Fany menatap berkas-berkas serta file yang berserakan di mejanya. Biasanya, tidak akan butuh waktu lama untuk selesai memeriksa laporan dari berbagai divisi serta berbagai kontrak kerjasama yang harus ia periksa dan tanda tangani. Namun, kali ini berbeda. Masalah kemarin sudah memenuhi otaknya sehingga berat untuk memikirkan pekerjaan lagi.
Pukul tujuh malam. Ia sengaja pulang larut. Untuk menghindari Rafa tentu saja. Di samping itu, pekerjaannya jelas belum selesai sehingga ia tidak mungkin membiarkan semua ini keteteran. Tarik napas dalam. Buang. Entah sudah berapa kali ia melakukan ini dari tadi pagi.
Ponsel Fany berdering. Dari Naufal. Ini sudah yang ke sembilan belas kalinya sejak tadi pagi. Bukan hanya Rafa yang dihindarinya, tapi juga Naufal. Semua butuh waktu dan tidak bertemu dengan mereka mungkin bisa membuat pikiran Fany sedikit lebih tenang.
Fany terus menatap ponselnya hingga panggilan Naufal berhenti. Tidak perlu takut jika Naufal tiba-tiba sudah berada di kantornya. Fany sudah meminta satpamnya memberi kabar kalau pria bernama Naufal Putra Evans atau kakaknya muncul. Tentu saja Fany meminta satpam melarang mereka masuk.
Perut Fany sudah berbunyi. Mungkin sebaiknya ia pulang lalu mampir ke restoran cepat saji. Lagi pula ini sudah pukul tujuh malam. Pasti Rafa sudah selesai makan malam saat tiba di rumah. Pria itu selalu makan malam tepat pukul tujuh atau sekitar jam segitu.
Dengan santai Fany membereskan pekerjaannya. File-file tadi serta berkas-berkas yang berserakan di mejanya akan ia bawa pulang.
Fany membuka satu per satu laci mejanya. Mencari sebuah map untuk mengisi kertas-kertas yang akan ia bawa pulang. Sampai pada laci keenam dan ia tidak menemukan satu pun map yang bisa menampung berkas-berkasnya.
Sebuah hembusan napas keluar dari mulutnya. Sudahlah, dia akan mengambil map itu di meja Nia saat pulang nanti.
"Nia.." lirih Fany lalu terduduk di kursinya. Kepalanya ia tumpukan ke atas tangan sambil menunduk.
Sejak tadi pagi mereka berdua sudah bertemu. Bicara tentang pekerjaan tentu saja. Tidak seperti biasanya masih sempat-sempatnya bercanda atau membicarakan hal lain. Pembicaraan tadi siang hanya dilakukan seperlunya saja.
Fany tidak suka itu.
Tapi Fany bukan orang yang bisa mencairkan suasana awkward. Dia payah dalam hal itu. Dia ingat sewaktu kuliah semester awal dan cekcok dengan Josephine temannya. Hampir tiga bulan hingga hubungan mereka kembali seperti semula. Semuanya karena Fany yang tidak bisa memulai pembicaraan. Ia bahkan selalu menghindar dari Josephine karena merasa tidak nyaman.
Padahal Josephine bisa dibilang cukup supel. Bagaimana dengan Nia yang pendiam?
Fany mengacak rambutnya kesal. Besok dia akan mencoba bicara dengan Nia. Itu tekadnya. Harus! Persahabatannya tidak boleh hancur.
Kembali ponselnya berdering memunculkan nama Naufal untuk yang ke dua puluh kalinya. Sama seperti sebelumnya, Fany hanya menatap nama itu hingga panggilan masuk berakhir. Setelah itu, ia mengambil tasnya dan mencari kunci mobilnya.
"Aduh, mana sih?" Fany menggerutu kesal karena tidak menemukan kunci mobilnya.
Sudah menjadi kebiasaan. Tasnya hanya berukuran tiga puluh senti tapi mencari benda itu seperti mencari di dalam koper.
Akhirnya Fany memutuskan untuk mengeluarkan isi tasnya yang berantakan. Dompet, powerbank, compact powder, berbagai liptint dan lipstick, facemist, penggaris alis, dompet kartu, jedai, cars hape, usb, handsanitizer, tisu basah, tisu kering, kunci, cermin, pembalut- "Nah ini dia!" seru Fany saat melihat kunci mobilnya sebelum mengeluarkan semua isi tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LITTLE ****L [Complete]
RomanceBagi tuan putri seperti Stefany Aurelia Wibowo, hanya ada dua hal yang tidak bisa bisa ia dapatkan di dunia ini. Pertama, izin dari keluarga untuk tinggal di Indonesia sendiri. Kedua, seorang bartender pemilik club malam bernama Naufal Putra. Demi...