Mobil Fany terparkir di depan sebuah restoran steak yang terlihat hampir tidak ada pengunjungnya karena harganya yang hanya bisa dijangkau kalangan atas. Pagi tadi, grup WA 'Bestie' nya berencana untuk makan siang di restoran ini. Tentu saja, masih dengan sikap munafik mereka yang mengajak Fany untuk ikut gabung.
Ponsel di samping Fany berdering memunculkan nama Naufal. Apakah Naufal sudah sembuh? Fany lupa menanyakan kabar pria itu tadi pagi. Pengkhianatan sahabat-sahabatnya membuat pikiran Fany jadi tidak berfokus pada Naufal lagi.
"Halo, Fany, kamu di mana?" tanya Naufal dengan nada khawatir.
"Di Holy Place. Gimana keadaan kamu?" tanya Fany balik.
"Aku sudah mendingan. Kamu yang aku khawatirin. Tentang berita itu. Maaf, aku baru taunya tadi pagi waktu baca majalah bisnis bulan ini."
Oh, jadi berita itu sudah sampai ke majalah bisnis?
Hebat! Fany semakin mencoret nama baik keluarganya. Bahkan mungkin karyawan kantor ayahnya karena mereka malu punya bos yang hanya masuk majalah bisnis dengan topik murahan seperti itu. Berbeda dengan kakaknya yang selalu mendapat pujian.
"Fan. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Kamu nggak seperti yang mereka bilang. Aku ke tempat kamu sekarang."
"Aku nggak papa. Makasih sudah perhatian sama aku, tapi aku harus ketemu sama mereka sekarang. Kamu nggak perlu khawatir."
Fay mematikan panggilan teleponnya. Ia memang tidak baik-baik saja. Naufal benar, tapi ia harus kuat. Dia akan menghadapi sahabatnya sendiri. Sakit memang ditusuk dari belakang, tapi lebih sakit lagi kalau pisau itu terus dibiarkan.
Fany menarik napas dalam. Dia pasti bisa. Jangan permalukan diri sendiri. Dengan langkah mantap Fany turun dari mobilnya. Sebelum mendorong pintu kaca itu, Fany menghembuskan napasnya.
"Hai Fan," teriak Jessi dari tempat duduknya sambil melambai pada Fany.
Cih, munafik.
Dengan berusaha setenang mungkin, Fany berjalan ke arah teman-temannya. "Fan, duduk yuk. Caroline juga belum datang. Masih ada pemotretan katanya." Dara menunjuk kursi berwarna hitam di sampingnya.
Fany memasang senyumnya ketika berdiri di belakang Sisca yang duduk membelakanginya. "Nggak perlu. Gue nggak lama kok. Lagi pula, selera makan gue hilang ngeliat kalian."
"Maksud lo apa?" tanya Sisca tidak suka.
"Berita tentang gue di internet dan majalah." Fany menarik napasnya dalam agar suaranya tidak pecah. "Kalian nggak mau menjelaskan sesuatu ke gue?" tanya Fany yang membuat wajah ketiga temannya resah.
Fany tertawa sumbang. "Gue baru sadar kalau selama ini gue temenan sama sahabat-sahabat munafik. Di depan gue baik, tapi di belakang sibuk membuat nama gue hancur."
Sisca berdiri lalu berbalik menatap Fany. Sekuat tenaga Fany menahan kakinya agar tidak mundur. Dia tidak boleh kalah. "Iya, berita itu memang dari kita. Sorry to say, tapi lo di mata kita berempat memang seperti itu."
"Fan, lo sadar kenapa kita jadi seperti ini?" tanya Dara. "Lo nggak pernah sadar dengan apa yang lo miliki. Sejak lo datang, semua perhatian yang dulunya kita berempat miliki, semua berpindah ke lo."
"Dara benar. Lo seharusnya nggak perlu balik ke Indonesia," tambah Jessi lagi. Fany tidak kuat. Bahkan, dia tidak tahu apa yang dibilang teman-temannya benar-benar dirinya yang sebenarnya atau tidak. Apakah dia memang tukang merebut perhatian? Apa dia memang tidak pernah sadar dengan apa yang sudah dia miliki? Saat ini, dia sendiri tidak tahu sifatnya yang sebenarnya seperti apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LITTLE ****L [Complete]
RomanceBagi tuan putri seperti Stefany Aurelia Wibowo, hanya ada dua hal yang tidak bisa bisa ia dapatkan di dunia ini. Pertama, izin dari keluarga untuk tinggal di Indonesia sendiri. Kedua, seorang bartender pemilik club malam bernama Naufal Putra. Demi...