bab 23

340 20 1
                                    

"Bara..."

Bara tersentak kaget melihat kedatangan Gita yang tiba-tiba muncul dihadapannya. "Ah elo ngagetin aja!" Sembari memberikan Gita tempat duduk disebelahnya.

"Gimana berhasil gak buat kuenya?"

Gita mengangguk dengan semangat sambil memberikan kedua jempol tangannya. "Berhasil dong!" Bara mengelus puncak kepala Gita.

Mba anggia memanggil mereka berdua agar masuk kedalam rumah. Udara malam hari memang sangat dingin membuat Gita harus memakai sweeter nya.

"Gimana rasanya, mba?" Tanya Gita.

Mba anggia melirik kearah Bara yang sedang mencoba kue buatan Gita. bolu kukus pandan salah satu kue yang Gita buat tadi dan dibantu oleh mba anggia. "Wah... ini enak banget, Ta. tuh kan apa gue bilang! lo tuh emang udah jago sebenarnya cuma gak percaya diri aja." Bara mengambil kue kedua, tanpa bicara langsung mencomot kue tersebut. 

"Bara kamu tuh gimana sih! seharusnya kamu bilang dulu mau ambil kuenya lagi. makan iya, tapi gak kasih komentar." Gita menahan tawanya, sedangkan Bara hanya nyengir tanpa merasa bersalah. "Seharusnya kalau aku mau nambah lagi makan kuenya, tanpa dikasih komentar pun pasti udah tahu jawabannya, ya pasti enaklah ini kuenya." 

Gita bernapas lega. usahanya tidak sia-sia. berkat bantuan mba anggia juga. Gita melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. kemudian setelah melihat mba anggia meninggalkan meja makan, Gita sempat berbisik kearah Bara. "Gue pulang, ya."

dalam sekejap Bara sudah siap untuk mengantarkan Gita pulang kerumah. "Lo mau kemana?" 

"Mau nganter lo pulang lah!"

"Gak usah, gue bisa minta jemput, kok."

"Gak ada penolakan! lagi pula gue sekalian mau keluar ada urusan." pipi Gita mengembung. "Yaudah deh." 

Gita menghampiri mba anggia yang berada diruang tamu, "mba anggia aku pulang dulu, ya." pamit Gita.

"Nanti main lagi kesini, hati-hati dijalan." pandangan Anggia tertuju pada Bara. "Kamu jaga athalla baik-baik, antar dia sampai rumaah dengan selamat." 

Bara memberi hormat pada kakaknya. "Siap, bos!" 

***

Setelah mengantar Gita pulang kerumah, kali ini Bara tidak langsung pulang, melainkan ketempat yang sudah ditunggu sama seseorang. sesampainya disebuah cafe yang tidak terlalu besar tapi banyak pengunjung. 

Meja nomor 15, ada seseorang yang ingin menemui dirinya sedari tadi memberinya banyak pesan. perempuan itu menunduk saat Bara menempati duduk dihadapannya. "lo mau apa ketemu sama gue?" 

Kepala itu mendongak, melihat sosok yang sebenarnya tidak mau ia lihat, tapi apa daya kalau ia harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Menyangkut masa depannya.

"Lo suruh gue kesini cuma buat diam aja? kalau gitu gue mau pulang, dari pada disini gue gak berguna." Saat Bara hendak mau berdiri, ada tangan yang mencegah kepergian Bara. ya, wanita yang mencegah kepergian Bara adalah Dinka. wanita yang dekat dengan Arvin tanpa adanya kejelasan. 

Bara mengurungkan niatnya, kemudian ia kembali duduk. Dinka mengambil bungkusan plastik yang berasal dari tas slempangnya. setelah itu ia memberikan kotak kecil kearah Bara. ia pun menerimanya. 

tangannya mulai gemetar saat membuka isi kotak tersebut. ketika melihat sebuah benda berukuran panjang menunjukan garis dua yang artinya dinyatakan positif. Bara memandang Dinka seolah yang ia lihat ini salah, tidak benar adanya. tapi Dinka menjawab dengan anggukan saja.

"lo yakin sama hasilnya?" 

"aku udah cek beberapa testpack yang lain, tapi hasilnya tetap sama, positif." 

Bara mengusap wajahnya dengan gusar. pikirannya mulai memikirkan yang seharusnya nanti dilakukan, bukan saat ini ia pikirkan. ini salahnya, seharusnya diwaktu acara perayaan ulang tahun perusahaan papinya ia tidak terlalu banyak minum, dan tidak terlalu banyak memikirkan Gita disaat Dinka ada bersamanya. 

Dinka menangis membuat Bara menjadi bingung. Ia mendekap tubuh wanita itu sambil merutuki kebodohannya yang sudah ceroboh. Bagaimana ini bisa terjadi? Mencintainya saja tidak, bagaimana mau menikahinya?

"Elo gak usah nangis, dilihat banyak orang." Dinka mendekap mulutnya agar nangisnya tidak terdengar oleh orang sekitar.

"Apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan itu terucap begitu saja, tanpa memikirkan situasi yang sudah seperti ini.

"Gugurin kandungan itu!" Ucapan itu tidak seharusnya terucap. Dinka terkejut melihat jawaban Bara. "Kamu bilang apa? Udah gila kamu! Aku gak mau ngelakuin apa yang kamu suruh!"

"Gue belum siap asal lo tahu!"

"Emangnya kamu kira aku juga udah siap menjadi orang tua diusia muda seperti ini?"

Dinka beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk pergi dari tempat tersebut. Mana mungkin ia harus membunuh janin yang tidak berdosa, walau sebenarnya ia ada karena sebuah kesalahan satu malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. "Gue anter lo pulang!" Dinka menepis tangan Bara. "Gak perlu! Gak usah pura-pura baik didepan aku."

"Ini udah malem, bahaya buat wanita pulang sendirian."

Dinka tersenyum getir sambil mengelus bagian perut yang masih rata. "Memangnya kamu peduli sama bayi yang ada dikandunganku? Enggak kan? Jadi gak usah pura-pura khawatir."

Ketika melihat Dinka pergi dengan memandangnya sangat kecewa ia harus berbuat apa? Bara mencintai Gita. Teman masa kecilnya itu yang membawa ia kembali.

Ponsel Bara berbunyi dan ia langsung menerima panggilan tersebut.

"Hallo mba, kenapa?"

"..."

"Ini aku mau pulang,"

"..."

"Aku lagi dicafe habis ketemu teman,"

"..."

"Sebentar lagi ya, mba."

Ternyata yang menelfonnya itu kakaknya, anggia. Setelah memutuskan panggilan tersebut Bara memilih pergi dari Cafe tersebut. Sebelum pergi, Bara menaruh uang kertas berwarna biru satu lembar diatas meja. Karena yang ia lihat ada juice jeruk dimejanya, pasti punya Dinka, begitu pikir Bara.

***

Tolong hargai dengan cara memberikan vote dan comment ^_^

Happy reading♡

SAGITA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang