Delapan tahun setelahnya.
Tanah yang ditapakinya masih menyimpan sisa-sisa gerimis tadi pagi. Dengan pasti, ia semakin mempercepat langkahnya. Melepas rindu yang semakin hari semakin besar, namun mengingat betapa padat kerjaannya sekarang, mau tak mau ia baru bisa menyampaikan rindunya saat ini.
Sudah berapa tahun yang terlewat? Selain karena kerjaan selama ini ia juga harus berdamai dengan keadaan. Awalnya berat namun perlahan dirinya mulai menerima, meski terkadang masih menyangkal.
Tinggal tiga langkah menuju tempat tujuannya. Kakinya mulai terasa berat, bahunya merosot dengan perasaan sedih mulai menggelayutinya.
Berhenti sejenak untuk mengambil napas dua kali, ia kembali melangkahkan kakinya.
"Hai, sayang ...," sapanya dengan suara pelan, "kamu apa kabar?" lanjutnya.
Mengembuskan napas beratnya, guna menghilangkan sesak yang sejak tadi bergelung dalam dadanya. Padahal hal ini sudah lama berlalu, tapi rasa tidak rela itu masih saja ia rasakan, berulang kali.
"Kamu udah bahagia 'kan? Karena abang gak bakalan ikhlas kalo kamu menderita di sana. Maaf ya, abang baru bisa ke sini setelah sekian banyak waktu berlalu. Abang terlalu sibuk dan gak bisa mengabaikan apa yang udah menjadi tanggung jawab abang." Ia berhenti, menatap ke depan dengan tatapan kosongnya.
"Rasanya abang bisa gila waktu kamu pergi. Abang gak percaya, kenapa kamu bisa menghadapi masalah seperti ini. Abang gak nyangka sama apa yang ibu ceritain ke abang beberapa bulan setelah kamu pergi. Kamu nelpon ibu ayah dan mengadu kalau kamu kesakitan. Gimana sakit-sakitnya badan kamu, pusing yang setiap hari kamu rasain, putus asanya kamu sampai ibu cerita kalau kamu terlalu merasa bersalah udah bohongin abang, bohongin abang-abang kamu.
Jujur aja, abang marah. Marah sama kamu yang mau menanggung semuanya sendiri di saat kita tinggal di tempat yang sama, tapi abang lebih marah lagi sama diri abang. Segitu gak pekanya abang sampai gak tau kalau kamu tiap malam nangis nahan sakit. Sayang, maafin abang. Maaf kalau selama ini abang gak bisa menjadi tempat bersandarnya kamu selama jauh dari ayah ibu.
Sayang, abang nemuin catatan kamu, diari kamu mungkin. Abang baca semua ... abang tau kalau itu lancang tapi untuk melepas rindu gak papa 'kan? Abang juga semakin merasa bersalah baca tulisan kamu yang sekuat tenaga menahan sakit saat di sekitar kami, senangnya kamu tinggal sama kami, senang karena bisa kuliah, senang cekcok sama Andri dan abang juga tau siapa yang kamu sukai." Ia terkekeh pelan kemudian melanjutkan ucapannya.
"Abang gak nyangka kamu akan suka sama dia. Di bagian mananya kamu tertarik ke orang seperti dia? Dia juga sama hancurnya setelah kamu pergi. Kayak abang, dia jadi kacau, murung dan sekarang terlalu susah buat ngajak dia bercanda. Ini bakal jadi rahasia kita aja kok, kamu tenang aja."
Setelahnya hanya keheningan yang panjang yang tercipta. Ia mulai kehabisan bahan pembicaraan.
"Na, kamu masih ingat sama bayi kecil yang kamu kasih nama Anna? Fahri udah jadi ayah asuhnya. Gak nyangka anak fisika itu udah jadi bapak-bapak," ia tertawa mengingat Fahri yang kerepotan mengurus anak kecil, ditambah sekarang profesinya sebagai dosen, dia sedikit kalang kabut, bahkan kadang Anna tidak mau berpisah dengannya, alhasil mau tak mau terkadang Fahri harus membawa anak di saat mengajar.
"Na, bener kata kamu, Anna itu cantik. Pertama kali abang ketemu dia, abang langsung jatuh hati. Apalagi waktu dia baru bisa jalan, kalau abang sama yang lain ngumpul, dia sama sekali gak biarin kami duduk diam sebentar. Dia kayak kamu, sayang. Ngebuat rumah gak pernah sunyi. Sekarang dia udah jadi anak yang cerdas. Kamu pasti bangga sama dia. Kapan-kapan abang bawa ke sini kalau ada waktu luang lagi.
Ah, abang cerita kepanjangan ya Na? Oiya, abang-abang kamu titip salam katanya masih pada sibuk-sibuknya. Malah, kadang jadwal buat ngumpul sekali sebulan aja gak ada yang nepatin. Apa lagi si Adi yang suka nomaden. Terakhir abang tau, dia lagi deketin cewek kuliahan. Oiya Na, empat bulan lagi Zaki mau nikah. Kalau yang lain belum pada ngasih tau ... kalau abang entahlah, semoga abang bisa cepat nyusul Zaki hehehe."
Ia melihat pergerakan jam di tangan kirinya dan sedikit mendengus saat mengingat jadwalnya hari ini.
"Na, kayaknya abang harus pamit. Abang masih ada janji. Oiya, kamu baik-baik di sana. Abang sayang kamu. Sampai jumpa lain waktu ya, Kirana."
Selesai.
9 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
General Fiction[Selesai] Kisah singkat Kirana yang tinggal bersama sembilan abangnya