19. Mendung

73 7 0
                                    

"Hoi, ngelamunin apa sih?" Andri mengambil duduk di sebelah kanan Kirana. Gadis itu hanya diam tak membalas perkataan Andri, menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan kartun favoritnya.

"Na." Andri masih berusaha, namun sepertinya kesadaran gadis itu hilang entah kenapa.

Sudah lima jam, Kirana duduk diam di depan tv, bahkan sesekali air matanya tetap mengalir. Rasa bersalah itu semakin menjadi, terlebih dari tadi Ari sama sekali tak ingin melihatnya.

"Apa aku harus cepat mati ya, bang?" tanya Kirana menatap Andri dengan mata sembapnya.

Wajah tengil Andri langsung berubah serius, "Hargai hidup lo. Gak ada gunanya lo mikirin gimana cara cepat mati. Kayak yang udah lo bilang kemarin, kalau kita itu bakalan mati. Tapi itu kehendak Tuhan, lo gak berhak mutusin mau mati sekarang atau besok." Ada sirat kemarahan di setiap kata yang Andri ucapkan. Bibir Kirana kembali bergetar, memikirkan betapa bodohnya ia yang selalu berpikir untuk mendahului kekuasaan Tuhan.

"Udahlah, dari kemarin kerjaan lo nangis mulu. Gak capek apa? Gue aja yang liatnya udah bosen."

"Lo gak ada acara hari ini apa? Jalan-jalan sama temen gitu, atau ngerjain tugas kelompok?" tanya Andri lagi untuk mencairkan suasana.

Kirana diam, sama sekali tak merespon, membuat Andri mulai kesal, "Mana sih Ana gue yang jahilnya gak ketulungan? Mana si Ana yang suka nyanyi-nyanyi gak jelas itu? Mana Ana yang kalau ketawa gak pernah nyantai? Lama-lama gue jadi males di rumah, sunyi kayak ruang ujian gini," cerocos Andri membat Kirana menoleh.

Menatap lama Andri yang masih melanjutkan apa pun itu, hingga sebuah kekehan lolos dari bibis Kirana, membuat Andri memandang takjub padanya.

"Nah, gini dong. Gak papa ngeluarin suara kayak kejepit gitu, dari pada nangis mulu."

Tawa Kirana kembali namun sangat kontras dengan tampilannya saat ini, "Tjieee yang kangen suara cetar aku. Mau request lagu apa bang? Tenang selagi aku gak mungut biaya. Gratis sampai batas yang ditentukan," tawar Kirana dengan suaranya yang serak.

Andri diam sejenak, keningnya berkerut seolah pemuda itu sedang berpikir, "Hm ... gimana kalau ...." ia berhenti sejenak, "lo gak usah nyanyi aja," putusnya membuat Kirana tertawa, namun kemudian gadis itu bernyanyi.

Apa salah dan dosaku abang

Maaf dari ku kau abaikan

Tolong lihatlah diriku ini

Maafkanlah maafkan –

"Diem. Udah lirik salah, malah ngeyel lagi," potong Andri membuat Kirana terkekeh.

Andri tahu, alasan Kirana menyanyikan itu. Tepat saat Andri melarangnya bernyanyi Fiko baru saja datang.

"Bang." Kirana menatap sendu Andri.

Andri mengusap pelan kepala Kirana, "Gak bakal deh lebih sehari, paling nanti malam mereka nemuin lo. Yakin gue, gak ada yang bakal tahan gak ngomong sama petasan kayak lo."

Kirana hanya mengangguk, meskipun di akhir kalimat Andri memulai perang. Tapi hasrat berperang saat ini tidak ada, terlalu sibuk dengan perasaan bersalah.

21.10 WIB

"Halo bu ...."

"Halo sayang. Kamu apa kabar? Baik kan?" balas Ibu membuat matanya berkaca-kaca.

"Abang udah tahu," adu Kirana.

"Kamu pulang ya?" suara khawatir Ibu sangat jelas

Ia menggeleng, "Nggak, Ana masih mau sama abang."

"Sayang, ibu gak tega. Biar ibu ngerawat kamu ya. Pulang ya?" bujuk Ibu yang lagi-lagi ditolak si bungsu.

"Nggak, biar Ana di sini ya Bu. Maaf Ana jadi anak yang durhaka, nggak mau nurutin kata ibu sama ayah. Ana sayang kalian." Kirana menangis tergugu, terbayang selama hidupnya ini sangatlah menyusahkan Ayah, Ibu dan juga abangnya.

"Minggu depan kami ke sana ya. Kamu yang sehat," kata Ibu tapi lagi-lagi Kirana menolak.

"Gak usah Ibu pasti sibuk. Ana gak papa kok di sini, ada abang-abang. Jangan khawatir. Ibu sama ayah juga sehat selalu. Boleh Ana minta doa, bu? Biar Ana dikasih kesempatan hidup terus sama Allah." Belum sempat sang Ibu membalas, Kirana cepat-cepat mengucapkan salam dan memutuskan panggilan.

"Hah, kayaknya hari ini hari menangis deh," ujarnya seorang diri sambil mengusap air matanya.

"Ck, ini lagi. Padahal udah jarang banget." Perlahan, ia melangkah keluar kamar sembari memegang hidung yang masih saja mengeluarkan darah.

"Na, kamu kenapa?" Fiko, pemuda itu menghentikan Kirana, raut khawatir sangat jelas di wajahnya.

Bekedip dua kali, Kirana terkekeh, "Kedatangan tamu, bang."

Fiko berdecak, kemudian membimbing Kirana menuju westafel. "Bersihin gih. Jangan ngedongak," suruhnya yang langsung dilakukan Kirana.

Sepuluh menit kemudian, dengan hidung yang masih memerah, Kirana menatap Fiko. "Abang gak marah lagi kan? Jangan yaaa? Nanti siapa dong senior aku yang mau nolongin minjamin buku," pinta Kirana sambil menatap melas Fiko.

Fiko diam, hanya menatap Kirana. Raut khawatirnya tadi hilang berganti dengan raut serius.

"Bang ...."

Fiko menghela napas sebelum berkata, "Iya nggak. Walau abang masih kecewa dengan keputusan kamu. Tapi sudahlah, itu hak kamu."

"Jangan gitu bang. Ini biar mudah aja. Soalnya ribet kalau harus ikut pengobatan. Lagian aku juga rutin kok minum obat, meski nggak untuk sembuh. Tapi setidaknya menghambat keparahan penyakitku."

"Hmm ... ayo balik kamar. Istirahat, jangan sering-sering nangis. Takutnya kamu malah nge-drop," ucap Fiko kembali membimbing Kirana.

Sebelum Fiko meninggalkan kamar Kirana, gadis itu kembali memanggilnya.

"Bang Ari ... gimana?" tanyanya ragu.

Fiko mengulas senyum kecil, "Tenang, dia cuma lagi kalut aja. Paling besok udah kayak biasa," ujarnya menenangkan.

"Iya deh."

22 Oktober 2020

Tiap baca bagian 'minggu depan kami ke sana' dari Ibu si Ana, kok nyess terus yaa :"

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang