Saat mereka berdua sampai didepan pagar sekolahnya Gita. Ia sedang berusaha membuka helmnya yang terkunci rapat kemudian menyerahkan pada sang pemilik, Bara. "Lo pasti gak bawa bekel, kan?" Tebak Gita.
Bara cengengesan. "Males gue bawanya,"
Gita menyerahkan tempat bekal berwarna biru pada Bara. "Gue sendiri yang masak. Jangan lupa dimakan. Kalau enak bisa diorder lagi."
Bara tertawa sambil menerima bekal tersebut. "Siap,bu. Nanti kalau gak enak apa jaminannya?" Gita mencebikkan bibirnya. "Yaudah gue jajanin lo makan bubur ayam. Gimana?"
Gita mengulurkan tangannya agar Bara setuju dengan ucapannya. "Oke, deal."
Sesampainya dikelas, Gita sudah ditanya-tanya oleh Dira yang tak lain adalah teman sebangkunya. "Ta, lo udah sembuh kan? Apa masih ada yang sakit?" Dira memutari badan Gita untuk memastikan kalau sahabatnya sedang dalam kondisi baik-baik saja. "Gue udah gak papa, kok."
Dira menghela nafas lega. "Syukurlah. Gue dapat kabar dari si azzam tentang lo yang masuk rumah sakit." Gita duduk dikursinya disusul pula sama Dira. "Jangan bahas itu lagi, ya, Ra." Pinta Gita.
"Ehm...kenapa lo sembunyiin ini dari gue?" Gita menunduk. Lagi-lagi ia terjebak pada kalimat tanya yang membuat ia bungkam. "Kisah gue sama Arvin udah selesai. Kami punya kehidupan masing-masing yang harus kita jalani."
Dira terkejut. "Jangan bilang lo udah lupain Arvin dan mengubur dalam-dalam kenangannya?" Gita mengangguk membetulkan perkataan Dira. "Iya,Ra. Gue emang udah bisa lupain kejadian yang seharusnya emang gak pernah terjadi. Gue yang salah, gue yang terlalu berharap. Gue yang bodoh karena cinta. Dan mau-maunya ngejar-ngejar cinta yang sebenarnya perasaan itu bukan buat gue." Gita merutuki kebodohannya.
Dira mendekap tubuh sahabatnya. Terlihat dari luar memang sangat kuat, tapi dalamnya sangat rapuh. "Gue yakin lo pasti bisa,Ta."
***
Dijam pulang sekolah, Arvin menunggu didepan kelas Gita. Tubuhnya yang tinggi menyender pada bagian tembok didekat pintu keluar masuk kelas. Banyak pasang mata yang memperhatikan Arvin yang jelas-jelas bukan salah satu murid kelas 12-ipa 2.
Saat ketua kelas sedang memimpin untuk mulai berdoa, tak lama kemudian berdoa selesai dan Guru pun sudah lebih dulu keluar. Sepertinya Gita masih tidak melihat Arvin yang sudah setia menunggu kehadirannya.
Mata Arvin tidak lepas untuk memperhatikan satu persatu murid yang keluar kelas. Saat Gita keluar kelas, merasa ada yang menarik tas sekolahnya agar menjauh dari kerumunan murid. Gita tersentak kaget, dengan Arvin yang menyeretnya kearah tangga menuju kelasnya yang sudah terlihat sepi. "Eh lo mau bawa gue kemana? Gue bilangin papa gue kalau lo mau culik gue." Sentak Gita.
Arvin melepaskan genggamannya kemudian melangkah lebih dekat dengan Gita mengikis jarak diantara mereka berdua. "Kamu udah gak papa, kan?" Sambil memutar tubuh Gita memastikan kondisinya yang sedang baik-baik saja.
Gita mundur agar jarak mereka berdua tidak terlalu dekat. "Gu-gue udah gak papa. Gue pulang dulu, udah dijemput."
Arvin mengerut bingung. "Sejak kapan lo dijemput? Jangan bilang lo udah punya yang baru?"
"Apa urusannya sama lo? Lagi pula gue udah gak penting bagi lo."
Arvin menyugar rambutnya. "Aku harus jaga Dinka. Disatu sisi aku disuruh bunda buat jagain kamu juga. Aku bingung."
Gita tersenyum getir. "Gue gak perlu dijagain. Gak usah bingung, gue gak mau bikin repot orang. Cukup cinta gue yang salah jalan."
"Jangan pernah salahin perasaan kamu sendiri. Kamu enggak salah. Aku sadar apa yang aku omongin ini udah basi, udah terjadi baru bilang yang sejujurnya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGITA (SELESAI)
Teen Fiction(Sequel Aruna #1) "Kamu adalah ilusi yang saya harapkan." mereka pernah menyukai seseorang yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. akhirnya, dengan berat hati,mereka berdua mengubur masa lalunya dalam-dalam, melanjutkan kehidupan selanjutnya. ...