penyelidikan 3

68 6 0
                                    

"Apa kau merasa marah dan kecewa pada seseorang namun kau merasa justru tak memiliki hak untuk sekedar memaki orang itu? Akan tetapi, sebenarnya kau sangat ingin berteriak dan menumpahkan segalanya bukan?" Taiga dapat menangkap sebuah kilatan jawaban dari mata sayu ryosuke, jika orang biasa mungkin tak dapat membaca hal itu namun taiga bisa.

"Kau harus mengutarakannya, ryo. Sesakit apapun itu nanti. Kau hanya perlu mengutarakannya terlebih dahulu setelah itu baru kau tau bagaimana responnya... Jika responnya buruk, setidaknya hatimu jadi lebih baik nantinya..." Tangan taiga berhenti mengelus rambut ryosuke dan beralih mengusap airmata yang entah sejak kapan sudah kembali membasahi pipi pucatnya.

"Apa yang kau pikirkan itu terlalu berat untuk anak seusiamu ryo... Terkadang tak semua hal harus dijadikan beban, jika kau berpikir yang terjadi adalah kesalahanmu maka kau harus tau bahwa saat kau menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi... Saat itu pula orang lain rasanya semakin membuatmu jatuh. Untuk percaya pada orang lain, kau harus lebih dulu percaya pada dirimu sendiri... Sayangi dirimu terlebih dahulu dengan begitu kau akan punya kesempatan untuk menyayangi orang lain..." ucapan panjang lebar taiga hanya dijawab oleh aliran air mata yang menjadi jadi. Taiga sedikit cemas, dia benar benar mengambil kesimpulan kalau kondisi psikis ryosuke bermasalah. Atau mungkin anak ini memikirkan sesuatu yang justru menyakiti perasaannyaa sendiri?

"Apa kau pikir kalau...kau sebuah... Kesalahan? Apa kau memusuhi dirimu sendiri, ryo?" Taiga dapat merasakan kalau tubuh ryosuke bergetar dan anak itu sepertinya kesulitan bernafas. Taiga bergerak cepat, dia membuat ryosuke duduk dan memegangi bahu anak itu.

"Ryo?! Ada apa denganmu? Hei! Dengarkan aku, tarik nafas... Keluarkan..perlahan saja..tarik nafas...keluarkan. Kau harus memikirkan semuanya ryo. Tak ada orang yang tidak memiliki kesalahan didunia ini.." mata taiga ikut berkaca kaca saat mata ryosuke bergerak untuk menatapnya. Dia dapat melihat sedalam apa luka disana. Untuk pertama kalinya taiga ikut merasakan kesedihan pasiennya. Bibir ryosuke sedikit bergetar, tampak begitu kaku walau hanya sekedar untuk berguman.

"Aaa..kku..tak...per..nahh...men.... Minta...nyaa..." sebuah senyum terukir dibibir taiga saat ryosuke bicara. Namun dia mengerti apa yang dikatakan ryosuke. Tatapan anak itu begitu pilu, dia juga tampak mencengkam dada sebelah kirinya sambil menangis tertahan.

"Perlahan saja...kau tidak perlu bicara terlalu banyak jika tak menginginkannya. Tapi ketahuilah, aku bisa menjadi pendengar yang baik untukmu..." Taiga tersenyum tulus, senyuman yang selalu dapat meluluhkan hati siapapun disamping wibawanya sebagai seorang dokter.

"Mer...mereka..mem...bohongi..kku. Hiks..." Taiga menatap ryosuke prihatin. Ryosuke benar benar terluka, bahkan sangat dalam.

"Aku mengerti...jangan lanjutkan jika itu menyakitkan...aku tak memaksa."
Ryosuke menatap taiga dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapannya tiba tiba berubah. Taiga paham kondisi emosional ryosuke sangat tidak stabil.

"Kkau..jug..gga...tak..meng..ngi..ngin...kan aa..kku? Hiks..moon...nii..chan..."
Ryosukee menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya disana. Dia menepis tangan taiga dibahunya. Taiga sedikit terkejut namun dia memilih untuk diam dan memperhatikan ryosuke. Taiga dapat membaca situasi sekarang. Moon adalah kakak ryosuke yang memberikan jantungnya untuk ryosuke. Ryosuke sama sekali tidak tau menau mengenai hal itu sebelumnya dan tampaknya ada seseorang yang memberitaunya dengan cara yang salah sehingga anak ini tertekan.

"Moon niichan mu...sama sekali tidak akan menyesali apa yang telah dilakukannya, ryo. Dia adalah sosok kakak yang baik sehingga bersedia memberikan jantungnya untukmu.... Kau harus tau ryo, dia mempercayakan hidupnya padamu dan seharusnya kau hidup dengan baik demi dia...bukannya menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi seperti ini.." Ryosuke mengangkat wajahnya dan menatap taiga dengan mata memerah.

"Aaa..ku...aku..mem..buu...nnuhh...
Ukh..nya..hiks..." Ryosuke menutup kedua telinganya sendiri. Tubuhnya gemetar dan wajahnya memerah. Taiga menatap ryosuke miris. Ryosuke masih muda tapi beban perasaannya sudah seberat ini.

"Tak ada yang mengatakan kau pembunuh ryo.." ujar taiga lembut. Ryosuke mengabaikannya, anak itu tiba tiba menatap sekeliling dengan gelisah. Taiga mengeryit heran dibuatnya.

"Ryo? Ada apa? Apa yang kau cari?" Taiga memperhatikan ryosuke tetap gelisah namun beberapa saat kemudian dia terdiam. Pandangan matanya tertuju pada satu titik dan nafasnya memburu. Taiga mengikuti arah pandang ryosuke dan dia kembali terheran. Apalagi saat dilihatnya anak itu berusaha turun dari tempat tidurnya.

"Ryo? Kau mau apa? Biar aku ambilkan." Ryosuke menepis tangan taiga yang sempat mencegah pergerakannya. Taiga terdiam, mencoba melihat apa yang dilakukan anak itu.

"Ryo, kau bisa terluka... Hei, kau harus membawa infusmu jika ingin berjalan..." peringatan taiga lagi lagi diabaikan ryosuke. Taiga tak ingin mencegah apapun, jika dia ingin ryosuke percaya padanya. Maka dia tidak boleh sembarangan bertindak. Taiga hanya meringis saat dengan jelas infus itu ditarik paksa dari pergelangan tangan ryosuke dan tampak darah segar sedikit keluar dari sana. Namun wajah ryosuke sama sekali tak menunjukan rasa sakit. Anak itu pokus pada tas tas yang ada pada sofa dihadapannya. Dia menarik sebuah tas dan tampak membongkarnya. Bisa dilihat beberapa pakaian san benda benda lain bahkan psp keluar dari sana. Taiga menyimpulkan itu tas ryosuke. Taiga menghela nafas kemudian tersenyum.

"Kau ingin ganti pakaian ryo? Aku bisa membantumu kalau kau ma..." kalimat taiga terhenti dan matanya melebar saat ryosuke menarik sebuah benda untuk keluar dari tas itu.

"Ryo..." Taiga menegakkan tubuhnya dan menatap ryosuke was was. Dia tau pasti apa yang tengah digenggam oleh ryosuke. Ryosuke diam, ia menatap tangan kanannya yang tengah menggenggam pisau lipat. Dia biasa menyelipkan benda seperti itu didalam tasnya. Tapi kali ini situasi berbeda, anak itu sedang dalam kondisi psikis yang buruk. Entah apa yang tengah dipikirkannya, sementara ryosuke diam, taiga bergerak cepat menekan tombol merah disamping tempat tidur ryosuke berharap kouta beserta perawat akan segera datang.

"Ryo...itu berbahaya...letakkan pisau itu sekarang juga ryo.." mata taiga tidak lepas sedikitpun dari sosok ryosuke. Dokter muda itu tidak ingin bertindak gegabah.

"Katanya...kalau....aku...mati...itu....
Jauh...lebih...baik..." Ryosuke tersenyum menatap taiga. Berbeda dengan ryosuke, taiga justru menatapnya cemas dan bibirnya bergerak menggumankan kata jangan berkali kali.

"Gomen-"
"YAMADA RYOSUKE!"

...........

Endless Moment (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang