Tujuh

1.2K 145 23
                                        

Sudah satu minggu sejak kepulangan Papa Selin dari rumah sakit, bahkan semuanya sudah kembali pada aktivitas masing-masing. Termasuk Selin yang kembali sibuk dengan skripsi. Heri juga menepati janjinya, meluangkan waktu untuk keluarga dan mengurangi jam kerjanya. Setidaknya dengan begitu Selin merasa bahagia, bebannya seolah terbuang begitu saja menikmati suasana keluarga yang ia inginkan.

Menuruni tangga dengan langkah cepat beserta senyum yang tidak pudar dari wajahnya. "Pagi Pa, Ma!" sapa Selin yang baru tiba diruang makan.

Menarik sudut bibirnya, "Pagi juga sayang." sahut Heri yang sudah siap dengan piring sarapannya, tentu interaksi seperti itu sudah terlihat selama satu minggu ini...tapi nyatanya masih sama. Seolah masih menjadi hal baru, Sania cukup memamerkan senyum sementara tangannya sibuk mengambil nasi dan lauk untuk suaminya.

Selin melipat tangannya diatas meja, "Terimakasih." ucapnya.

"Sudah mewujudkan salah satu impian Selin." lanjut Selin.

Heri menghela nafas, "Maafkan Papa yang selama ini terlalu jauh denganmu dan mama. Yang papa pikir hanya kerja dan kerja, membiayai hidup keluarga agar selalu kecukupan." ucapnya.

Hatinya sakit, membayangkan bagaimana lelahnya orang tua saat bekerja bahkan jatuh sakit pun mereka tidak akan mengeluh karena pada dasarnya, keluargalah yang menjadi penyemangatnya. Selin tahu itu, sesekali ia menjumpai ruang kerja Heri yang lampunya masih menyala saat tengah malam. Duduk berhadapan dengan layar komputer menahan kantuk, dan paling menyakitkan melihat Papanya terlelap bahkan ditempat yang tidak nyaman.

"Papa tidak salah, papa juga tidak jauh dari Selin ataupun mama, bagaimanapun kita selalu dihati dan pikiran papa karena itu sudah terbukti dari tujuan papa kerja. Jadi jangan minta maaf, iyakan ma?" jelas Selin yang meminta persetujuan Sania.

Sania mengangguk, "Iya sayang...kita keluarga, dan punya peran masing-masing." sahut Sania.

"Makasih sayang." ucap Heri.

Selin dan Sania hanya tersenyum menanggapi ucapan Heri.

"Sudah, dimakan sarapannya." ucap Sania yang sontak membuat anak dan suaminya tertawa.

Detik berikutnya, hanya ada suara dentingan sendok yang mengisi kesunyian ruang makan. Karena mereka lebih menikmati sarapan tanpa ada yang berbicara saat makan.
Setelah sarapan, Heri langsung berangkat begitu juga dengan Selin yang langsung bersiap-siap dikamarnya.

Seperti biasa, Selin menaiki mobil hitam miliknya yang dibelikan Heri sebagai hadiah masuk universitas impiannya itu kemanapun. Meskipun awalnya Selin menolak karena menganggapnya berlebihan, namun pada akhirnya ia memilih menerima setelah mendengarkan alasan kalau papanya itu tidak bisa mengantarnya kapanpun.

Selin berniat menyalakan audio mobilnya, sampai tiba-tiba sebuah suara berhasil mengejutkannya.

"Tidak perlu!" bentaknya yang membuat Selin terlonjak sembari memegangi dadanya.

Memejamkan mata sembari menyiapkan umpatannya, "Sial!" ucap Selin.

"Aku sudah pernah bilang sebelumnya, kapanpun itu kau pasti akan terkejut. Bahkan aku sudah menyuruhmu untuk terbiasa." jelasnya sembari mengendikkan bahu.

Kenapa jadi dirinya yang disalahkan? Selin tidak terima itu. "Salahmu! Seharusnya kau muncul dulu sebelum berbicara. Jangan berbicara dulu baru muncul." protesnya.

"Itu bukan salahku, tapi salahmu! Kemampuanmu yang masih diambang batas itu yang salah, harusnya kau bisa merasakan kehadiranku."

"Hah?! Aku bahkan sangat bersyukur kalau aku juga tidak bisa mendengar suaramu sekalian." ucap Selin dengan smirk-nya.

Oh My Ghost ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang