Prologue

5.3K 422 4
                                    

2020, Bandung.

"Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara Bandung. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dengan Bandung. Saat ini waktu di Bandung adalah pukul tiga sore," begitu ujar maskapai dalam pesawat yang ditumpangi bernama lengkap Jeovandra Nuno Aksadaru Prawiro.

Sudah lima tahun berlalu sejak pertemuan terakhir tiga belas sekawan yang pernah merajai sekolah. Kembali ke kota hujan kecintaannya, Bandung. Titik penuh memori dimana banyak hal berawal dan berakhir.

Nuno sudah tak semuda dulu, anggota dari sekelompok anak-anak yang dianggap sebagai begundal di Sekolah. Kini, hanya seorang pemuda yang menjalani hidup dengan biasa.

Nuno berinisiatif untuk mengunjungi dua kawan lamanya, Satria dan Chiko. Dari dua belas kawannya, hanya mereka berdua yang masih bertukar pesan dengan Nuno. Kesepuluh orang lainnya? Entahlah. Kontak mereka hilang tak berjejak. Yang tersisa hanya akun sosial media yang sudah tidak lagi aktif. Bahkan ruang obrolan mereka sudah hampir tidak pernah menunjukkan tanda-tanda notifikasi pesan lagi. Dari semuanya itu, hanya memori mereka yang masih tersimpan rapih dalam kenangan.

Dengan ponsel yang masih ditangan, dan barang-barang yang sudah terduduk rapih di bagasi taksi, hanya beberapa pesan singkat yang ia baca. Sampai matanya terpaku pada suatu tempat yang sangat familiar baginya.

SMAN 2 Bandung.

Saat itu tepat pukul tiga sore, beberapa siswa sudah berhambur keluar dari sekolah. Entah dengan sepeda motor atau berjalan kaki bersama kawannya. Ah, sungguh nostalgia melihat gedung yang tak berubah sejak lima tahun lalu. Perasaan rindu menggerogoti, membawa dirinya untuk memasuki area sekolah untuk memutar ulang semua rekaman memori lagi.

"Pak, berhenti disini saja." Nuno menghentikan taksinya, lalu berbalik mengambil koper dan turun. Masih dengan lingkungan yang sama, Nuno memasuki gedung yang sudah ia tinggalkan sepuluh tahun lalu.

Lorong, lapangan, dan ruang kelas. Ruang kelas yang dulu ditempati olehnya. Ruang dengan papan '2 IPS-1' yang masih sama menggantung di depan kelas. Ia membawa senyumnya kembali kewajahnya, mengingat waktu yang ia habiskan terutama ditahun kedua SMA nya tersebut. Tapi di satu sisi, sedikit rasa perih menyalak keluar. Membawa memori pedih yang juga dilalui nya bersama ke-dua belas temannya dimasa itu.

Bandung, 2015.

"Tuh kan? Chareteen lagi, Chareteen lagi yang dipanggil. Ga aneh deh, apalagi kalau Hugo dan Daresta tuh, ngan diomongin temen nya malah langsung bogem, gagabah deui!" Obrolan dua pria yang baru memasuki kelas menarik perhatian Nuno dan Jun yang sedang asik bercanda. "Naon anu anjeun ngarepkeun? Chareteen ngga bisa diharap deh kalau bicara masalah jaga image sekolah. Apalagi dua berandal itu, beh, kalau gue yang jadi kepsek, udah aku depak mereka." Yang lainnya mencetus.

Rahang Nuno mengeras menahan amarah. Jun sudah menyadarinya. Jika itu Chareteen, maka tidak ada yang boleh mengganggu. "Emang, ga jelas mereka itu, lenyap aja dari sekolah apa, malu aku." Tepat setelah kata itu, suara gebrakan meja menjadi perhatian utama, "WOI, BR-" sumpah serapah Nuno ditahan bersama dengan tinjunya yang dipaksa mundur oleh Jun, "Kalau lo ngebales mereka sama bogeman lain, lo sama aja ngerasa kalau Hugo sama Daresta itu sama yang kayak mereka omongin." Jun berbisik. Menahan emosi Nuno walau kalau boleh jujur ia juga ingin meninju orang-orang itu. Namun posisi sebagai paskibra menjadi taruhan.

Bagai tuli, Nuno masih berusaha melawan tenaga Jun, "Lo denger gue sekarang, kalau sampai lo lawan mereka, berarti lo juga mikir kalau sahabat kita juga brengsek. Lo pertaruhin Chareteen dan juga posisi gue sebagai anak paskibra!" Jun kembali memperingatkan. Atau mungkin, lebih pantas disebut mengancam.

Beberapa siswa sudah ketakutan. Karena memang, presensi Nuno sebagai pencetus Chareteen tidak disadari oleh mereka. Apalagi, jika Chareteen diusik, maka bagi Nuno, mereka mengganggunya.

Bandung, 2020.

Sekolah yang menjadi saksi dimana masa remaja begitu luar biasa. Terutama tempat dimana Nuno berpijak sekarang, dihadapan pohon karet yang berada di taman sekolah. Bisa disebut markas baginya dan kawan-kawannya.

Wajah Nuno melembut, melihat sebuah ukiran yang masih belum hilang sejak setengah dekade lalu.

'Chareteen! 13 sampai mati!'

Nuno ingat jelas bagaimana Dino-yang paling muda-mengukir itu di jam istirahat sekolah, adik kesayangan mereka. Perasaan hangat menyelimutinya, namun masih tidak sepadan dengan rindu.

Dan sekarang, Nuno bertekad untuk mencari mereka, mengumpulkan mereka, untuk melepas segala rasa rindu yang selama ini telah ia pendam. Bukan hal buruk nampaknya untuk mengulang lagi semua tawa yang terjadi lima tahun lalu.

Nuno kemudian mendial beberapa digit nomer. Nomer Satria, menyeret kopernya dan berlari cepat keluar sekolah mencari taksi.

Suara telfon yang terhubung akhir berubah menjadi suara yang agak berat milik Satria, "Hallo? Kenapa No?" Satria masih menyimpan nomornya. Wajah Nuno menjadi lebih cerah, "Bang, lo dimana?" Nuno bertanya cepat.

"Di tongkrongan, napa?" Satria tidak menyembunyikan nada herannya pada Nuno. "Bang," Nuno memanggil, "tunggu disana." Satria terheran, "Hah?" Nuno naik ke taksinya, memberi tahu lokasi tujuan yang merupakan tempat Satria berada, "Ayo kita ketemuan, Bang. Ini waktunya Chareteen balik lagi."

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang