Duapuluh Sembilan

525 67 16
                                    

Minggu pertama sesi terapi, Jimmy menunjukkan perkembangan yang baik. Bahkan saat tidak ada jadwal
terapi pun Jimmy selalu menggunakannya untuk berlatih berjalan dibantu Justin yang rutin mengunjinginya.

"Apa masih sulit?" Tanya Justin saat menatih Jimmy.

"Hmm, masih kaku."

"Bagaimana kalau istirahat saja? Kau sudah berlatih dari tadi." Ucap Justin

"Tidak, aku ingin cepat pulang." Sahut Jimmy dengan optimis.

"Kak." Panggil Jimmy dan hanya dijawab deheman dari Justin.

"Apa kau masih menghubungi Selin?" Tanya Jimmy yang seketika membuat Justin bungkam.

Karena sejak Jimmy operasi, Selin tidak bisa dihubungi. Justin tidak tahu alasannya apa dan itu membuatnya berpikir apa yang dikatan Jimmy ada benarnya, kalau Selin lah yang menjadi pendonornya.

"Kak jawab!" Bentak Jimny saat Justin tidak juga menjawabnya.

"Tidak, mungkin karna dia pindah nomornya ganti?" Jawab Justin dengan alasan yang tidak pasti.

"Kenapa kau tidak kerumahnya?" Tanya Jimmy lagi.

"Aku tidak tahu rumahnya dimana."

"Apa ini masih lama kak? Aku ingin cepat pulang dan memastikan keadaan Selin sendiri." Ucap Jimmy setelah mendengar jawaban Justin yang membuat hatinya gelisah.

"Kau bisa cepat pulang jika cara  latihanmu ekstra seperti ini. Perkembanganmu juga sudah bagus. Jangan khawatirkan itu." Jelas Justin menyemangati adiknya.

"Ck, bilang saja semangat berlatih. Susah sekali." Ucap Jimmy menyindir Justin. Karna begitulah Justin dari dulu, dia selalu perduli tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui, karena gengsinya juga Justin masih sendiri sampai sekarang.

.
.
.

Hanya membutuhkan dua minggu untuk Jimmy menjalani terapinya, karena sekarang fungsi geraknya sudah kembali seperti dulu.

Jimmy benar-benar serius ingin segera pulih dan dua minggu sudah menjadi pembuktian keseriusannya. Ditambah dengan badan Jimmy yang sedikit terisi membuatnya di perbolehkan pulang.

"Selamat datang kembali di rumah." Sambut Mamahnya hangat sembari membukakan pintu untuk Jimmy.

"Makasih Mah." Sahut Jimmy dengan senyumnya.

Sejak hari itu, Jimmy jadi merasakan apa itu keluarga. Dia mulai membiasakan senyumnya untuk Mamah, Papah, juga kakaknya, Jimmy juga mulai membiasakan banyak bicara pada mereka.

"Jimmy langsung ke kamar aja Mah." Ucap Jimmy saat melihat Mamahnya berjalan ke dapur.

"Makan dulu." Cegah Mamahnya.

"Iya, nanti dari kamar Jimmy kesini lagi." Ucap Jimmy berusaha memberi alasan.

"Baiklah." Sahut Mamahnya pasrah.

Saat itu juga Jimmy melangkahkan kakinya menuju kamar, dia tidak merindukan kamarnya. Tapi dia ingin segera membaca surat yang Selin tulis untuknya.

Dan saat memasuki kamar, tujuan utamanya adalah laci. Mencari kesembarang laci yang ada dikamarnya, sampai ia menemukan amplop berisi surat di laci paling bawah.

"Apa aku masih bisa membaca suratnya sekarang? Tapi jika sudah terlambat pun aku tetap harus membacanya." Ucap Jimmy bermonolog dengan tangan yang memegang surat dan hati yang harap-harap cemas.

Perlahan tapi pasti, Jimmy membuka suratnya sampai satu lembar kertas berisi tulisan itu terpampang digenggaman tangannya.

Hai Jim...
Sebenarnya Aku tidak suka menulis surat:) Bahkan Aku tidak tahu harus mulai dari mana dan bagaimana cara mengatakannya. Tapi karena keadaan yang memaksa, sepertinya harus Ku tulis juga.
Hal pertama yang ingin Ku sampaikan adalah permintaan Maaf.
Maafakan Aku karena tidak bisa menepati janjiku untuk selalu ada disekitarmu. Aku tidak ingin mengatakan alasannya, karna janji yang sudah diingkari tidak butuh penjelasan.
Tapi Aku punya keinginan yang harus kamu kabulkan. Walaupun Aku tidak memenangkannya waktu itu, anggap saja ini permintaan pertama dan terakhir dariku, karna Aku hanya ingin kamu berhenti membenci siapapun anggota keluargamu. Mereka baik, dan Aku berkesempatan mengenal kak Justin. Asal kamu tahu, dialah yang membantuku mencari pendonor untukmu. Tapi sampai akhir Aku tidak menemukannya juga.
Jadi Aku rasa, Aku bisa memberikannya untukmu. Ingat! Aku tidak ingin kamu hidup masih dengan kebencian.
Aku mohon, hiduplah dengan cinta dan kasih sayang.
Dan satu lagi.. terimakasih sudah mencintaiku, Aku senang mendengarnya. Sebenarnya Aku tidak mau mengakui perasaan ini, tapi semakin Aku mengabaikannya semakin Aku memikirkannya,
cinta... Aku mencintaimu.
Sudah ya, Aku hanya ingin berpamitan:) berbahagialah dikehidupanmu,
Jangan sakit lagi karna Aku tidak bisa menolongmu, dan jangan menyendiri lagi. Karna Aku sudah tidak bisa menemanimu.
Kalau rindu padaku, lihat saja fotoku. Aku taruh juga di amplopnya. Anggap sebagai hadiah dan kenang-kenangan.
Selamat tinggal Jim...
Aku mencintaimu

-Selin-

Jimmy pun mencari foto yang Selin maksud di amplopnya.
"Kenapa? Kenapa kau melakukannya untuk ku Marselina?!" Ucap Jimmy dengan air mata yang sudah menetes dan tanganya yang mengepal perlahan.

"Kamu egois memaksaku bahagia dengan cara seperti ini. Kamu pergi membawa kebahagiaanku, bagaimana bisa aku bahagia?!" Ucap Jimmy seolah mengajak Selin bicara dengan foto Selin yang ada diggenggamannya.

Dan tidak ada jawaban tentunya, Jimmy pun menjatuhkan dirinya dikasur dengan tangan yang tak henti menarik rambutnya kasar.

"Kamu kalah waktu itu, aku yang punya tiga permintaan dan harus kamu kabulkan. Bukan aku yang harus mengabulkan permintaanmu." Ucap Jimmy frustasi.

"Kalau kamu tidak ingin mengabulkan ketiganya, satu saja tidak masalah Marselina... Asal kamu disini semua akan baik-baik saja. Ini permintaanku. Kabulkanlah Marselina, kamu sudah berjanji..." Ucap Jimmy dengan suara yang terdengar seperti bisikan.

Fisiknya terlalu lelah, pikirannya kacau dan hatinya yang terguncang membuatnya lelap dalam tidur dengan air mata yang mengalir.

To be continue...

-애인-

Oh My Ghost ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang