36. I'm Not Oke:(

43 8 3
                                    

Seorang remaja yang masih memakai seragam putih abunya menghampiri ayahnya di ruang kerja. Membuat ayahnya terbingung-bingung melihat anaknya ke ruangannya. Pasalnya mereka jarang sekali saling menyapa atau mengobrol seperti seorang anak dan ayahnya. Mereka saling diam dan berbicara seadanya saja ... semenjak kejadian itu.

"Aku menemukannya."

"Sudah Ayah bilang hentikan semua ini!" teriak Sang Ayah murka. Menatap anaknya yang kini hatinya sudah mati.

"Kenapa? Ayah gak sayang dia?" raut wajah anak itu menatap ayahnya curiga.

"Enggak, Nak. Kamu salah."

"Kamu pikir dengan kamu bertingkah seperti ini bisa mengembalikan adik kamu?"

Pria remaja itu tersenyum miring dengan sebelah alis yang diangkat, "Seenggaknya, nyawa dibalas nyawa. Adil kan? Dia harus merasakan apa yang sudah adik aku rasakan."

"Kenapa Ayah jadi gini? Bukannya dulu Ayah yang dukung aku?"

"Ayah salah, Ayah sudah sadar sekarang. Ayah mohon, hentikan semuanya."

"Gak semudah itu, Ayah."

"Aku bisa melakukannya tanpa Ayah."

Setelah itu remaja dengan wajah dingin itu pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun lagi.

.

Ciji melewati hari-hari yang begitu berat. Ia sampai ingin menyerah menghadapinya. Semuanya terasa sulit. Rasanya sesak. Ia bahkan tak peduli lagi dengan nilai-nilainya. Pikirannya berkeliaran kemana-mana, bahkan ia tak bisa belajar.

Rapot sudah ada ditangannya. Semua hasil belajarnya selama dua tahun ini sia-sia. Perjuangannya untuk menjadi gadis baik yang membanggakan orangtua itu tidak terwujud. Semuanya hancur.

Ciji menatap rapotnya lagi. Pandangannya kosong. Bahkan orang-orang tak menyadarinya karena Ciji hanya diam. Mereka hanya tahu Ciji yang kuat.

Peringkat 5 di kelas.

Peringkat 23 di sekolah.

Ciji meremas-remas lembar kertas rapotnya menjadi bola kusut. Ia memegangnya dengan erat dengan pandangan kosong lurus ke depan.

"Selamat, Arsenio. Meskipun kamu murid baru, kamu bisa dapat peringkat satu dengan nilai yang bagus. Pertahankan yah."

Semua murid di kelas saling tatap. Mereka bertanya-tanya, kalo Arsen ranking satu terus Ciji ranking berapa?

Ciji tidak peduli dengan desas-desus orang yang membicarakannya. Ia hanya diam dengan tangan yang mengepal menahan marah.

"Ciji ikut saya!"

Ruang konseling

"Kenapa, Ciji?" pak June menatap Ciji prihatin. Ia tak menyangka murid yang sangat ia bangga-banggakan kini sangat mengecewakannya dengan nilai yang anjlok.

"Kamu sangat mengecewakan saya. Bukan saya saja, guru-guru lainnya pun kecewa sama kamu. Kamu murid dengan nilai tertinggi di sekolah ini. Entah kenapa nilai kamu sampai turun drastis seperti ini."

Kenapa orang-orang merasa kecewa padanya? Padahal di sini, dia yang disakiti dan dikecewakan.

"Cerita sama saya apa yang terjadi sama kamu?"

Ciji berusaha kerasa untuk tidak menangis, meskipun matanya sudah berkaca-kaca. "Saya ... minta maaf. Maaf telah mengecekan Bapak dan guru-guru lainnya." suaranya bergetar.

Pak June yakin Ciji sedang tidak baik-baik saja. Namun ia tak bisa memaksa Ciji untuk menceritakan apa yang terjadi.

"Kalo gitu, saya pamit." Ciji pergi begitu saja. Berjalan cepat agar air matanya tidak tumpah di depan pak June.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang