7. Kemah

143 9 0
                                    

"Huft."

Untuk kesekian kalinya Kirana mengembuskan napas beratnya. Dan kesekian kalinya juga Fiko melihat ke arahnya.

Saat ini mereka sedang duduk di warteg depan kampus. Tadi saat Kirana baru saja keluar kelas, ia langsung ditarik oleh Fiko, diminta untuk menemani pemuda itu makan karena sedari tadi perutnya sudah mendemo minta diisi. Beruntung kelasnya telah habis, makanya ia hanya mengikuti langkah cepat Fiko.

"Kenapa sih?" ucap Fiko pada akhirnya, bosan.

"Minggu besok kemah," ratap Kirana.

"Masalahnya?"

Kirana menatap Fiko melas, "Aku gak pergi ya, males."

Fiko mengangguk membuat wajah Kirana jadi cerah kembali. "Tapi ikutnya tahun depan, kalo nggak lagi ya tahun depannya lagi," ucap Fiko santai sambil memakan kerupuk tapi mampu membuat wajah Kirana kembali keruh, semakin keruh daripada yang tadi.

Bahkan saat sampai di rumah pun Kirana masih memasang wajah cemberutnya.

--

"Kenapa Fik?" tanya Ari saat melihat wajah cemberut Kirana. "Mumet gegara kemah," balas Fiko. Ari mengangguk paham, ia tahu kegiatan tahunan tiap jurusan ini. Kemudian pemuda itu menyusul Kirana ke kamar gadis itu.

"Ana," panggil Ari saat melihat gadis itu tidur menyamping menghadap tembok.

"Kamu kenapa?" Ari mengambil duduk di belakang adiknya.

"Gak tau."

"Kata Fiko kamu mikirin masalah kemah."

"Hmm"

"Ikut aja."

"Firasat Ana gak enak, Ana jadi takut."

Ari mengelus kepala Kirana sayang. "Itu karena ini pertama kalinya bagi kamu, ikut deh. Pasti kamu ketagihan."

Kirana mengangguk pasrah, kemudian mengambil posisi nyaman, dengan Ari yang mengusap punggungnya agar terlelap.

--

"Abang! Ada liat topi Ana nggak?" teriak anak perempuan satu-satunya di rumah ini.

Besok adalah hari keberangkatan Kirana sekaligus Fiko yang menjabat sebagai salah satu panitianya. Pada akhirnya Kirana tetap mengikuti kegiatan itu, meskipun perasaan tak enaknya masih ada. Mungkin benar kata Ari, ini hanya karena pengalaman pertama baginya.

"Nanya siapa tong?" balas Adi teriak dari luar.

"Semua."

Pintu kamar Kirana terbuka dan menampakkan tubuh tinggi Ari. Memang yang biasa keluar masuk kamar Kirana adalah Ari sendiri, selain karena Kirana itu cewek. Ari juga melarang dengan keras bahwa siapapun itu yang jenisnya cowok selain dirinya dilarang memasuki daerah terlarang ini.

"Astaga Ana. Ini kamar atau apa, biasanya kamu yang paling bersih di sini," ujar Ari begitu melihat barang-barang Kirana berserakan memenuhi tempat tidurnya.

"Topi Ana gak nemu bang," rengek Kirana.

"Inget-inget lagi deh, pasti kamu nyimpan di tempat yang kamu kira bakal mudah diingat ternyata tempat itu yang sama sekali gak kamu ingat." Kirana nyengir, kemudian lanjut mencari topinya.

"Pinjam yang lain aja lah, ribet kamu," usul Ari saat melihat Kirana semakin mengacaukan isi kamarnya.

"Oiya, ABANGGG PINJEMIN ANA TOPI DONG!" teriak Kirana sambil melangkah keluar kamarnya.

"Ga usah teriak juga ANA!" sahut Zaki dengan meneriakan kata 'ana' di akhirnya.

Mendengar Zaki, Kirana hanya acuh tak acuh kemudian mengikuti Dani yang tadi mengangguk "Yesss dapet!"

"Punya siapa?" tanya Ari saat Kirana kembali ke kamarnya.

"Bang Dani."

"Oh."

Keesokkan harinya, Kirana dengan atribut ribetnya, melangkah keluar rumah. "Ana pamit ya bang. Jaga kesehatan, jangan begadang, makan secukupnya, sholat jangan lupa, bersih-bersih. Ingat, kebersihan sebagian dari iman," nasihat Kirana panjang lebar.

Ari mengacak rambut Kirana gemas. "Kamu cuma kemah tiga hari Ana, kayak yang pergi gak kembali aja."

"Kan lama juga. Coba bayangin kalau tiga hari gak bersih-bersih, udah kayak gudang kali," balas Kirana.

Ari memutar matanya jengah, pintar sekali adiknya ini membalas. "Yaudah, iya. Hati-hati. Kamu jangan suka ngilang, di sana daerah yang gak kamu kenali."

Kirana mengangguk paham, kemudian pergi bersama Fiko.

1 April 2020

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang