move on dari Nadya, buka hati lo buat cewek lain. Lo nggak perlu merasa bodoh hanya karena cinta lo nggak di terima dan seharusnya lo lebih bisa menerima kenyataan hidup walaupun ada manis pahitnya," Louis membenarkan jaketnya.
Regan hanya terdiam melamun memandangi kopi pesanannya yang sudah tidak panas lagi.
Louis berdiri lalu menepuk pundak Regan pelan dan berkata, "Dia bener, lo harus lupain dia! Gue balik."
Regan hanya mengangguk dengan rasa penuh kebimbangan.
♡♡♡
Derasnya hujan yang mengguyur Kota Jakarta membuat gadis itu memilih sebuah kafe sebagai tempat pemberi kehangatan untuk tubuhnya. Selain itu, ia berencana untuk menyelesaikan lukisannya.
Gadis yang mengenakan sweater maroon mendorong pintu yang berada di depannya, lalu ia memilih tempat duduk yang berada dekat jendela kafe agar ia dapat menyaksikan derasnya rintikan air hujan yang sangat menyejukkan hati.
Gadis itu memesan satu coffelatte dan satu cheesecake.
Setelah memesan, lalu ia mulai membuka buku gambarnya, menampakkan sketsa gambar lukisan wajah seorang pria. Gadis itu menggores-goreskan pensil secara perlahan pada sketsa gambar. Senyuman terukir begitu saja saat bagian rahang cowok itu berhasil di gambarnya dengan sempurna. Selanjutnya gadis itu memperjelas dan mempertajam sketsa gambar.
"Hai."
Sapaan itu membuat Keira mendongak menatap seorang cowok berkemeja grey berdiri di samping meja.
"Siapa ya mas?" kening Keira berkerut.
"Kamu nggak ingat saya?" cowok itu menarik kursi duduk di samping Keira.
Keira menggeleng tidak tahu. Ia rasa ia tak mengenal cowok berparas blasteran ini. Jika di lihat dari raut wajahnya, usia cowok itu tak berbeda cukup jauh dari Keira.
"Kamu kenal Kafka?"
Spontan Keira membulatkan bola matanya saat mendengar satu nama yang sama sekali tak pernah beranjak dari hidupnya. Nama yang selalu membuat hati Keira bergetar saat mendengarnya, nama yang selalu membuat Keira terlambat tidur hanya karena memikirkan si pemilik nama.
"Bang Arka?" ujar Keira gemetar.
Dia tersenyum, akhirnya gadis ini masih ingat akan siapa dirinya.
"Tuh kamu tahu!" ujarnya dengan ramahnya.
"Eh iya bang, tadi aku lupa," Keira tersenyum manis.
"Iya nggak apa, oh ya kamu apa kabar Kei?" tanyanya saat seorang waiters datang membawakan segelas minuman pesanan Arka.
"Baik, kakak sendiri apa kabar?" Arka hanya mengangguk pelan sambil memainkan sendok yang ada pada minumannya.
Sejujurnya Keira sangat ingin menanyakan bagaimana kabar Kafka? Dia sekarang ada dimana? Namun pertanyaan itu sulit untuk di ajukannya. Sangat berat rasanya.
"Minggu depan Kafka pulang ke Indonesia, katanya sih dia lagi ngambil cuti dua minggu. Kamu masih kontak-kontakan sama dia kan?"
Mulut Keira terkunci rapat, jantungnya berdegup tak karuan, otaknya berpikir keras mencerna perkataan Arka.
"Maksudnya? Maksudnya apa? Kenapa Kak Arka bilang Kafka pulang ke Indonesia? Apa Kafka ngilang hanya karena ngambil kuliah di luar negeri?" batin Keira.
"Keira," ujar seorang cowok yang berjalan dari arah dalam kafe menuju pintu keluar.
Spontan Keira mengalihkan pandangannya pada sang pemilik suara. Kening gadis itu mengerut, dalam hati ia bertanya, "Kok dia ada disini?"
"Regan," ujar Keira tanpa sadar.
Regan, pria itu hanya memutar bola matanya malas. Raut wajahnya berubah datar, seakan tak peduli dengan sapaan Keira. Dia malah menarik pintu lalu berlari menerobos hujan untuk menuju mobilnya yang berada di area parkiran kafe.
Keira hanya bisa diam tak menanggapi. Ingin mencegah? Buat apa Keira mencegah Regan agar tidak pergi, lagi pula hubungannya dan Regan hanya pura-pura. Dan satu lagi, kenapa wajah cowok itu malah terlihat menjengkelkan saat menatap Keira dengan wajah datar andalannya itu.
"Siapa?" tanya Arka dengan kerutan tipis pada dahinya.
To Be Continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Love
Teen Fiction"Karena ada banyak rasa yang tak perlu untuk di sampaikan."|| -Dari luka yang tak kunjung pulih. #Welcome to Really Love: Ini perihal hati yang berevolusi menjadi sebuah perasaan beku yang sulit terpecahkan. Perihal luka yang perlahan me...