5. Kembali berjuang

857 124 13
                                        

Pak June dan Ciji sedang berada di cafe. Pak June yang meminta. Karena tadi gurunya rapat, jadi semua murid dipulangkan dan Pak June menyuruh Ciji menunggunya karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan Ciji setelah menerima pesan singkat dari Ciji.

"Kenapa kamu ingin pindah kelas?" tanya Pak June serius.

"Ini keinginan mereka."

"Kenapa begitu?"

"Mereka gak mau saya atur. Mereka ngira saya jadiin mereka babu. Tapi Bapak tau sendiri kan, kenyataannya."

"Mereka juga bilang, saya tukang ngadu. Tapi saya cuma ngadu sama Bapak, karena memang itu permintaan Bapak."

"Siapa yang bilang itu semua sama kamu?"

"Nagarjuna."

"Si brandal itu ternyata. Dia memang tidak bisa hidup tanpa membuat masalah!" kesal Pak June.

"Saya gak dihargai sama mereka. Mereka gak butuh saya."

"Tapi saya butuh kamu, Ciji. Saya butuh bantuan kamu."

"Saya udah terlajur bilang bakal pindah kelas sama mereka. Saya tetep akan pindah kelas."

"Kamu bilang akan berjuang lagi demi masa depan mereka. Kamu ingat perkataan kamu itu kan?" tanya pak June dengan penuh harap.

"Saya ingat, Pak. Tapi mereka sendiri yang nyuruh saya berhenti berjuang."

"Saya mohon, Ciji. Pikirkan baik-baik!" pak June terlihat frustrasi membuat Ciji merasa kasihan.

'Kenapa Pak June sih yang mohon-mohon sama gue? Gue kan gak bisa liat pak June kayak gini.'

"Oke Pak, ada syaratnya."

"Apa?" pak June terlihat kembali bangkit.

"Mereka harus mohon-mohon ke saya buat kembali ke kelas itu."

Pak June melohok mendengar syarat yang kekanak-kanakan dari mulut Ciji itu.

"Oke. Akan saya usahakan." Ciji tersenyum.

Begitu besar rasa tanggung jawab Pak June pada mereka. Apakah mereka tidak merasakan itu? Ciji sangat mengasihani waktu pak June yang terbuang sia-sia hanya untuk murid-murid skandal seperti mereka.

Ciji meminum kopinya yang sudah dingin dengan sekali teguk sampai habis. Ia melihat arloji yang terpasang di tangannya, pukul 13.45, "Kalo gitu saya pulang ya, Pak June." Ciji berdiri dari duduknya.

"Biar saya yang antar." Pak June ikut berdiri.

"Gak usah, Pak. Saya udah pesen ojol, kasian kan, kalo di cancel," tolak Ciji halus sambil tersenyum.

"Saya pamit, Pak." pak June hanya mengangguk. Ciji mulai melangkah keluar. Pak June menatap kepergian Ciji.

Baru beberapa langkah, Ciji membalikkan badannya. Pak June menaikkan alisnya seolah bertanya 'kenapa'.

"Makasih ya, Pak, traktirannya!" Ciji sedikit berteriak membuat beberapa pengunjung lain menoleh kepadanya. Pak June hanya mengangguk sambil terkekeh.

Ciji melambaikan tangannya dan berlalu pergi.

***

Ciji menghela napas panjang kemudian tersenyum. Sebenarnya ia sudah sangat lelah menghadapi teman-teman ajaibnya, tetapi entah kenapa ia juga merasa senang jika ada perubahan dari mereka.

Seperti Hana, sejak awal semester dua dimulai, ia jadi lebih sering masuk sekolah. Ciji masih belum bisa mengungkap kenapa Hana selalu absen. Ia akan cari tahu itu!

"Assalamualaikum. El pulang!" Ciji memasuki rumahnya. Mencari keberadaan ibunya.

"Wa'alaikumussalam. Lho kok pulangnya cepet?" wanita paruh baya dengan pakaian sederhana menyambut putrinya.

"Gurunya ada rapat mendadak." Ciji mengingat sesuatu, "oh iya, Bun. Aku ada jadwal sama tutor jam 3."

"Lho hari ini kan, gak ada jadwal sama Bu Khansa," heran Bunda Ciji. Bu Khansa adalah tutornya Ciji.

"Aku yang minta." Bundanya sudah biasa dengan sikap anaknya yang selalu melakukan hal sesuai keinginannya.

"Oh iya, Bun, satu lagi. Kita belajarnya gak di rumah. Di cafe deket apartemen Bu Khansa."

"Kamu jangan terlalu cape yah?" Ciji hanya mengangguk sambil tersenyum.

Bunda Ciji memang tidak terlalu keras dalam mendidik Ciji. Tetapi Ciji yang begitu ambisius dalam belajarnya, ia selalu merasa kurang terhadap ilmu yang ia dapat. Terkadang ia merasa kelelahan karena terus belajar, sampai lupa jika tubuhnya membutuhkan istirahat.

"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Iya. Jangan lupa makan dulu ya, Bunda udah siapin di meja makan." Ciji kembali mengangguk lalu meninggalkan bundanya dan pergi ke kamarnya.

***

Ciji sudah siap, hendak pergi sesuai jadwal yang sudah ia buat dengan bu Khansa.

"Kemana, El?" langkahnya terhenti karena perkataan seseorang.

"Pergi belajar sama bu Khansa di cafe deket apartemen bu Khansa," jawab Ciji dalam satu tarikan napas.

"Gue anter!" ucapnya.

"Kenapa? Gak percaya?" Ciji sudah tahu jika orang ini tidak percaya kepadanya. Ia mengira Ciji akan pergi bersama laki-laki, atau pergi bersama teman-temannya.

"Kalo gak percaya, tanya aja sama bunda." Ciji hendak pergi lagi.

"Percaya. Biar gue yang anter!" orang ini menarik tangan Ciji paksa.

"Bang Adit!" Ciji berteriak karena terkejut. Ya. Orang ini adalah Adit. Kakak dari Ciji. Yang selalu membuat mood Ciji turun seketika. Yang selalu berlebihan dalam menjaganya. Yang selalu ikut campur di setiap urusannya. Ciji benci itu. Dan satu lagi yang paling menyebalkan. Adit adalah alasan kenapa tak ada pria yang berani dekat dengan Ciji. Jika ada, bersiaplah pria itu akan merasa tersiksa jika masih dekat dengan Ciji.

Adit dan Ciji sudah berada di dalam mobil. Ciji tidak mau menatap wajah kakaknya yang menyebalkan itu. Ia menekuk wajahnya sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

Di perjalanan tak ada yang membuka suara sampai meraka tiba di sebuah cafe.

Ciji turun tanpa mengatakan apapun. Adit pun ikut turun. Ciji bingung kenapa abangnya ikut turun juga.

"Ngapain ikut turun?" tanya Ciji sinis.

"Mau beli minuman di dalem." setelah mengatakan itu Adit melangkah maju meninggalkan Ciji yang masih terlihat kesal.

"Alah alesan! Pasti dia masih gak percaya kalo gue ketemuan sama bu Khansa." Ciji pun menyusul Adit yang sudah masuk ke dalam cafe.

Di dalam sana sudah ada Adit yang sedang berbincang dengan bu Khansa. Ciji melangkah ke arah mereka.

"Selamat sore, Bu." bu Khansa tersenyum, "Sore, Ciji."

"Ibu kira kamu datang ke sini sendiri," ucap bu Khansa sambil melihat Adit.

"Awalnya sih gitu, Bu. Tapi bang Adit baik banget mau nganterin saya," ucap Ciji sambil tersenyum terpaksa. Bu Khansa hanya terkekeh mendengarnya.

"Ya sudah bu. Saya pamit ya," pamit Adit sopan.

"Nanti gue jemput. Jam berapa?" tanya adit pada Ciji.

"Gak usah!" tolak Ciji pelan tapi penuh penekanan.

"Oke jam 5." setelah mengatakan itu Adit pergi meninggalkan Ciji yang memutar bola matanya malas.

"Oke Bu, kita mulai."

***

Gimana rasanya punya kakak yang super posessif kayak Adit?
Pasti nyebelin kan...

Kalo kakak kalian kek gimana nih?

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang