"Assalamualaikum bunda.... Athalia pulang...." teriak Athalia dari lantai bawah dengan membawa dua piala yang baru saja ia menangkan. Juara satu untuk lomba cerdas cermat, dan juara dua untuk lomba mewarnai.
Gita yang sedang berada didapur buru-buru menghampiri anak perempuan itu yang sudah berumur delapan tahun. Athalia yang sudah kelas dua SD. Kebahagiaan terus menghampiri keluarga Arvin.
Wanita itu berjongkok untuk menyamakan tinggi anaknya. "Wah... kamu bawa apa nak?" Mata Gita berbinar. Ditangan anaknya ada dua piala yang besar dengan bertuliskan 'juara satu lomba cerdas cermat tingkat kelas' dan piala yang satunya lagi bertuliskan 'juara dua lomba mewarnai tingkat kelas'.
Hati wanita itu menghangat saat melihat senyuman dari wajah anaknya. "Hadiahnya untuk ayah dan bunda, bunda senang gak?" Tanya Athalia dengan begitu polos. Perlahan senyum Gita terbit diwajahnya. "Bunda sangat senang, sayang. Kamu harus kasih tahu ayah, bagaimana? Kamu mau?" Athalia mengangguk antusias. Jarang-jarang ia bisa bertemu dengan ayahnya, seminggu yang lalu ayahnya itu ada urusan pekerjaan yang mengharuskan ia ke luar kota. Meski hanya beberapa hari, membuatnya terus kesepian. Walaupun ada Gita dirumah, tapi menurutnya terasa kurang lengkap kalau belum ada ayahnya.
"Kita kekantor ayah aja gimana?" Athalia mengangguk. "Memangnya boleh bunda?" Gita mengelus rambut anaknya yang dikuncir kepang satu dengan rambut berponi. "Boleh dong, yasudah kalau gitu ayo kita kekamar, kamu harus ganti baju dulu."
***
Sesampainya dikantornya Arvin, Gita dan Athalia disambut baik oleh karyawan yang bekerja dikantor milik suaminya. Saat mereka sudah didepan ruangan Arvin, Gita membuka kenop pintunya dengan Athalia yang memegang erat tangan ibunya. "Assalamualaikum, Ayah."
Pintu terbuka hingga menampilkan dua wanita kesayangannya secara tiba-tiba datang kekantornya. Pria itu yang sedang memegang kertas langsung menaruh asal dimejanya. Kini pandangannya beralih pada seseorang yang sudah mencuri hatinya. "Hei... peluk ayah dong!" Athalia langsung menghambur kearah Arvin dengan memeluknya. Bagi Athalia, ayahnya adalah pahlawan dikeluarganya. Orang yang paling berani, tidak mudah putus asa, bertanggung jawab, membuat ayahnya menjadi panutan baginya. Sama halnya dengan Gita, yang sudah menjadi bunda terbaik didunia. Wanita yang gak pernah ngeluh, gak pernah marah-marah, dan impian yang selama ini Athalia pendam itu kalau nanti dirinya sudah besar bisa menjadi seperti bundanya, wanita paling tangguh.
Kemudian Arvin menggiring dua wanita kesayangannya kearah sofa dengan Athalia yang berada dipangkuan sang ayah.
"Ayah tahu gak? Aku menang dilomba cerdas cermat dan lomba mewarnai." Arvin terkejut. Kemudian ia melirik kearah istrinya untuk meminta jawaban setelah anaknya itu bicara. Dan Gita hanya mengangguk sambil mengeluarkan dua piala dari paper bag yang ia bawa tadi.
"Wah... hebatnya anak ayah yang satu ini, ayah bangga sama kamu, nak." Arvin mencium pipi tembam anaknya. "Pialanya untuk ayah dan bunda."
Gita terharu mendengarkan secara langsung perkataan anaknya. Ia begitu menyayangi kedua makhluk yang sedang berada dihadapannya saat ini. Ia sangat bersyukur bisa mendidik anaknya dengan baik hingga akhirnya buah kesabaran itu menghasilkan yang sangat memuaskan.
"Karena anak ayah yang cantik ini juara, kamu mau ayah kasih hadiah apa?"
Athalia sempat berpikir-pikir. Keinginan apa yang belum pernah terkabul, oh iya ada satu permintaan yang belum terkabul yaitu main seharian bersama ayahnya. "Aku gak mau apa-apa dari ayah, tapi aku mau ayah ada buat main bersamaku seharian," diakhir ucapannya ia hanya tertawa, sedangkan kedua orangtuanya seketika hatinya mencelos. Begitu kejamkah Arvin saat tahu permintaan anaknya itu tidak bisa ia kabulkan? Arvin pikir dengan fasilitas yang ia berikan untuk kedua orang yang paling tersayang dapat diterima dengan senang hati, tapi apa ini? Mereka hanya minta waktunya saja untuk bisa bersama keluarganya. Lagi-lagi Arvin bertindak bodoh, dulu ia pernah melakukan kesalahan, tapi ia tidak mau mengulang kesalahan untuk yang kedua kalinya. "Maafkan ayahmu ini ya, nak. Ayah akan mengabulkan permintaanmu ini." Athalia tersenyum senang sambil memeluk leher sang ayah dengan erat. Hatinya begitu bahagia sejak mendengar jawaban sang ayah. Ia hanya mau diantar kesekolah sama ayahnya, ia hanya mau seperti teman-temannya yang suka diantar sekolah naik motor sama ayahnya sebelum berangkat kerja. Sedangkan dirinya? Hanya diantar sama bundanya, tanpa ayah disisinya. Perlakuan kecil itu yang membuat Athalia bersedih.
"Kamu udah makan belum?" Arvin tanya pada Gita yang hanya dijawab dengan gelengan. "Kita makan aja yuk diluar?"
"Kamu gak ada kerjaan lagi mas? Aku takut ganggu waktu kerja kamu." Arvin mengelus rambut halus milik sang istri. "Kalian berdua itu prioritas utamaku, untuk pekerjaan biar ku suruh saja Zayn yang menanganinya." Zayn, salah satu sekretaris Arvin yang memang sudah lama bekerja padanya. Bahkan Zayn sudah berkeluarga juga. Hubungan mereka begitu dekat, hingga Arvin tidak pernah untuk berpikir dua kali menganggapnya sebagai adiknya.
Mengapa Arvin mencari sekretaris laki-laki? Jawabannya cukup simple, hanya karena istri ia rela untuk terus mencari sekretaris yang cocok dengannya. Dan sekarang inilah, Zayn yang sudah menjadi karyawannya bertahun-tahun.
Saat mereka bertiga keluar ruangan, Zayn menghampirinya. Sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan. Arvin memang memanggil dirinya lewat telfon. "Selamat siang, Bu." Sapa Zayn dengan ramah pada Gita. "Selamat siang juga," Gita memang sudah kenal dengan Zayn selaku sekretaris sang suami. Bahkan sekretarisnya itu sering diajak Arvin untuk makan bersama keluarganya. Dan tak lupa Zayn membawa istrinya yang bernama Indy. Istrinya Zayn itu sudah menjadi teman baik Gita, makanya kalau mereka sudah ketemu lupa akan waktu.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya Zayn dengan sopan.
"Saya mau makan siang dulu sama anak dan istri. Kamu bisa menghandle jadwal saya kan? Kalau nantinya saya gak balik lagi kekantor, itu berarti kamu harus mengatur ulang jadwal meeting saya. Mengerti?" Zayn mengangguk mantap. "Baik pak, saya mengerti."
Sebelum mereka berdua benar-benar pergi, Zayn sempat berkata. "Hati-hati dijalan pak, bu." Sedangkan Gita dan Arvin hanya mengangguk dengan Athalia yang sedang digendong sang ayah. Sedangkan Zayn bisa bernapas lega sekaligus senang bisa melihat atasannya menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ah! Zayn jadi kangen istrinya juga yang lagi dirumah.
"Semangat kerja, Zayn. Demi keluargamu!" Gumam Zayn.
***
Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.
Happy reading♡
Sampai bertemu di special part berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGITA (SELESAI)
Teen Fiction(Sequel Aruna #1) "Kamu adalah ilusi yang saya harapkan." mereka pernah menyukai seseorang yang sekarang sudah menjadi milik orang lain. akhirnya, dengan berat hati,mereka berdua mengubur masa lalunya dalam-dalam, melanjutkan kehidupan selanjutnya. ...