Chapter : 29

450 52 197
                                    

PETIKAN senar gitar mengisi kesunyian kamar bernuansa hitam putih milik Regan. Melodi gitar di iringi dengan suara merdu Alan menggema dalam ruangan. Sesekali Justin ikut bernyanyi mengiringi petikan senar, meskipun suaranya tak memadai. Ketika suara Justin berusaha mengikuti aliran nada musik, ketika itu pula gelak tawa dari ketiga temannya pecah, tak tertahan.

Setidaknya diriku pernah berjuang..

Meski tak pernah ternilai di matamu..

Setidaknya 'ku pernah menanti,

Terkapar melawan sepi, hatiku..

Yang tak pernah bisa berhenti mencintaimu..

Kulit kacang melayang di udara mendarat tepat pada sasaran, kepala Justin. Si pelempar kulit kacang itu tertawa tanpa henti sembari memegangi bagian perutnya yang di rasa sakit akibat menertawai Justin dengan tingkah bodoh yang di lakukan cowok itu, yaitu bernyanyi dengan penuh penghayatan tapi terkesan alay di mata teman-temannya. Mungkin jika orang lain melihat itu, mereka juga akan kesulitan meredam tawa.

Suara Justin yang terkesan dipaksakan seketika berhenti bernyanyi, semua itu gara-gara kulit kacang yang tiba-tiba menimpuk kepalanya. Justin menatap pria dengan hoodie hijau army yang tengah menertawakannya, ia tahu pasti pria itu juga yang melemparinya.

"Babi lo Lou! Nggak tahu apa orang lagi asyik-asyikan menyalurkan bakat, eh malah lo ganggu!" kata Justin mencomot bolu coklat yang sudah di potong-potong hingga beberapa bagian lalu di sajikan dalam piring dengan hiasan bunga-bunga keemasan di tepinya.

"Bacot! Suara pas-pasan aja sok-sokan nyanyi, pengep kuping gue dengernya!" timpal Louis menunjuk telinganya sebelum meraup muka Justin.

"Anjing lo!" Justin mengumpat ketika telapak tangan Louis meraup wajahnya.

Louis terkekeh. Tanpa sengaja ekor matanya menangkap Regan yang masih senantiasa berdiri di balkon, entah apa yang tengah membanjiri pikirannya. Dia terus berdiri memandangi langit malam dengan taburan bulan dan bintang.

Louis mengedikkan dagu sekilas menatap punggung Regan yang masih terpajang di balkon kamar. Melihat itu, dahi Justin mengerut lalu dengan cepat ia mengedikkan bahu, pertanda ia tak mengerti dengan sifat Regan yang sedari tadi hanya diam tak bergeming, dia lebih banyak melamun.

"Ga tempe gue, dari tadi diem mulu tuh anak, kebanyakan makan garam kali jadi mingkem mulu deh," ujar Justin asal.

"Gak nyambung lo monyet!" sahut Bima dengan jemari masih sibuk mengutak-atik rubik. "Emangnya makan garem bisa bikin kita mingkem gitu?" lanjutnya bertanya.

Louis melayangkan telapak tangan di dahi. "Astagfirullah!" ucapnya lalu berdiri menghampiri Regan, tak mau ambil pusing dengan tingkah goblok kedua temannya. Padahal tadi, ia berharap bahwa Bima masih waras, tapi ternyata Bima dan Justin beda-beda tipis kurang warasnya.

Bima menatap kepergian Louis heran, kening berkerut, sebelah alis terangkat meminta penjelasan.

Justin yang tadinya duduk di atas kasur bersama Alan, berpindah duduk di sebelah Bima di sofa abu-abu. Kedua tangan Justin terangkat setinggi perut, melayangkannya secara perlahan.

"Gini loh Bima, garem itu kan asin kalau lo makan terlalu banyak, lo bisa mingkem mulu karena garem itu asin. Kalau kebanyakan makan asin mulut jadi mingkem mulu eh," kata Justin memberikan penjelasan berbelit, Justin menggaruk tengkuknya bingung.

"Bener apa enggak sih penjelasan gue? Tau ah, lo bodoh sih! Masa itu aja ga ngerti," timpal Justin menoyor jidat Bima di akhir kalimatnya. Tatapan Bima menajam, membuat Justin bergidik ngeri.

Really LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang