xxxii. Utrecht

3.7K 523 52
                                    

Irene turutin kemauan Seulgi.
Tapi, itu malah membuatnya khawatir dan tersiksa. Belum ada tanda-tanda juga gadis itu ingin menghubunginya.

"Jaga dirimu." Irene menganggukkan kepalanya di dalam dekapan lelaki dewasa ini. "Jangan terlalu pikirkan mama, ia hanya kecewa padamu. Tidak membencimu."

"Ya, makasih Pa. Irene pergi ya," Tangan Irene menarik kopernya. Meninggalkan ayahnya yang telah mengantar ke sini.

Semuanya malam ini Irene lakukan hanya dengan modal nekat, ia tak tahu dimana rumah Seulgi di sana. Yang gadis itu tau, hanya kota tempat Seulgi tinggal.

Ia menghembuskan nafasnya pelan, entah semuanya terasa berat akhir-akhir ini.

----

Kan sudah di bilang, Irene modal nekat saja untuk pergi ke sini, minim persiapan. Memasuki kamar hotel yang ia pesan untuk satu hari saja. Setelah perjalanan panjang hampir 14 jam lebih, ia sampai di Amsterdam malam sore hari. Dengan sedikit jet lag dan lelah, ia lebih memilih istirahat sebentar lalu lanjut pergi ke kota Seulgi berada, menggunakan kereta.

Ia meraih ponselnya, menelpon Seulgi adalah hal pertama yang akan ia lakukan jika telah sampai di sini.

Tersambung. Namun Seulgi kekeuh tak ingin menjawab panggilannya dan menolak.

Gadis itu menenggelamkan wajahnya pada bantal yang ia gunakan, meredam
isak tangisnya.

Ia takut.

Jika nanti yang ia lakukan saat ini, semuanya sia-sia.

















Tekadnya untuk bertemu Seulgi kembali terkumpul saat di pagi hari. Sejak pagi, ia sudah harus bangun dan sibuk nyiapin semuanya.

Dan sekarang, sudah hampir lima belas menit dia duduk di dalam kereta ini, informasi yang ia tau perjalanan kali ini tak akan memakan banyak waktu, seharusnya. Karena tak banyak wisatawan juga yang datang. Paling tidak lima belas menit lagi ia sampai.

seulgi

seul|

tlg angkat telpon aku|

atau balas ini aja|

aku mohon|

Ceklis dua.

Oke. Irene tunggu.

Tapi belum ada balasan saat akhirnya ia sampai di kota Utrecht.

Menyimpan handphonenya sebentar untuk mencari taksi dan penginapan.

Untuk pertama kalinya Irene pergi ke negeri asing, sendirian. Kota ini memang lumayan ramai apalagi pesepeda-nya, ada jalur untuk sepedanya sendiri; banyak juga sepeda yang terparkir. Dan jangan lewatkan kanal-kanal air yang lebih bersih dibandingkan Jakarta. Semuanya tampak asri.

Setelah membayar, ia menarik kopernya masuk ke sebuah hotel. Melangkah ke kamarnya setelah melakukan pemesanan tadi.

Ia tak yakin berapa lama akan di sini.

Semuanya masih tak pasti.

Tau Seulgi dimana saja tidak.

Bodoh. Irene memang bodoh.

---

"Seulgi!" Pintu kamar Seulgi terbuka, tapi si pemilik kamar lagi asik tidur, hari sudah hampir sore dan dia belum bangun juga dari tidur siangnya.
"Gi!" Suara bariton itu kembali memanggilnya, berusaha untuk membangunkan sang anak.

"Hmm..." Balas Seulgi yang belum sepenuhnya sadar. Memaksa untuk membuka kelopak matanya. "Kenapa yah?"

"Ayah bentar lagi berangkat nih, kamu mau ikut gak? Kalau gak ikut temenin si Kevin aja tuh main PS di bawah, daritadi nungguin kamu bangun." Suara ayahnya yang berbicara gak bisa ia dengar dengan baik karena terganggu ringtone handphonenya. "Hape kamu bunyi mulu tuh daritadi, kamu pules banget ya, ampe gak denger gitu."

Seulgi ngeraih handphonenya di nakas, melihat siapa yang nelpon bikin dia gak mau angkat, "Yah, berangkat jam berapa?"

"Setengah jam lagi," Ayahnya bermaksud ingin keluar dari kamar putrinya, tapi ponsel Seulgi kembali mengeluarkan suaranya, tanda ada yang menelpon. "Kamu kalo ada masalah sama dia, selesain. Ayah masih nunggu keputusan kamu. Kamu udah buang banyak waktu banget."

Mendengar itu, kepala Seulgi menunduk, merasa bersalah. "Iya, yah."

Setelah turun, ia menghampiri saudara sepupunya yang fokus main game.

"Eh udah bangun!" Girang anak lelaki itu, usia Seulgi dengan Kevin berbeda setahun saja, dengan Seulgi yang lebih tua.

Seulgi ambil salah satu controller yang sudah dicolok sambil nungguin permainan yang lagi saudara sepupunya jalanin, selesai.

Selama nungguin itu game berakhir, handphone Seulgi juga ikutan berisik, akibatnya fokus saudaranya buyar. "Seul, diangkat dulu sana, ganggu tau ga."

"Ck," Seulgi lebih milih nolak itu panggilan.











Sore ini Irene pergi ke sebuah kafe terdekat. Sedikit bingung ingin memesan apa; karena ia tak mengerti bahasa yang tercantum di menu, akhirnya berakhir dengan sebuah kopi dan bananencake, begitu yang terpampang di menu.

Sambil menunggu, ia berusaha kembali menelpon Seulgi. Berkali-kali. Banyak pesepeda berlalu-lalang yang ia lihat dari dalam sini. Posisinya yang berada di dekat kaca, menguntungkan untuk melihat pemandangan ini, setidaknya bukan motor dan mobil yang mengeluarkan asap beracunnya dengan suara bising karena macet.

Sampai kapan Seulgi mengacuhkannya seperti ini?

Irene sudah tak bisa menghitung berapa kali ia telah menelpon nomor Seulgi sejak kedatangannya di sini.

Namun, untuk kali ini saja, Irene sangat berharap gadis itu menjawabnya.

Ambisinya terus patah sejak Seulgi tak mau menghubunginya, padahal aktif.

"Angkat Seulgi." Lirihnya.









"Bisa gak sih jangan ganggu aku? Aku udah bilang tunggu sampai aku yang hubungin kamu lagi." Kesal Seulgi. Akhirnya dia mengangkat panggilan itu karena menggangu kesenangannya.

"Kamu bisa ga dengerin aku dulu? Kita perlu bicara."

"Aku gak mau ngomong sama kamu dulu. Jangan hubungin aku."

Tepat sebelum Seulgi ingin memutuskan telpon itu, perkataan Irene yang terdengar pasrah dan lemah menghentikannya,

"Seulgi, aku di sini. Di Utrecht."














mmf kalo ga nge-feel :') kelamaan ngendap di kepala idenya.

BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang