Tidak biasanya, jam segini Kirana belum menggedor-gedor pintu kamar. Fahri yang biasanya memang bangun sebelum azan, berinisiatif membangunkan gadis itu.
"Na! bangun. Udah subuh, kamu gak sholat?" tanyanya yang sama sekali tidak ada sahutan.
Lima detik, Fahri diam. Ia kembali mengetuk pintu kamar Kirana. "Na, udah bangun belum?" tanyanya dengan suara agak meninggi, "Begadang ya semalam?" Tangan Fahri tak henti mengetuk.
Hingga perasaan takut menghinggapinya, jantung yang mulai berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, pikiran negatif menghantuinya.
"Na! buka Na! KIRANA, lo gak budek kan!" Fahri mulai hilang kesabaran. Terhitung lima belas menit pemuda itu memanggil-manggil gadis itu. Tapi hasilnya tetap nihil, sama sekali tidak ada sahutan.
Bergegas, Fahri menerobos kamar Ari, menguncang tubuh yang terlelap itu.
"Bangun! Kirana!" ujar Fahri mulai emosi.
Mendengar nama Kirana, badan Ari langsung tegap, dengan kantuk yang seratus persen telah hilang.
"Na! Buka pintu, abang mau masuk!" ujar Ari sama halnya dengan Fahri tadi sama sekali tidak ada sahutan.
"ANA! KIRANA BUKA PINTUNYA!!!"
"KUNCI CADANGAN MANA BEGO!" sahut Dani yang juga ikutan panik. Ah, bukan semua yang di sana panik.
Ari langsung berlari kembali ke kamarnya, mengacak isi lemarinya. Tangannya sibuk memilah barang, mencari benda kecil itu yang tak lama kemudian ditemukan terselip di ujung lipatan baju.
"Lama banget sih lo," omel Andri kesal karena kengaretan Ari.
Adi memukul kepala belakang Andri, "Jangan ngomel lo. Orang pada panik juga."
Karena tergesa, dua kali kunci tersebut terjatuh. Dan semakin lama perasaan takut itu semakin menjadi, mata Ari mulai berkaca-kaca.
"Na, please!" bisiknya dan pada percobaan keempat pintu terbuka.
Kirana masih membuka matanya, disertai ringisan. Gadis itu menangis, tapi tidak bersuara.
"Na, sayang. Mana yang sakit? Bilang sama abang," ucap Ari yang sama sekali tidak direspon oleh Kirana.
"Sayang. Jawab abang. Mana yang sakit. Kita kerumah sakit ya, berobat ya sayang."
"SIAPIN MOBIL!!!" teriak Ari memberi perintah. Gio langsung bergerak. Adi pun langsung menelpon ayah dan ibu, memberitahukan keadaan anak mereka. Semuanya kalut, panik, entah apa yang harus mereka lakukan. Pemikiran buruk semakin menjadi di dalam kepala mereka.
Kirana menatap Ari, ia tersenyum tipis yang kemudian digantikan dengan ringisan.
"Maaf," bisiknya.
"Ayo kamu harus bertahan. Kuat sayang, abang bawa ke rumah sakit. Ayo kita hilangin penyakit kamu. Kamu harus sehat lagi," ucap Ari dengan mata yang telah mengalirkan air mata.
Pelan, Kirana menggeleng pelan.
"Nggak usah. Ana di sini aja. Ke rumah sakitnya jauh, Ana capek. Ana mau tidur aja ya bang," kata Kirana lirih dan putus-putus.
"Nggak! Kamu jangan tidur dulu. Tetap buka mata kamu! Abang gak mau kamu pergi," larang Ari.
Sekali lagi, Kirana menggeleng, "Sakit bang. Ana udah gak kuat. Ana mau istirahat. Aku gak kuat." Mata Kirana mulai meredup.
"Na! Kirana. Jangan dulu! KIRANA BANGUN! KAMU JANGAN TIDUR DULU. AYO BICARA SAMA ABANG LAGI. JANGAN DIAM AJA! BUKA MATA KAMU! KIRANA BANGUN! BANGUN hiks sayang. Bangun, jangan pergi." Ari menangis, menelungkupkan kepalanya di sisi kepala Kirana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirana
General Fiction[Selesai] Kisah singkat Kirana yang tinggal bersama sembilan abangnya