14. Hal yang paling memalukan

562 37 1
                                    

"Ciji, rok lo tembus!"

Ciji langsung berhenti melangkah, ia membalikkan badannya menghadap Arsenio dengan mata yang masih membulat karena terkejut.

Arsenio berjalan ke arah Ciji, "lo tunggu di sini. Gue ke kelas dulu."

Ciji kembali duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki. Ciji memegangi perutnya yang terasa semakin nyeri. Sebenarnya ia malu saat ada seorang lelaki yang mengetahuinya. Bukankah itu hal yang sensitif bagi perempuan? Namun sekarang Ciji tidak peduli, ia hanya merasakan sakit di perutnya. Kenapa pula tamu bulanannya datang dengan waktu yang tidak tepat?

Arsenio berdiri di depannya dengan jaket di tangannya. "Berdiri!" kini Ciji yang menuruti perkataan Arsenio.

Arsenio melilitkan jaketnya di pinggang Ciji. Ciji masih menahan sakitnya. Arsenio menatap Ciji khawatir, ia khawatir karena muka Ciji menjadi pucat.

"Kita ke UKS. Lo masih bisa jalan kan?" Ciji mengangguk. Ciji menggigit bibir bawahnya menahan sakit.

Ciji berjalan dengan sedikit membungkuk. Perutnya seperti diperas dan seperti ditusuk-tusuk. Arsenio menuntunnya karena kasihan melihat Ciji berjalan seperti itu.

Ada beberapa murid yang memerhatikan mereka. Untung saja jam pelajaran sedang berlangsung kalau tidak pasti ia sudah menjadi pusat perhatian sekarang.

Arsenio menidurkan Ciji di salah satu ranjang UKS. Ada Bu Nina yang sedang berjaga langsung menghampiri mereka dengan muka khawatir.

"Kenapa ini?"

"Biasa, Bu." Ciji yang menjawab dengan berusaha tersenyum.

Bu Nina mengangguk paham, ia berjalan ke laci untuk mengambil beberapa obat pereda nyeri dan lainnya. Ciji memang sudah langganannya, setiap datang bulan pertama dia selalu ke UKS hanya untuk meredakan nyerinya, tetapi memang daya tahan obatnya tidak lama, setelahnya Ciji akan merasa sakit lagi dan berakhir pulang ke rumah.

Ciji sudah meminum obatnya, ia merasa perutnya sudah tidak sesakit tadi meskipun masih terasa sakit.

"Lo emang suka separah ini ya?" Arsenio meringis menatap Ciji.

Ciji mengangguk dengan mata terpejam, rasa nyerinya perlahan hilang. Namun ia yakin ini tak akan berlangsung lama. Arsenio terus menatap wajah Ciji, ia seperti merasakan sakit yang Ciji rasakan, ia kasihan pada Ciji, apalagi muka Ciji sangat pucat, dia pasti menahan sakit.

"Daripada lo liatin gue, mending ambilin tas gue di kelas." Ciji berucap masih dengan menutup mata.

Arsenio tersadar, "siapa juga yang liatin lo!"

Setelah itu Arsenio pergi meninggalkan Ciji, menuruti perintahnya untuk mengambil tas ke kelas. 

Ciji membuka matanya, ia merubah posisinya menjadi duduk. Perutnya sangat tidak nyaman, ia merasakan sakit kembali. Ia ingin segera pulang saja.

Ciji mengambil ponselnya dan menekan kontak Naga. Dipikirannya hanya ada Naga, orang yang akan mengantarkannya pulang. Mungkin.

Beberapa kali Ciji menelepon Naga tetapi orang itu tak kunjung mengangkat telponnya. Ciji menjadi kesal, padahal perutnya sudah sangat sakit sekali, ia ingin segera pulang.

Setelah beberapa kali tak dijawab, akhirnya sambungan telepon terhubung juga.

"Ga, lo kemana aja sih?" tanya Ciji kesal, ia memegangi perutnya yang kembali sakit. Benar kan, daya tahan obatnya tak begitu lama.

"Apaan?" Naga menjawab dengan malas-malasan. Naga sudah bersantai di rumah, menikmati kenyamanan kasur.

"Anterin gue pulang."

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang