20. Sebuah Rencana

71 4 0
                                    

Kirana itu keras kepala, meski sudah dibujuk untuk kembali mengikuti pengobatan, tapi alasannya masih tetap sama, percuma katanya. Memang Ari ataupun yang lainnya juga tahu kalau mustahil menginginkan Kirana untuk sehat kembali. Tapi, siapa yang tahu, kalau berusaha.

Setelah berkali-kali membujuk akhirnya mereka angkat tangan, sedikit kecewa dengan keputusan yang diambil oleh adik mereka itu. Dan kemudian lebih memilih untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, meskipun rasa takut kehilangan itu masih terus menghantui.

"Jadi, apa yang mau kita lakuin?"

Semua yang ada di sana keningnya berkerut, memikirkan apa yang akan mereka lakukan.

"Party!!!" seru Andri, merasa kalau idenya sangatlah bagus.

PLAK

"Sakit pinter!" gerutu Andri sambil menatap sinis pada Adi.

"Iya lo pinter! Mikir elah, kalau lu ngadain pesta, berapa biaya yang harus keluar. Emang kita mikirnya buat senang-senang bareng Ana. Tapi gak mungkin juga, realistis, tugas-tugas masih banyak yang harus diprint fotokopi, buku-buku referensi, belom lagi makanan. Gue bukan maksud perhitungan, tapi ya gitu. Yang jelas usulan lo gue tolak!" tatapan Andri semakin sinis pada Adi.

"Yaudah elah. Jangan berantem! Jadi gimana?" Dani angkat suara.

Igo yang dari tadi sibuk dengan ponselnya mengangkat wajahnya, "Emang harus bikin acara gini ya? Gue mikir kita ini malah buat kayak acara pelepasan untuk Kirana. Dan jelas-jelas gue gak setuju."

Ari yang mendengar kata pelepasan menjadi marah seketika, itu artinya mereka mendoakan Kirana meninggal kan?

Fiko yang melihat perubahan pada Ari langsung mengambil alih, "Bukan. Emang kita apaan, itu sama aja artinya kita ngedoain yang bukan-bukan," imbuhnya

"Ya nggak lah. Lo pikir gue sejahat itu," balas Andri.

"Maksudnya kita ngabisin waktu sama Ana lebih banyak gitu. Ah, sial. Gimana jelasinnya sih. Ya intinya gitu," ujar Dani.

"Kalau maunya gitu, gimana kalau kita jalan-jalan aja?" usul Gio.

Tawa Andri meledak, "Kenapa lo? Sakit?" tanya Fahri.

Andri menggeleng, "Gue kebayang kita bersepuluh jalan-jalan ke tempat wisata gitu. Udah kayak anak tk yang pergi tamasya." Kemudian pemuda itu kembali melanjutkan tawanya.

PLAK (2)

Lagi-lagi kepalanya menjadi sasaran, "Sakit astaga. Kalian seneng banget sih mukul kepala orang pinter macam gue!"

"Lu kelewat pinter kayaknya, makanya jadi gini. Kesel gue kalau lama-lama seruangan sama lo," dumal Zaki

"Kita jalannya masing-masing aja. Terserah mau kemana, dan masalah uang tadi itu yang nanggung masing-masing juga." Gio melanjutkan perkataannya tadi.

Adi dan juga Fiko menganggukan kepalanya, pertanda setuju. Sedangkan yang lainnya memilih diam.

"Lo kenapa?" tanya Adi pada Andri yang sedang berkomat-kamit entah apa.

"Ngitung-ngitung duit, plus tanggal gajian. Biar kapan hari waktu gue jalan bareng si Ana gue royal gitu," balas Andri dengan tampang seriusnya.

"Gimana Ri, setuju?" tanya Dani pada Ari yang sedari tadi hanya sebagai pendengar.

Ari mengangguk, "Oke deh."

"Lo masih marahan?" tanya Fiko iseng.

Ari menggedikkan bahunya, "Lagi gak mau aja gue," balasnya

Dani bangkit dari duduknya saat melewati Ari ia menepuk pundak pemuda itu dua kali, "Jangan diem-dieman. Gak guna juga, lo gak kasian apa liat wajah murung Ana?" setelahnya Dani memasuki kamarnya.

"Bener apa yang diucapin Dani, mana dua harian ini si Ana masih murung lagi. Gak ada temen berantem gue," keluh Andri.

Sorenya, ketika Kirana baru pulang dari kuliahnya, Ari langsung mengajak adiknya itu untuk berbicara.

"Mau kemana Bang?" tanya Kirana begitu ia memasuki mobil pada Ari yang sudah siap dengan kemudinya.

"Jalan-jalan bentar," balasnya singkat.

Di sepanjang perjalanan, Kirana lebih memilih diam, terlebih semenjak dari rumah tadi Ari sama sekali tidak mengeluarkan suaranya lagi.

Mobil berhenti di sebuah lapangan. Ramai, pikir Kirana saat baru saja keluar dari mobil.

"Ayo," ajak Ari sambil menuntun Kirana pada salah satu stand yang menjual minuman.

"Kamu mau apa?"

"Cappucino aja."

Setelah pesanan siap, Ari mengajak Kirana untuk duduk di salah satu kursi yang berada si sisi lapangan.

"Kamu baik kan?"

Kening Kirana berkerut, "Maksudnya?" pertanyaannya sama sekali tidak dijawab Ari.

Kesal, Kirana menghembuskan napas kerasnya, "Kita ini kayak mantan yang gak sengaja ketemu ya bang. Nanya kabar, canggung terus diam-diaman. Aku baik. Sakit pun gak aku rasain sekarang. Iya sih kadang dia datang, tapi aku udah biasa, karena udah lama mungkin."

Ari diam, tapi ia yakin pendengarannya sangat jelas menangkap apa yang dibicarakan oleh Kirana. "Abang gak akan maksa kamu lagi," ucapnya kemudian.

Kirana mengangguk dengan senyum sendu, "Terus abang gak bakalan nganggap aku adik lagi. Gak papa, aku sadar sama apa yang aku pilih. Aku masih punya delapan abang lagi yang masih mau jadi abangnya aku."

Ari menatap Kirana jengkel, "Siapa bilang abang gak ngakuin kamu? Bisa dicoret nama abang dari KK. Abang cuma gak mau lagi maksa kamu untuk berobat, tapi abang bakal terus ngingatin kamu untuk minum obat yang dibilang Fiko."

Senyum lebar Kirana terbit, kemudian menghambur memeluk Ari, "Ululu, abang cemburu ya sama yang lain? Tenang brother, urutan abang itu di antara yang lainnya tetep nomor satu kok. Makasih bang, masih mau nerima Ana yang udah bertingkah jelek ke abang. Ana cuma memikirkan kemungkinan terburuk aja."

"Oiya, kita cuma duduk-duduk gini aja? Gak ada keliling gitu? Ana lapar soalnya," sambungnya sambil mengusap perut dramatis.

Dasar perut karung! Ari tersenyum kemudian langsung mengajak Kirana berdiri dan mulai mengelilingi jalanan di pinggir lapangan dengan sesekali berhenti untuk membeli camilan.

29 Oktober 2020

Akutu lupa kalo kemarin hari Rabu (berasa Minggu) wkwk, jadi kalo nanti gak kelupaan bakal up satu chapter lagi, malam tapi.

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang