xxvi. last dance

4.1K 540 61
                                    

Mata bulat itu mengedipkan matanya sesekali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.

Baru menyadari lengan seseorang; yang ia pastikan adalah Seulgi, melingkar di perutnya. Ia tersenyum sendiri merasakannya.

Menoleh, dan wajah damai Seulgi tertidur terpampang. Menyampingkan tubuhnya menghadap ke Seulgi, sesekali mengelus pipi gembul gadis itu. 

Pagi ini, ia rasanya sangat bersyukur atas kejadian semalam, menciptakan desiran hangat di dadanya.

Irene menenggelamkan dirinya ke dalam dekapan Seulgi. Mendengarkan detak jantung gadis itu yang teratur. Hal ini yang selalu ia rindukan sejak pertama melakukannya.

"Eumm..." Gumam Seulgi, akhirnya monolidnya ikut terbuka, mendapat dekapan dan senyum Irene sebagai ucapan selamat pagi.

Keduanya hanya terdiam, Seulgi yang menikmati jemari halus Irene yang menerpa wajahnya. "Sarapan yuk," Ajak Seulgi lembut, saat tubuhnya ingin bangkit Irene menahannya.

"Biarin kaya gini dulu ya," Seulgi menurut.

"Seul," Sedikit jeda sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kenapa lu cuekin gua? Apa karena waktu itu?"

Yang ditanya sempat terdiam, kemudian menggeleng lemah.

"Terus kenapa?"

Irene terus menuntut jawaban dari Seulgi yang bungkam.

Seulgi menghembuskan nafasnya gusar,
"Lu balikan sama mantan lu kan?"

Irene terdiam, bibirnya terkatup rapat, melihat Seulgi yang masih ingin melanjutkan ucapannya. "Gua cuma butuh waktu, lagipula kayaknya lu gak butuh gua lagi." Kata Seulgi enteng, memang ia berpikir seperti itu.

"Seulgi," Salah satu tangannya menangkup pipi Seulgi, "Kata siapa?" Tanyanya lembut. "Dia emang minta satu kesempatan sama gua,"

"Dan lu terima kan?" Potong Seulgi tiba-tiba, "Gua liat lu makan bareng sama dia di suatu restoran, Jimin juga bilang dia babak belur kare-"

"Seul, dengerin gua ngomong dulu ya," Ucap Irene lembut, jempolnya mengusap lembut pada pipi itu,"Dia emang minta satu kesempatan lagi, tapi gua nolak."

"Terus kemarin lu jalan?" Seulgi terdengar seperti kekasih yang cemburu sekarang.

"Dia minta sampai akhir pekan, buat jalan bareng sama dia. Habis itu kita beneran selesai." Kata terakhir Irene tekankan. Seulgi mengalihkan tatapannya sekarang, tak berani karena malu.

"Cemburu ya?" Goda Irene, telunjuknya menoel-noel pipi Seulgi.

Seulgi bangkit dari ranjang tiba-tiba, "Sarapan ayo, gua buatin bubur buat lu."

"Gak mau." Tolak Irene mentah-mentah.

"Harus. Minum obatnya juga." Seulgi pergi keluar lebih dahulu.

Seulgi menyalakan kompornya, pikirannya masih kepikiran mengapa Irene melakukan itu.

Sambil menunggu buburnya masak, ia juga menuangkan susu untuk mereka berdua.

Irene datang dan menaruh bokongnya di kursi meja makan. Memperhatikan ketelatenan Seulgi. Seulgi bahkan lebih telaten dalam hal dapur dibanding dengan dirinya.

Memang dia harus banyak-banyak bersyukur pagi ini, keputusan yang tepat telah ia pilih, semakin bersyukur lagi Seulgi yang sepertinya tak akan leave, ini sudah sebulan lebih bukan?

"Minum dulu obatnya," Menyodorkan obat cair itu beserta sendoknya pada Irene di meja.

"Udah gak sakit Seul perut gua, cuma dikit aja," Tolak Irene halus.

Seulgi menajamkan monolidnya mendengar hal tersebut namun perilaku itu malah mengundang gelak tawa Irene.

Dan akhirnya dengan terpaksa Irene meminum obat maag itu dan memakan bubur yang Seulgi buat, dengan syarat Seulgi juga harus sarapan bubur itu, dengan rela hati Seulgi menurut, demi Irene.

Seulgi meletakkan dua mangkok bubur polos dan dua gelas susu hangat di atas meja makan, uapnya mengepul ke udara.

"Kemarin mama lu nelpon terus, gua gak angkat, sorry."

"Gapapa, justru gua harus bilang makasih ke lu, udah ngerawat gua semalem sampai pagi ini," Senyum Irene begitu cerah, Seulgi terbuai akan itu.

Seulgi selesai lebih dulu, meneguk habis susunya sebagai penutup. "Seul, jadinya lu kuliah dimana? Lu stay di sini kan?"

Seulgi membeku di tempatnya, Irene belum tahu yang sebenarnya. Ia hanya takut senyum itu luruh, jika ia tahu sebenarnya.
Menutupi ketegangannya dengan pura-pura tersedak. "Hati-hati minumnya!"

Membelakangi Irene yang masih makan, tangannya mengusap permukaan mangkuk itu dengan busa cuci piringnya, membilasnya dengan bersih. Lalu kembali duduk di hadapan Irene dengan gugup.

"Seulgi," Panggil Irene, ia sedikit menyingkirkan mangkuk kosong itu, melipat tangannya di meja, monolid itu mendapat tatapan serius dari lawan bicaranya. "Makasih untuk semuanya. Terutama hati lu."

Was-was melingkupi perasaan Seulgi.
"Alasan gua nolak Jeffrey bukan karena hanya satu alasan, banyak yang gua pertimbangin. Salah satunya lu, gua gak mau nyakitin lu terus. Gua mau lu dapat apa yang pantes untuk semua cinta yang udah lu curahin ke gua." Irene menelisik dalam ke monolid itu, menyalurkan perasaan tak kasat mata, "Untuk mencoba seperti lu, mencintai lu dengan sepenuh hati, ngasih hati gua cuma untuk lu." Irene menghembuskan nafasnya lega kala kalimat itu selesai, ia begitu gugup menunggu reaksi Seulgi.

Detaknya kembali tak normal, Seulgi merasakan ritme jantungnya yang menari-nari semakin cepat.

Detik itu juga, ia semakin bulat dengan keputusannya yang ia pikirkan semalam.

Seulgi berusaha nunjukin senyumnya, terkesan tak tulus. "Besok sore jalan sama gua,"

Senyum Irene mengembang sepenuhnya.

BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang