22. Pelarian

53 5 0
                                    

"Bim, jangan ngerokok!" serobot Kirana ketika gadis itu menduduki kursi tepat di sebelah Bimo, teman sekelasnya.

Bimo mengangkat alisnya, "Suka-suka gue lah, ngapa lo yang repot," balas Bimo tidak suka.

Kirana menghela napasnya, "Iya, tahu gue. Tapi guenya yang gak tahan sama asap rokok."

"Yaaa jangan duduk di sini makanya," balas Bimo.

Kirana tanpa sadar memutar bola matanya, "Liat noh," melihat sekitar, "udah penuh semua. Tinggal ini yang bisa muat dua orang."

Karena ada benarnya, mau tak mau Bimo harus membuang rokok yang masih ada setengah itu.

"Makasih," ucap Kirana begitu melihat tingkah laku Bimo.

"Hm,"

"Bim," panggil Kirana.

"Apa?"

"Lo kenapa ngerokok?" Kirana menatap penasaran Bimo sembari menanti jawaban.

Bimo mengangkat kedua bahunya acuh, "Entah. Gue gak ingat alasan pertama gue ngerokok. Apa ajakan temen atau emang gue penasaran, tapi yang jelas sekarang, kalau sehari aja gue gak nyulut tu nikotin rasanya mulut gue pahit," terang Bimo yang diangguki oleh Kirana. Tiap orang punya alasan kan?

"Pernah pengin berhenti gak sih?" tanya Kirana lagi.

Bimo mengangguk, "Pernah, tapi kayak yang gue bilang tadi. Gak lengkap kalau gak ngerokok meski sehari cuma sebatang."

Lagi, gadis itu mengangguk.

"Semua cowok itu harus ngerokok ya?" Kirana dan semua pertanyaannya.

"Yang gue kenal semua ngerokok. Ada kali yang nggak ngerokok, tapi gue belum nemu."

Kirana mengangguk pelan, "Tapi abang gue nggak tuh," ujarnya dengan bangga.

Bimo mendengus, "Coba tanya aja dulu, mana tau mereka ngerokok waktu gak ada lo. Karena lo gak tahan asap kayak yang lo bilang tadi." Ucapan Bimo membuat perasaan bangga tadi menyurut.

"Iya ya. Nanti deh gue tanya," ucap Kirana menyetujui.

Saat Bimo mulai berberes untuk pergi, Kirana lagi-lagi memberi pertanyaan "Enaknya ngerokok buat lo apa sih?"

Sejenak Bimo terdiam, "Gak tahu gue hahaha ... yang gue tahu saat gue ngisap gue ngerasa tenang, tanpa beban. Sama kayak lo yang suka baca baca buku, ada kesenangan sendiri yang gak bisa lo jelasin saat ngelakuin itu."

"Loh kok lo tau gue suka baca?"

"Gimana gak tau, kalo setiap nunggu dosen lo baca novel," ucap Bimo membuat Kirana terkekeh.

"Oke deh. Makasih udah ngejawab gue,"

Bimo mengangguk sekali, "Ternyata lo diam-diam banyak tanya juga ya. Yaudah gue cabut." Mendengar itu Kirana tertawa entah itu pujian ataupun sindiran kemudian ia mengacungkan jempolnya.

Tak lama Shinta mendatanginya.

"Ini," ujar Shinta sembari menyerahkan piring nasi goreng Kirana, "Kenapa wajah lo?" tanyanya heran pasalnya saat ia sudah duduk di depan Kirana, gadis itu memasang wajah serius dengan dahi yang berkerut.

"Gue ada misi terselubung," balas Kirana yang sama sekali tidak dimengerti Shinta.

*

Setelah dua jam bergelut dengan pikirannya akhirnya saat ini Kirana sudah duduk tenang di sebelah Igo yang asik dengan gamenya.

"Bang," panggil Kirana.

"Abang ngerokok gak?" lanjutnya karena tak ada sahutan.

"Jarang," balas Igo singkat.

Bener ternyata, kalau cowok itu semuanya ngerokok. Ah bentar An, bukan semua tapi belum ketemu aja sama yang bukan perokok, Kirana menganggukkan kepalanya pelan.

"Di sini siapa aja yang ngerokok? Soalnya aku gak pernah liat ada yang ngerokok tuh."

Igo menyimpan ponselnya, "Semuanya setahu gue. Kenapa nanya-nanya?"

Kirana mengedik bahu, "Tanya aja. Yang parah ... siapa?"

"Noh si Andri."

"Hah, serius?"

"Iya. Kamu gak tau aja kalau dia sehari bisa ngabisin satu bungkus."

Kirana benar-benar tak percaya, bagaimana mungkin salah satu abangnya yang paling aktif dan tengil itu ngerokok.

"Kenapa aku gak tahu kalau kalian pada ngerokok? Bang Ari gimana?"

"Iyalah. Waktu kamu mau pindah, Ari udah ngasih ultimatum kalau ngerokok, minimal gak ketemu sama kamu. Katanya kamu gak bisa kena asap," Igo menatap Kirana yang juga menatapnya dengan tatapan polos andalan gadis itu.

"Alasan biasa, kami gak mau kamu makin sakit. Terus Ari sama kayak gue sih. Jarang tapi gue tahunya dia ngerokok di kampus," terang Igo.

"Iya deh. Maaf kalau adanya aku di sini abang-abang pada gak bebas," ucap dengan nada sendu.

Sebuah tangan mengusap kepala Kirana sayang disusul oleh suara orang yang tadi ia bahas dengan Igo.

"Lo ngomong apa sih. Lo tu gak salah. Ada lo disini berarti gue ada hiburan. Ye gak?" tanya Andri.

Mendengar kalimat terakhir, Kirana melayangkan tatapan tajamnya, "Ngajak gelut?!" pertanyaan Kirana mau tak mau membuat pemuda itu tertawa.

Kirana itu kadang ceria kebangetan, terus tiba-tiba jadi sedih gak jelas eh setelahnya jadi gila.

"Mau gak?" tanya Andri kemudian.

"Apa?"

"Martabak," balas Andri membuat Kirana mengangguk riang.

"Iya mau. Mana?"

Andri diam, membuat Kirana menunggu dengan gemas.

"Beli tuh di prempatan." Setelahnya Andri memasuki kamarnya dengan tawa yang membahana.

"JAHAD! HUEEE BANG ARI! Bang Andri jahat!!" rengek Kirana.

Ari yang baru saja datang langsung bingung melihat sang adik yang menangis (pura-pura) sambil menyeru namanya dan Andri.

4 November 2020

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang