bab 29

303 25 0
                                    

Suara ponsel berdering dan tak lama kemudian ada sebuah pesan yang belum dibaca.

Arvin : keluar sekarang juga, jangan lupa pakai jaket diluar dingin

Dahi Gita mengerut. Tumben-tumbennya si Arvin mengajak dirinya keluar rumah. Saat membuka kunci pagar, ada laki-laki yang sedang duduk dimotornya. "Tumben banget kamu kesini, ada apa?" Bisik Gita.

"Aku mau ajak kamu jalan, boleh?"

Gita menengok kearah kanan dan kiri. Sedang memastikan kalau dirinya sedang tidak dipantau oleh orang rumah. "Kamu nyari apaan?"

"Aku cuma memastikan kalau disini gak ada yang lihat selain kita berdua." Arvin terkekeh. "Kamu tenang aja, disini cuma ada kita berdua aja. Ayo naik kemotor aku,"

Gita mengeratkan pelukan pada jaketnya. Ternyata benar malam ini terasa jauh lebih dingin. Untung saja dirinya mengikuti kemauan Arvin. "Mau kemana? Ini udah malem, Vin. Mana mungkin aku keluar rumah tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku masuk aja, ya." Lagi-lagi Arvin menggeleng. "Eits.... mau kemana? Aku cuma ajak kamu makan sebentar dan ada yang mau aku bicarain sama kamu juga."

Gita berpikir lalu menganggukan kepalanya. "Janji ya gak lama?" Arvin menyetujui permintaan Gita. "Janji, Ta."

***

Sepanjang jalan, Gita terus mengikuti kemana Arvin mengajaknya. Tiba saatnya ia mengajak kewarung angkringan. Disana banyak menjual minuman sekoteng, sangat cocok bila diminum malam hari yang sekarang sedang dingin. "Kamu mau kan sekoteng?" Gita mengangguk. "Tapi gak pakai kacang," pesan Gita.

"Sekotengnya dua ya, Bu. Yang satu komplit dan yang satunya lagi gak pakai kacang." Ucap Arvin yang dijawab dengan anggukan sama si ibu penjual.

Mereka duduk lesehan dengan beralas terpal bekas. Jangan salah, walaupun bekas tapi kebersihan warung tersebut tetap terjamin. "Besok aku berangkat, Ta." Arvin memulai percakapan. Jujur, ia tidak bisa bilang yang sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, bila ini keputusan yang tepat, ia bisa apa?

"Berangkat? Kemana? Pulangnya kapan?" Pertanyaan Gita membuat Arvin memijit pelipisnya. Ia bingung mulai dari mana ia harus menjawabnya.

"Yang pertama niat aku ajak kamu kesini untuk makan bersama yang terakhir kalinya. Kamu tahu? Aku kesini tuh juga diam-diam juga. Yang kedua, aku akan melanjutkan kuliahku di surabaya, disana aku akan tinggal bersama nenek dan kakekku dari orang tua ayahku. Yang ketiga, aku mau bilang kalau nanti kamu ada masalah harus cerita sama aku, entah aku lagi sibuk atau engga, kamu harus tetap mengabariku. Ingat, ini perintah!"

Gadis itu hanya melongo. Mendengarkan baik-baik ucapan yang baru saja dibilang sama Arvin. "Kamu mau ke surabaya? Jauh banget, kenapa gak kuliah disini aja?"

"Sebenarnya aku mau kuliah disini, cuma ada yang harus aku prioritaskan, Ta. Aku sudah memikirkannya secara matang-matang."

Tak lama kemudian dua mangkuk kecil berisi sekoteng datang. Mereka berdua menikmatinya walau sebenarnya didalam otaknya masih ingin bertanya. "Kamu kenapa diam aja? Aku menyinggung perasaan kamu, ya?" Gita menatap Arvin. "Gak papa," jawaban singkat Gita sudah terlihat kalau ia sedang dalam mode badmood.

"Aku tahu kalau kamu juga gak mau ini terjadi, tapi satu hal yang harus kamu tahu, kalau aku disana untuk meraih mimpiku. Aku pasti akan kembali kesini setelah kuliahku selesai. Aku janji, akan secepatnya menyelesaikan pendidikanku lalu kembali kesini lagi. Jadi kamu izinin aku kan untuk pergi?"

"Aku ralat, kamu gak akan pergi kemanapun. Kamu akan selalu ada didekatku meski kita gak bertemu. Sudah pasti aku izinin kamu, Vin." Arvin tersenyum bangga. "Aku senang banget, Ta. Aku kira kamu akan mencegahku untuk tidak pergi."

"Aku akan mencegahmu kalau benar-benar mau pergi dari hidupku lagi. Cuma sekali lagi aku tekankan padamu, kamu hanya menyelesaikan pendidikanmu."

Mereka berdua sudah selesai berbicara dan sudah membayar sekoteng tadi. Dalam perjalanan pulang, Arvin mengantarkan Gita kerumahnya. Sesampainya didepan rumah Gita, ia sempat melirik gadis itu dengan tatapan sayu. Kalau ia boleh pilih, ia akan lebih memilih untuk tetap berada dijakarta, tapi mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur berjanji pada sang ayah untuk mengejar impiannya. Ya, Arvin yakin dalam beberapa tahun kedepan, ia akan datang kembali untuk menjadikan Gita miliknya seutuhnya.

"Kok cemberut? Kamu gak senang ya aku mau pergi?" Tebak Arvin.

Gadis itu mendongak lalu maju beberapa langkah. "Berapa lama kamu disana?"

"Secepatnya aku bakal pulang kesini. Nanti kalau aku pulang, kamu mau jemput aku gak?" Gita mengangguk. "Mau, tapi nanti kalau kamu pulang bersama pacar kamu yang baru gimana?" Pertanyaan bodoh yang sedari tadi terus menghantui Gita.

Arvin menyingkirkan sebagian rambut yang menutupi wajah Gita. "Pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak kamu tanyakan, kamu udah tahu kemana hatiku akan berlabuh nantinya."

"Tapi Vin, kita gak akan pernah tahu tentang kehidupan kita untuk hari selanjutnya. Semuanya terasa begitu teka-teki, aku gak mau untuk menunggu tidak yang pasti. Sangat sulit untuk aku jalankan, kamu paham kan maksudku?"

"Kamu tenang aja, ya. Selama aku gak ada disampingmu, kamu gak boleh sedih terus dan gak boleh menyembunyikan hal apapun yang bisa membuatmu menjadi gelisah. Janji, ya?" Gita mengangguk kemudian menerima pelukan dari Arvin. Ini menjadi moment yang akan Gita ingat. Teman masa kecilnya itu akan pergi dengan waktu yang cukup lama.

Arvin memberikan bungkusan plastik berwarna putih. Gadis itu mengernyit bingung seolah bertanya ini apa. "Ini buat calon mertuaku, jangan lupa dimakan ya." Semburat merah berasal dari pipi Gita membuat Arvin terkekeh. "Cie...malu,"

Laki-laki itu memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. "Kalau gitu aku pulang dulu, ya. Sampai ketemu nanti. Jaga diri kamu baik-baik, ya."

"Kamu juga, jangan terlalu capek. Baik-baik disana." Setelah itu mereka berdua berpisah.

***

Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.

Happy reading♡

SAGITA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang