"Bunda..." panggil Athalia yang sedang menonton TV dikamar sang bunda. Gita pun menengok sambil mengelus rambut anaknya. "iya... sayang?"
Bocah kecil itu mendekati sang ibu dengan tangan mungilnya yang menyentuh bagian perut Gita yang nampak membuncit. "Adeknya kapan lahir? Aku udah gak sabar mau main sama dedek." Yang bisa dilakukan Gita hanya tersenyum. "Nanti kalau adiknya udah lahir kamu bisa ajak dia main, ya." Jawab Gita dengan lembut.
Berbicara mengenai Gita, dirinya itu sedang mengandung anak kedua yang sudah menginjak delapan bulan. Sewaktu ia mengandung Athalia, ia sangat suka makan walau Dokter mengatakan kalau janin yang dikandungnya sangat lemah dan itu sangat berbahaya. Tapi Gita sangat beruntung saat ia mengandung Athalia, yang tadinya kandungannya terbilang lemah kini menjadi kandungan yang kuat berkat dirinya yang mau mengatur pola hidupnya agar tidak kelelahan. Sebenarnya saat Gita dinyatakan tengah mengandung anak kedua, suaminya yang bernama Arvin kurang antusias. Mengapa? Karena ia jadi teringat proses persalinan Gita yang tengah mempertaruhkan nyawanya. Gita paham kalau suaminya itu khawatir, tapi dirinya tidak menyangkal kalau Arvin juga bahagia mengenai kabar anak kedua yang tengah dikandung sang istri.
Kalau untuk jenis kelaminnya, mereka berdua tidak terlalu mementingkan. Mau perempuan atau laki-laki juga tidak masalah. Yang terpenting terlahir dengan sehat dan tanpa kekurangan apapun. Keluarga besar mereka sudah mengetahuinya, mereka juga sama antusiasnya. Oh iya, mengenai Bara dan Dinka mereka juga sedang bahagia karena anak keduanya telah lahir, anaknya kembar. Satu laki-laki dan satunya perempuan, mereka sama-sama mirip dengan orang tuanya. Anak pertama Bara dan Dinka berjenis kelamin perempuan yang usianya sudah dua belas tahun. Usianya beda empat tahun dengan Athalia yang sudah berusia delapan tahun.
"Kalau adiknya sudah lahir kamu mau dipanggil apa?" tanya Gita sambil mengusap pelan perutnya. Athalia sempat berpikir, tak lama ia menjawab dengan antusias. "kakak Athalia!" sepertinya ucapan Athalia tidak bisa diganggu gugat lagi. "bagus gak, Bun?"
Wanita itu mengangguk. "bagus sayang," athalia memeluk Gita denga erat. Wanita yang paling ia sayang didunia. "alia sayang sama bunda pake banget." Apa yang harus Gita katakan kalau dirinya juga sangat-sangat menyayangi putri kecilnya. "bunda juga sayang sama putri kecilnya bunda."
Tak lama Athalia tertidur dipelukan ibunya. Gita sempat melihat anaknya yang sudah tertidur pulas hanya terkekeh. Kemudian ia membaringkan tubuh mungil anaknya disamping ranjangnya. Untung saja, ia sedang berada dikamarnya. Kalau tidak? Dia tidak tahu bagaimana cara menggendong anaknya, apalagi dalam keadaan mengandung. Ia tidak mau membahayakan anak yang didalam kandungannya.
***
Saat ini Gita sedang menunggu kepulangan sang suami. Sejak tadi ia menunggu kabar dari Arvin, ia terus menggenggam ponselnya. Siapa tahu saja Arvin mengabari dirinya kalau ada urusan atau semacam yang lainnya agar dirinya tidak khawatir. Athalia sudah tidur sejak Gita membacakan buku dongeng. Pukul sebelas malam Gita masih setia menunggu kepulangan suaminya disofa. Sembari menunggu, ia mengelus pelan perutnya yang sedari tadi kontraksi. "Sebentar ya sayang, bunda lagi nunggu ayah pulang kantor." Gita berbicara pada bayi yang masih dikandungnya.
Tak lama ia mendengar deru mobil yang berasal dari garasi rumah. Dengan sangat hati-hati ia berjalan untuk membukakan pintu dan menyambut kedatangan suami. Setelah membuka pintu, Arvin hanya memasang wajah datar. Gita yang melihatnya pun sempat terluka. Bagaimana tidak? Suaminya itu mulai bersikap dingin saat mengetahui kandungan Gita dinyatakan lemah dan sangat berbahaya bagi keduanya. Gita tak ambil pusing, ia mencium punggung tangan sang suami.
"Mau makan dulu atau mandi dulu, mas?" Tanya Gita sopan. Ia tahu kalau suaminya itu pasti sangat lelah, maka dari itu ia bersikap lebih dewasa. Ia sedikit menurunkan ego nya.
"Mandi," jawab singkat Arvin cukup menggores hati Gita. Ia hanya mengangguk.
Saat suaminya mandi, Gita menyiapkan baju Arvin yang ia taruh diatas ranjang. Tak lama kemudian Arvin keluar dengan keadaan yang lebih segar.
Gita beranjak dari kasur, sebelum ia benar-benar keluar dari kamar ia sempat berucap, "aku panasin makanannya dulu, ya."
Tak ada jawaban dari Arvin. Laki-laki itu malah sibuk dengan ponselnya. Gita hanya menghela nafas sabar. Arvin turun untuk menuju dapur, seketika hatinya mencelos saat melihat istrinya sedang menata makanannya yang sudah dipanaskan.
Gita mengambilkan nasi beserta lauknya untuk Arvin. Laki-laki itu sama sekali tidak mengucapkan sesuatu, barang kali ada obrolan yang bisa mencairkan suasana. Selama Arvin makan, Gita hanya duduk saja menemani Arvin. Sesekali ia mengelus perutnya yang terasa sakit.
Arvin yang sedang makan pun ikut melirik kearah istrinya yang sedang mengelus perutnya dengan ekspresi wajah seperti orang yang sedang menahan kesakitan. Hatinya tergerak untuk sekedar menanyakan ada apa dengan Gita?
"Kenapa?"
Entah kenapa, saat Arvin berucap seperti itu ada kebahagiaan tersendiri bagi Gita. Walau sebenarnya hanya berkata sedemikian, tapi setidaknya Arvin masih peduli dengannya.
"Dari tadi siang perutku sering sakit," perkataan Gita berhasil membuat Arvin tersedak. Buru-buru Gita memberinya air. "Hati-hati mas, jadi keselek gitu, kan?!"
Arvin langsung beralih pandangannya kearah perut Gita. "Kenapa gak bilang kalau perutmu sakit, hm?" Wanita itu hanya menunduk diam. Sebenarnya ia juga ingin memberitahu yang sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi kalau suaminya mulai bersikap dingin saat Gita lebih memilih mempertahankan anak keduanya.
"Aku kira kamu gak akan peduli sama anak yang kukandung,"
Dahi Arvin mengerut bingung dengan alis yang terangkat satu. "Siapa yang peduli? Aku cuma khawatir sama kamu aja!" Elak Arvin. Dalam hatinya ia sempat meringis untuk tidak mengakui anak kandungnya secara langsung. Air mata yang sedari ia tahan untuk tidak keluar tetap saja akan keluar sewaktu ucapan Arvin yang begitu menyakitkan.
Gita memaksa Arvin untuk menyentuh perutnya. Seperti ada yang merespon berupa tendangan. Dari lubuk hati yang paling dalam ia sangat ingin mengusap-usap perut Gita. Didalam sana ada anaknya yang selalu dinanti, tapi keadaan yang mengubah dirinya menjadi seperti ini. "Apa sedikit pun hatimu gak tergerak untuk menyaksikan respon dari anakmu tadi?"
Laki-laki itu mengalihkan pandangannya. Kalau ia menatap mata sang istri, ia tidak akan pernah bisa untuk berbohong lagi. "Berapa kali harus kukatakan kalau anak ini anugerah, aku sama sekali gak merasa mengandung anak ini seperti beban. Justru aku merasa kalau anak yang sedang ku kandung ini membawa berkah, aku tahu kondisi tubuhku lemah, tapi gak seharusnya kamu membenci anak ini. Anak ini gak salah, mas. Kalau boleh aku milih, aku akan mempertahankan anak ini meski aku yang harus tiada saat aku melahirkan dia nanti."
Jleb
Ungkapan yang sudah lama tersemat, kini terucap juga. Ribuan jarum yang menusuk hati Gita, meski begitu ia harus kuat untuk mengubah pemikiran negatif suaminya. "Kamu gak akan mengerti apa yang aku pikirkan."
"Aku tahu kalau mas khawatir sama aku, tapi apa begini caranya?!" Pelan-pelan Arvin berusaha meraih tangan istrinya untuk ia genggam. Perasaan bersalahnya menjalar keseluruh tubuh. "Aku cuma gak mau kamu kenapa-napa! Apa itu salah?!"
"Kamu emang gak salah, yang salah itu aku. Kenapa gak dari dulu aja aku pergi biar kamu sadar betapa pentingnya sebuah keluarga? Aku sangat mencintaimu, mana mungkin aku meninggalkanmu disini sendiri? Kamu suamiku, sebagai kepala keluarga dan ayah dari anakku. Aku ini seorang ibu, coba kamu pikir, apa ada ibu yang tega supaya anaknya tersakiti? Gak akan ada, mas!" Gita benar-benar pergi dari dapur, tapi pandangannya tidak luput dari Arvin.
Saat Arvin ingin mendekati sang istri, tubuh wanita itu mendadak limbung kebelakang. Buru-buru Arvin menangkap tubuh sang istri yang terjatuh pingsan. Ada cairan yang mengalir dari paha sang istri. Kepanikan dan ketakutan yang selama ini Arvin pikirkan terjadi juga.
Maafkan aku. Kumohon jangan terulang kembali kejadian yang membuatku takut. Batin Arvin.
***
Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.
Happy reading♡
Sampai bertemu di special part berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGITA (SELESAI)
Teen Fiction(Sequel Aruna #1) "Kamu adalah ilusi yang saya harapkan." mereka pernah menyukai seseorang yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. akhirnya, dengan berat hati,mereka berdua mengubur masa lalunya dalam-dalam, melanjutkan kehidupan selanjutnya. ...