Seperti yang diucapkan Fahri minggu lalu. Sekarang mereka sudah berada di depan bangunan yang katanya tempat yang kemarin ini Fahri kunjungi.
"Ayo!" ajak Fahri sambil berjalan terlebih dahulu memasuki pekarangan.
Ketika mereka akan memasuki rumah, sebuah seruan menghentikan mereka.
"Bang Fahriii!!!" Ternyata itu seorang bocah lelaki yang berlari ke arah mereka atau lebih tepatnya pada Fahri.
Begitu sudah dekat anak itu segera melompat, beruntung Fahri menangkap dan segera menggendongnya.
"Tio dari mana?" tanya Fahri pada anak yang sedang digendongnya, Kirana masih diam menatap dua laki-laki beda usia itu.
"Dari sana," menunjuk arah ia datang tadi, "lagi main bola sama abang-abang yang lain," ujarnya membuat senyum Fahri terukir.
"Terus kalau main kenapa ke sini?"
Sebelum menjawab, Tio malah melingkarkan tangannya pada leher Fahri kemudian merebahkan kepalanya pada bahu pemuda itu. "Karena abang ke sini. Aku mau main sama abang aja," ujarnya dengan suara yang pelan.
Kekehan Fahri keluar, "Ooh, iya iya. Kita main, tapi kita antar kakak ini dulu ya nemuin ibu," kata Fahri yang langsung membuat Tio menatap Kirana.
"Kakak siapa?" tanyanya.
Kirana mendekat, kemudian mengusap pelan pipi kanan Tio, "Kakak namanya Ana. Adiknya bang Fahri." Kirana mengulas senyum lebarnya.
"Iya bang?" tanya Tio memastikan membuat Fahri tertawa, kemudian ia mengangguk, "Iya, kakak ini adik abang. Katanya dia kes ini mau main sama yang lain."
"Tio boleh ikut main juga?" tanyanya lagi yang lagi-lagi membuat Fahri tertawa.
"Boleh dong. Iya kan kak?" tanya Fahri sembari meminta persetujuan dari Kirana.
Kirana tersenyum kemudian mengangguk, "Kakak mau main sama semua orang di sini. Nanti kita senang-senang."
Tio bersorak gembira. Anak itu sangat suka bermain sepertinya.
Setelah bermain selama tiga jam, akhirnya Fahri dan Kirana memilih untuk duduk di ruang tamu yang ditemani juga oleh Ibu Rima, pengurus panti. Ah, jangan lupakan dengan seorang bayi yang sedang digendong oleh ibu itu.
"Bu, kasian dia. Kenapa dari tadi gak mau diam. Dia lapar ya?" Sejak tadi fokus Kirana hanya pada bayi yang sedang berusaha ditenangkan oleh Bu Rima.
"Nggak tau, Nak. Mungkin dia masih belum bisa beradaptasi di sini." Bu Rima menatap sang bayi.
Kirana yang sebelumnya duduk bersebelahan dengan Fahri, berpindah tempat menjadi di sebelah Bu Rima. Ia juga ikut menenangkan bayi kecil itu dengan menepuk pelan bokong sang bayi.
"Kasian dia, tadi waktu ibu abis subuhan ada suara bayi nangis di depan. Ternyata dia, masih aja ada yang tega ninggalin anak mereka di depan pintu," ucap Bu Rima.
Mendengar itu, entah kenapa Kirana geram sendiri. Kenapa mereka tega? Kenapa mereka mau saja meninggalkan anak mereka di sini? Kenapa?
"Bu, boleh Ana gendong? Tapi ajarin Ana dulu takutnya salah," pinta Kirana yang diakhir kalimatnya gadis itu meringis, pasalnya ia benar-benar tidak tau cara menggendong seorang bayi, terlebih bayi ini masih sangat kecil.
Bu Rima tersenyum, kemudian memberi arahan pada Kirana, bagaimana seharusnya posisi tangan untuk menggendong.
"Dia laki-laki atau perempuan, Bu?" tanya Kirana yang tidak mengalihkan tatapannya dari sang bayi.
"Perempuan, Nak."
Kirana tersenyum, "Pantas cantik. Dari tadi aku pengen muji tapi takut, salah-salah dia malah laki-laki. Hehehe."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
Fiksi Umum[Selesai] Kisah singkat Kirana yang tinggal bersama sembilan abangnya