Fany menatap lurus ke depan. Hanya ada keheningan di antara dia dan Naufal. Tidak heran lagi, Fany sudah sering berada di situasi awkward seperti ini. Ia memang tidak memiliki kemampuan untuk memecah keheningan.
Ini keheningan pertama antara dirinya dan Naufal. Biasanya, mereka tidak akan kehabisan bahan pembicaraan. Tapi kali ini, keheningan mungkin terasa lebih menenangkan. Karena menanyakan tentang Nia pada Naufal mungkin hanya akan menambah luka di hati mereka berdua. Walaupun rasa penasaran itu ada.
"Aku mau cerita tentang hubunganku dan Nia dulu," kata Naufal memulai. Ia menatap Fany sekilas. "Kamu mau dengar?" tanya Naufal tanpa pemaksaan.
Perlahan Fany mengangguk. Ia lebih memilih untuk mengetahui semua. Memenuhi rasa penasarannya dari pada mengheindari rasa sakit di hatinya. Semoga saja hatinya bisa menerima.
Naufal berdeham. Dia tidak langsung menceritakannya. Mungkin memilah dari mana harus memulai. Fany tetap menunggu meski sangat ingin tahu.
"Kami berteman sejak awal SMA. Kelas 10." Naufal memulai. "Aku yang lumayan supel dan Nia yang pendiam ditempatkan duduk satu meja di kelas sepuluh. Itu awal persahabatan kami." Naufal menarik napas dalam sambil menatap jalan di depannya.
"Nia pendiam, pintar dan nggak bisa nolak permintaan orang lain. Berbanding terbalik dengan aku yang biasa-biasa saja. Nggak pintar, hobinya cuma main futsal daripada ke perpus dan gampang bergaul. Tapi kami berdua bisa cocok berteman. Aneh, tapi mungkin itu takdir."
Naufal tersenyum singkat.
"Satu-satunya perbedaan kami berdua hanya latar belakang. Nia punya keluarga sederhana walaupun ayahnya sudah tidak ada, tapi dia masih bisa hidup berkecukupan dengan gaji ibunya yang seorang pegawai negeri." Wajah Naufal berubah sendu walaupun ia berusaha menutupinya.
"Kelas tiga SMA aku dan Nia nggak satu kelas. Sejak saat itu aku merasa kalau aku nggak bisa tanpa Nia." Naufal menghembuskan napasnya kasar. "Apalagi saat aku sadar kalau ada cowok lain yang naksir dia."
"Kamu cemburu?" tanya Fany.
"Aku hanya nggak mau ada cowok lain yang dekat dengan dia selain aku," jawab Naufal. "Aku nggak tahu itu suka atau cinta, tapi saat Nia menerima perasaan aku rasanya itu hal paling indah yang pernah terjadi selama aku hidup. Sayang, kebahagiaan itu nggak bertahan selamanya."
Naufal menarik napas dalam. Ini adalah bagian yang paling menyakitkan baginya. "Awalnya, kedua orang tuaku sudah menunjukkan sikap kalau mereka tidak setuju dengan Nia saat aku mengajak Nia ke rumah. Mereka setuju aku berteman dengannya tapi bukan pacaran." Naufal menutup matanya sekilas. Berat mungkin mengingat masa itu.
"Aku nggak peduli. Hampir empat tahun kami berpacaran dan sebelum kami lulus kuliah, Nia memutuskanku. Kedua orang tuaku yang memintanya. Aku tahu, meskipun Nia bilang dia tidak menyukaiku lagi."
"Kamu nggak berusaha mempertahankan dia?" tanya Fany sambil menatap Naufal.
Naufal menggeleng dengan raut sedih. "Aku sudah mencoba, tapi bagi Nia, restu orang tua adalah yang paling penting." Fany teringat ucapan Nia malam itu. Betapa menyakitkan berada di posisi Nia saat itu pasti.
"Lucunya, dulu aku merasa konyol jika pasangan putus padahal keduanya saling menyayangi. Mustahil. Tapi hal yang aku anggap konyol itu terjadi padaku." Naufal tertawa singkat. "Balikkan nggak bisa. Putus tapi masih saling sayang."
"Dan putus adalah jalan yang kalian pilih agar nggak saling menyakiti?" tanya Fany. Naufal mengangguk. "Ternyata itu pilihan yang menyakitkan. Tiga bulan kemudian, aku kehilangan Nia. Dia mengganti nomor ponselnya, pindah rumah dan menghilang dari kehidupan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LITTLE ****L [Complete]
RomanceBagi tuan putri seperti Stefany Aurelia Wibowo, hanya ada dua hal yang tidak bisa bisa ia dapatkan di dunia ini. Pertama, izin dari keluarga untuk tinggal di Indonesia sendiri. Kedua, seorang bartender pemilik club malam bernama Naufal Putra. Demi...