11. Cowok gila

687 56 1
                                    

Saat kamu dituntut untuk menjadi orang yang sempurna tetapi kamu tidak akan pernah menjadi orang itu. Karena kamu yakin, kamu tidak akan menjadi orang yang sempurna. Seperti hal yang paling mustahil untuk melakukannya. Seperti sebuah hal yang paling sia-sia jika kamu melakukannya. Karena kamu tidak akan pernah menjadi orang yang sempurna, meskipun kamu berjuang untuk hidup yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semesta alam. Itu yang harus diingat.

Konsentrasi Ciji hilang, pikirannya kembali ke kejadian tadi. Ia berusaha belajar dengan konsentrasi tapi tidak bisa. Ia mencoret bukunya abstrak. Pikirannya kalut, ia tak bisa berpikir.

Ciji menjambak rambutnya frustrasi. Sejenak ia juga ingin menikmati hidupnya, ia tak mau terus-terusan merasa tertekan seperti ini.

Ciji berdiri, memakai jaketnya yang terpajang di belakang pintu kamar. Ia keluar rumah, tak peduli jika ini sudah tengah malan. Ia hanya butuh pelampiasan.

Ciji berlari sekuat tenaga. Terus berlari melawan dinginnya malam. Tanpa mempedulikan napasnya yang tidak beraturan karena kehabisan oksigen.

Ia sudah berada di jalan raya yang sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melintas. Ciji terus berlari di atas trotoar. Kakinya semakin lemas, ia berhenti dan terduduk di atas trotoar menghadap sungai. Air matanya mengalir tanpa disuruh. Napasnya memburu dan keringatnya bercucuran memenuhi kening dan pelipisannya.

"AAAAAARRGHHHHHH!" ia berteriak melepaskan amarahnya.

"Gue gak nyangka lo segila ini." suara orang itu sangat mengganggunya. Ciji mohon, kali ini saja ia sedang tidak ingin diganggu siapa pun. Ia ingin sendiri.

Orang itu, menggeletakan sepedanya begitu saja lalu ia menghampiri Ciji yang kini membelakanginya. Ciji segera menghapus air matanya, ia mengatur napasnya.

Ciji membalikkan badannya, memandang tidak suka orang di depannya. Siapa dia? Ia tak mengenali pria di depannya, tapi sepertinya pria itu mengenalnya. Tapi sepertinya Ciji pernah melihat wajahnya. Entah dimana.

"Siapa lo?"

Pria itu hanya menyunggingkan senyum. "Gak penting sih."

"Emang."

Ciji berdiri kemudia melanjutkan larinya. Pria itu juga ikut berlari, berusaha mensejajarkan badannya dengan Ciji.

"Ngapain lo?"

"Lari," jawab pria itu sambil senyum cengengesan.

"Gila!" Ciji membalasnya dengan senyum meremehkan.

"Emang. Lo juga." pria itu tetap santai.

Ciji tiba-tiba berhenti dari larinya. Pria itu mundur dengan gerakan kaki seperti masih berlari. Pria itu kembali tersenyum sambil menatap Ciji. Sedangkan Ciji menatapnya aneh, Ciji sangat yakin pria di sampingnya ini benar-benar gila.

Ciji segera berbalik sambil berlari, ia akan pulang saja. Lagi pula ia sudah melampiaskan segala amarah dan kekesalannya. Dan juga, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Sepertinya pria itu tidak lagi mengejarnya, Ciji menengok ke belakang lalu pria itu melambaikan tangannya dengan senyum di bibirnya. "Sampai ketemu di kelas!"

Ciji masih bisa mendenger itu. Maksudnya ketemu di kelas apa? Apa dia berada di sekolah yang sama dengannya? Ah entahlah, Ciji tidak perlu memikirkannya. Tidak penting juga.

***

Pagi hari sekali, Ciji sudah siap dengan seragamnya. Sengaja, ia sedang tidak ingin bertemu dengan ayahnya dan juga kakaknya. Ia masih sangat kesal jika melihat wajah ayahnya, sedangkan ia masih merasa bersalah kepada kakaknya.

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang