Kemarahan Emu (lanjutan)

60 3 2
                                    

Taiga menahan nafasnya melihat mata tajam emu benar benar mengintimidasi. Anak itu ada diantara mereka, duduk diam dan tenang namun matanya benar benar menunjukan kebencian juga kemarahan. Taiga merasakanya, dia bisa melihat hal itu. Gelarnya sebagai dokter psikologi itu membuatnya cukup paham kalau anak ini tengah menekan kuat kuat emosinya. Emu, jika semua ini tidak berjalan selancar yang mereka harapkan, sepertinya kejiwaannya bisa saja terganggu. Taiga cepat menggeleng kuat saat pikiran negatif itu singgah diotaknya. Tidak, mereka tidak bolah gagal. Semuanya harus kembali pada tempatnya. Bukan itu tujuan mereka meminta hikaru menceritakan segala hal yang terjadi tiga tahun lalu. Semua sudah terlanjur seperti ini, maka mereka harus siap dengan akibatnya. Termasuk sosok emu yang seolah tidak ingin disentuh oleh mereka. Dia hanya diam dan mendengarkan.

"Aku tidak butuh penjelasan dan aku tidak ingin mendengar pembelaan."

Itu adalah kalimat yang diucapkannya ketika dia berhasil dibujuk hikaru untuk mau bertemu dengan mereka semua. Dan disinilah mereka, duduk saling berhadapan. Matanya kemudian melirik keito yang tampak tidak baik baik saja, ini berat untuknya.

"Rasanya seperti tengsh berkhianat, niisan!" ujar keito padanya saat mereka akan pergi tadi. Untunglah inno berhasil membuatnya tenang.

Namun kenyataannya, tak ada yang bicara. Mereka semua masih bungkam dan ini sudah berlansung setengah jam lebih. Bertamu diwaktu yang selarut ini sama sekali tidak membuat merekaa ngantuk. Hikaru melirik emu yang masih menegakan kepalanya, menatap satu titik, kouta. Kentara sekali dengan kouta yang nampak menundukan kepalanya, antara lelah atau rasa bersalah.

"Emu kun, ini terlalu berlebihan.... Kouta nii tak sepenuhnya bersalah atas semua ini...." hikaru mencoba meraih bahu emu namun dengan cepat anak itu menepis tangannya bahkan saat masih ada diudara.

"Jangan bicara padaku. Jangan melarangku. Jangan menasehatiku. Aku berhak seperti ini. Kalian yang minta untuk bertemu, aku duduk disini hanya untuk mendengarkan tapi yang akan aku dengar hanyalah pembelaan kalian." Semua yang ada disana tercekat bersamaan. Emu benar, dia berhak untuk betsikap seperti itu setelah semua yang terjadi. Tapi, ini semua sama sekali tidak nyaman. Rasanya bahkan terlalu berat untuk sekedar berguman.

Pip
Pip
Pip

Semua sontak melirik kearah ponsel putih yang bergetar diatas meja. Salahkan keheningan yang terjadi sehingga bunyi pelan itu bahkan bisa bergema disana. Taiga cepat meraih ponselnya dan matanya melebar membaca 10 panggilan disana.

"Kyusuke..." gumanan samar itu tertangkap telinga emu yang duduk dua bangku darinya. Membuat anak itu sontak menatapnya dengan mata tetkejut.

"Kyusuke....maksudmu adikku? Itu ryosuke?!"

"Emuchan!" Hikaru menahan lengan emu yang hendak berdiri menghampiri taiga.sementara taiga menatap ponselnya dan emu bergantian dalam ragu yang melandanya.

"Angkat telponnya!" Emu menggeram menatap taiga dengan segala emosinya yang tiba tiba mendesak. Itu adiknya. Dia bisa mendengar suaranya jika saja taiga mengangkatnya. Bahkan mungkin juga bisa bicara dengannya. Mata merah emu yang menyimpan banyak luka dan rindu itu membuat taiga iba. Anak itu seolah memohon padanya.

"Aku...aku ingin mendengar suaranya..." lirihan pelan itu membuat taiga tidak tega. Dia melihat ponselnya yang masih bergetar pelan.

"Jangan diangkat. Ini bukan saat yang tepat. Tidak ada satupun diantara kita yang dalam kondisi baik." Suara tegas inno menahan keinginannya untuk menggeser tombol hijau disana. Dia menatap inno yang kini meliriknya. Taiga mengangguk pelan dan kembali meletakan ponselnya dimeja.

Endless Moment (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang