18. Yaah, ketahuan

72 6 0
                                    

"Na, abang pinjem buku psikologi sosial ya?!" ujar Fiko yang sudah berada di samping Kirana yang sedang menonton.

"Hm? Buat apa bang?"

"Temen abang minjem, itupun kalau kamu mau minjemin."

"Oh, abang ambil sendiri aja, gapapa?"

Fiko mengangguk, "Dimana?"

"Kalau gak salah di rak yang paling bawah."

"Oke oke."

"Rak paling bawah yaaa," ulang Kirana sekali lagi, namun tak lama kemudian gadis itu mengumpat yang dibarengi dengan teriakan Fiko memanggilnya.

"Ya bang?" balas Kirana harap-harap cemas.

Fiko keluar dengan membawa sebuah amplop cokelat di tangannya.

"Maksud kamu apa, nyembunyiin hal penting kayak gini!" ucap Fiko marah, membuat badan Kirana bergetar takut.

"Ana, jawab abang! Kenapa kamu nyembunyiin ini?!"

Kirana menangis, membuat Dani yang baru datang langsung mendekati dua orang yang berseteru itu.

"Ada apa?" tanyanya.

"Maaf bang, Ana gak mau buat kalian khawatir."

"Tapi dengan kamu nyembunyiin ini lebih membuat kami khawatir, gimana kalau ...." Fiko tidak melanjutkan ucapannya, takut menjadi sebuah doa.

"Argh, urus adek lo Dan, kecewa gue!" ucapnya pada Dani kemudian Fiko meninggalkan mereka yang membuat Kirana semakin histeris.

Seharian Kirana memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Dengan perasaan kacau, gadis itu selalu menyalahkan dirinya. Menangisi keadaannya sekarang.

"Na!" panggil Ari bersamaan dengan ketukan di pintu. Kirana hanya diam. Sama sekali tidak beranjak dari posisinya untuk membukakan pintu.

"Kirana. Ayo keluar, udah malam dan kamu sama sekali belum makan. Ayo, nanti kamu sakit," bujuk Ari membuat tangis Kirana semakin menjadi.

Di luar Ari mengembuskan napas lelah saat mendengar tangis keras itu. "Kamu yang buka pintu atau abang yang buka paksa?" tawar Ari.

Cukup lama menunggu akhirnya pintu kamar di buka oleh si pemilik. Dengan wajah penuh air mata dan penampilan kusut. Kirana menatap takut Ari.

"Ada masalah apa?" tanya Ari hati-hati.

Kirana diam, menggigit bibirnya mencoba untuk tidak menangis lagi.

"Makan ya. Dari tadi perut kamu belum diisi." Gadis itu menggeleng. Ari menghela napas, kemudian menuntun adiknya itu ke ruang tamu untuk berkumpul dengan yang lainnya.

Ari memilih mendudukkan Kirana tepat di sampingnya. Semua penghuni rumah kecuali Fiko sudah menatap penasaran padanya. Tadi Dani sempat menceritakan alasan kenapa Kirana mengurung dirinya di kamar. Namun yang Dani tahu hanya karena Kirana bertengkar dengan Fiko yang alasannya entah apa.

"Maaf." Suara serak Kirana mengalihkan perhatian abang-abangnya itu.

Ari menatap aneh pada Kirana, "Kenapa minta maaf?" tanyanya.

Kirana menatap satu-satu orang yang juga menatapnya, "Aku ...." Ia berhenti, mencoba untuk kuat menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi, "aku sakit. Dan mungkin gak lama lagi aku bakal mati." Dalam satu tarikan napas, ia mengatakannya dan setelahnya ia kembali menangis dengan meracau kata maaf berulang kali.

Mendengar itu, tanpa sadar tiap mereka menahan napas, hanya sejenak namun terlalu menyesakkan. Apa maksud ucapan itu? Apa itu candaan Kirana seperti biasa? Banyak pertanyaan yang berkeliaran di pikiran mereka.

"Jangan bercanda Na," sangkal Andri. Menyangkal segala pikiran buruk yang sudah membayanginya. "Pasti karena belum makan kan. Udah sana makan dulu, ngaco kan jadinya," canda Andri disertai tawa garingnya.

Kirana sama sekali tidak menanggapi ucapan Andri, ia masih menangis.

"Maksud kamu apa? Jangan bercanda sama kematian!" ucap Ari.

Kirana mencoba mengendalikan tangisnya, menatap letih pada Ari, "Aku sama sekali gak bercanda. Aku emang sakit, aku udah tau dari tahun kemarin. Ayah sama ibu baru taunya waktu aku mau ujian nasional. Waktu aku periksa bareng Ibu. Dokternya bilang kalau hidupku itu gak lebih dari tiga bulan. Tapi ...." Ia berhenti, mengambil udara sebanyak mungkin kemudian melanjutkan, "aku bersyukur, di bulan ke empat aku masih di kasih napas sama Allah. Makanya aku milih untuk lanjut kuliah. Dan milih tinggal sama abang. Aku takut ... takut kalau nanti saat aku pergi aku gak ngeliat abang." Kirana kembali sesegukan, sambil menepuk dadanya yang terasa sangat sesak.

Ari memeluk adiknya, erat. Kenapa hari ini begitu menyedihkan?

"Kenapa abang sama sekali gak tau?" tanya Ari ketika tangisan Kirana mulai mereda.

"Aku gak mau abang jadi kepikiran. Maaf."

"Kenapa kamu jahat sama abang. Abang ini saudara kamu. Apa salahnya abang tahu tentang kondisi kamu. Abang gak mau bantahan, kita besok pulang. Dan kamu berhenti kuliah."

Kirana menggeleng cepat, "Nggak! Aku gak mau. Aku mau di sini sama abang. Sama abang-abang yang lain. Aku masih mau kuliah, ketemu temen, belajar dan lainnya. Aku gak mau pulang."

"Tapi kamu harus berobat. Kamu harus sembuh."

"Percuma bang. Kalau sekarang mau berobat lagi percuma. Udah gak bisa mencegah lagi. Udah gak guna lagi. Biarin. Biarin aja kayak gini, sampai Allah benar-benar jemput Ana. Ana coba ikhlas. Tapi jangan pulangin Ana."

"Kamu gak mau sembuh demi abang?"

"Mau. Aku mau, sangat malah. Tapi bang ... gimana kalau kita mulai ikhlasin aja? Kita juga harus mikirin Ayah Ibu yang banting tulang nyari duit. Gimana kalau aku berobat lagi tapi akhirnya aku tetap bakalan meninggal, kasian sama uang yang udah dipakai tapi hasilnya gak sesuai sama apa yang diinginkan."

Ari diam. Ruangan itu kembali sunyi setelah perdebatan antara Ari dan Kirana.

"Yaudah," ucap Ari kemudian. "Terserah kalau memang itu mau kamu. Terserah. Abang gak bakalan maksa kamu lagi. Ini memang hidup kamu, dan yah abang memang gak punya hak apapun atas itu." Ari meninggalkan tempat duduknya, melangkah memasuki kamar.

Mendengar respon dari Ari, Kirana tidak menampik kalau saat ini Ari benar-benar marah kepadanya.

"Apa yang harus aku lakuin. Aku gak minta ada penyakit ini. Aku juga gak mau ninggalin orang-orang yang aku sayang. Tapi aku bisa apa? Aku ...." Tangis pilunya lagi-lagi keluar.

Adi melangkah mendekat, memeluk erat tubuh bergetar karena tangis itu. Mencoba menenangkan si gadis yang sudah terlalu lama menyembunyikan sebuah rahasia besar. Dan mencoba menenangkan dirinya yang masih tidak terima dengan apa yang sebelumnya terjadi.

Sama dengan yang lainnya. Mereka masih tidak percaya. Apa ini semacam gurauan di April mop?

21 Oktober 2020

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang