"NA, UDAH SIAP?" teriak Adi dari luar.
"Bentar!" balas Kirana kemudian bergegas keluar tak lupa membawa tas selempangnya.
"Wihh, tumben dandan," goda Adi begitu melihat tampilan Kirana.
Gadis itu memakai jins gelap dipadu dengan baju putih dengan jaket levis, tak lupa mengikat rambut. Simple, namun kali ini ia lebih terlihat rapi dari hari biasanya.
"Iyalah, wong aku mau nge-date, ya harus cantik dung."
Adi tertawa, kemudian mengusap puncak kepala Kirana. Setelahnya pemuda itu merangkul Kirana menuju sepeda motornya.
"Ar, gue pergi ya," izin Adi sambil terus melangkahkan kakinya.
"Abang-abang, Ana pergi. Jangan kangennn!" teriak gadis itu begitu ia berada di samping motor Adi.
"Jangan terlau girang Na. Abang nggak janji bakal bawa kamu ke tempat yang kamu bayangin sekarang," terang Adi begitu motor yang mereka tumpangi berjalan.
"Gapapa yang penting sama orang ganteng," balasnya
Setengah jam kemudian, Adi menghentikan motornya di parkiran. Namun sudah beberapa detik berhenti, Kirana sama sekali tidak turun dari motor. Gadis itu malah memilih untuk memeluk Adi.
"Kenapa nyampenya cepet banget sih. Padahal anginnya baru kerasa," omelnya sambil menenggelamkan wajah di punggung Adi.
Adi terkekeh, "Kalau mau angin mah, di depan kipas juga kenyang Na."
"Udah, turun gih. Jalannya mau lama gak?" lanjut Adi sambil melepaskan pelukan Kirana.
Setelahnya gadis itu turun, dan melihat sekitar. "Serius, kebun binatang?" tanyanya memastikan.
Adi mengangguk, "Cuma kepikiran ini. Tadi kan udah abang ingetin. Sekalian nyari tugas gitu." ujarnya sambil mengangkat kamera.
Kirana mengangguk paham, "Oke deh. Cusss! Kita sapa saudara-saudari abang!" Dengan menarik tangan Adi, gadis itu tak henti-hentinya tersenyum bahagia.
"Bang, itu gajahnya sehat gak sih?"
"Sehat mungkin," balas Adi tidak yakin.
"Mudah-mudahan sehat deh. Tapi tempatnya ini kotor, gersang juga. Di tambah si doi juga sendiri, kasian jomlo."
Adi menatap Kirana dengan alis terangkat sebelah, kemudian terkekeh "Lupa sendirinya gimana ya, Dek," godanya sehingga mendapat cubitan kecil sebagai balasan.
"Bang! Ada uler," heboh Kirana, padahal ularnya masih jauh dan ada pawangnya juga.
"Iyalah ular. Masa yang kayak gitu tapir."
"Abang pegang ya! Aku penasaran," pinta Kirana.
Adi menolak, "Kamu yang penasaran kenapa malah abang yang megang." Jawaban itu membuat Kirana cemberut.
"Iya deh, iya," ucap Adi kemudian karena melihat wajah Kirana yang sama sekali tidak enak untuk dipandang.
"Gimana Bang?" tanyanya tepat setelah Adi menjauhkan tangannya dari si ular.
"Teksturnya lembek berminyak gitu, penasaran pegang aja ndiri," balas Adi membuat Kirana ngangguk sebagai respon.
"Mau kemana lagi?" tanya Adi karena hampir semua kandang sudah mereka singgahi.
Kirana melihat sekelilingnya, "Mmm ... ada yang kurang. Satu lagi," ucapnya.
"Apa?"
"Kembaran Abang mana? Kok gak kelihatan?"
"Kembaran?"
"Hu'uh. Monyet. Mana ya kandangnya Bang. Sapa dulu gitu, jarang ketemu kan," ucap Kirana dengan wajah seriusnya.
Mendengar itu dengusan pun meluncur mulus dari mulut Adi, "Yaudah. Jadi gak ada jatah es ataupun coklat ya abis ini."
"Alaaa, tak asik. Iya deh. Ana gak bakalan nyebut abang mirip monyet lagi. Tapi janji ya bang, abis ini kita beli es sama coklat. Tambah makanan lain pun boleh. Ana ikhlas kok gak bakalan nolak, meskipun kalau diliat-liat lagi abang itu dikit mirip sih sama monyet. Tapi bener deh bang, gak bakal Ana sama-samain lagi abang masa itu monyet." Kirana mengangkat tangannya dan menunjukkan symbol peace.
Adi berdecak, sepertinya ia harus ekstra sabar kalau dengan Kirana. Kemudian saking sabarnya ia malah mencubit pipi Kirana kuat.
"Kamu makin jahat ya."
Sedikit meringis Kirana tetap cengengesan. "Lepas bang. Sakit tau, lagian banyak yang liat noh. Gak enak, nanti kata mereka kita malah pasangan apa-apa gitu."
"Biarin aja. Biar mereka tahu, kalau abang sayang pakai banget sama kamu."
Kirana berontak, "Lepas ah, bang. Nyakitin gini dibilang sayang." Adi melepaskan cubitan sayangnya. "Liat itu mata ibuk-ibuk aku jadi ngeri, takut keluar. Mana mulutnya dari tadi gak berhenti gerak."
"Na," panggil Adi ketika mereka sedang mengantri membeli es krim.
"Hm?
"Tetep sama abang ya," pinta Adi lirih.
Kirana terkekeh hambar, "Gak bakal ilang aku bang. Kan dari tadi dikawal anjing galak."
Adi mengacak kecil rambut Kirana, "Mulut kamu kayaknya harus diajarin tata cara berbicara yang baik dan sopan, ya."
Kirana mengangguk, dan semenjak tadi matanya tak lepas dari kegiatan yang dilakukan oleh si penjual es krim, "Gak papa, daftarin aja bang. Nanti aku bakalan belajar kok," tanggap Kirana terhadap ucapan Adi sebelumnya.
Apa yang bisa Adi lakukan selain geleng-geleng kepala, heran dengan cara pikir Kirana.
Setelah es mereka habis, perjalanan dilanjutkan. Meskipun tadi sudah hampir keseluruhan dikelilingi, tapi Kirana merengek ingin berjalan lagi, katanya biar lama.
"Eh, bang!" seru Kirana pada Adi yang sepanjang jalan tadi asik memotret apa pun yang menurutnya bagus untuk diabadikan.
"Apa?"
Kirana menunjuk kedepan, "Itu ... tangan ceweknya kemana sih?" tanya Kirana dengan tampang polosnya, walaupun dia tahu dan juga Kirana tidaklah sepolos itu.
Adi mengikuti arah tunjuk gadis itu, mengerutkan dahi seolah berpikir, ia berkata, "Garukin punggung cowoknya mungkin. Gatel-gatel liat babi hutan yang dua-duaan." Ngawur sumpah, tapi tetep bener kalau masalah babinya.
Kirana sama sekali tidak membantah ucapan Adi, malahan ia terkekeh geli. Bukan cuma Kirana yang pola pikirnya aneh, kadang Adi pun gitu. Atau semua orang?
29 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
General Fiction[Selesai] Kisah singkat Kirana yang tinggal bersama sembilan abangnya