Duapuluh Enam

521 67 9
                                    

Sejak hari itu, tiap hari Selin hanya menghabiskan waktunya untuk mengunjungi Alvin. Menceritakan dongeng yang ia karang sendiri, dan sesekali bertanya meskipun ia tahu Alvin tidak akan menjawabnya.

"Kapan kak Alvin bangun?" Tanya Selin, pertanyaan yang tiap harinya ia tanyakan saat mengunjungi Alvin.

Sebenernya Selin sudah bosan menanyakan itu, sudah satu bulan lebih Alvin belum sadarkan diri.

Sedih, kecewa, menyesal, itulah perasaan Selin saat ini, melihat kondisi Alvin yang terbaring dengan perban yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. "Pasti sakit banget kan kak? Maafin Selin ya,..." Ucap Selin dengan isak tangisnya.

"Dua minggu lagi Selin wisuda, Kak Alvin bangun ya. Setidaknya lihat Selin di hari itu. Selin takut ngga punya waktu nemuin kak Alvin lagi." Ucap Selin karna mengingat percakapan orang tua Alvin dengan dokter Satu bulan yang lalu.

Flashback

"Jika dalam dua bulan pasien tidak sadarkan diri, kami menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit Singapura." Ucap dokter setelah memeriksa Alvin.

"Bagaimana jika sekarang saja. Apa tidak bisa?" Tanya papah Alvin.

"Biarkan pasien disini dulu, pilihan itu ada jika pasien belum sadar, tapi berdoa saja dia sadar sebelum dua bulan. Kami juga akan mengerahkan segalanya untuk pasien." Jelas dokter.

"Kalau begitu terimakasih dok." Ucap papah Alvin.

Saat itu juga Selin berlari sebisa mungkin menjauhi ruangan Alvin, dengan menahan air matanya.

Bruk

"Kamu nggapapa? Maafkan Saya." Ucap seseorang yang familiar ditelinga Selin.

"Dokter Justin." Panggil Selin saat mendongakkan kepalanya.

Dengan cepat Justin mengulurkan tangannya untuk membantu Selin berdiri. "Ayo bangun."

"Makasih." Ucap Selin yang langsung berjalan melewati Justin.

"Tunggu!" Cegah Justin.

"Ada apa kak?" Tanya Selin dengan membalikkan badannya.

"Bisa ngobrol sebentar?"

"Bisa."

Merekapun berjalan memasuki lift, menuju lantai paling atas dimana terdapat rooftop.

"Apa kamu lulus? Kenapa tidak ada kabar sama sekali." Tanya Justin mengawali percakapan.

"Selin lulus kok. Dan wisudanya bulan depan." Jawab Selin tanpa mengalihkan tatapannya dari pemandangan lampu-lampu gedung.

"Syukulah. Selamat ya." Ucap Justin dengan memandang wajah Selin dari samping.

"Makasih ya kak."

Hening, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, membiarkan wajah dan rambut mereka diterpa angin.

"Kalo gitu, Selin pulang dulu ya kak." Pamit Selin.

"Apa kamu sudah menyerah? Kamu udah lelah?" Tanya Justin yang berhasil menghentikan langkah Selin.

Air matanya sudah tidak bisa ia tahan lagi, "Selin harus gimana kak? Selin harus gimana?!" Tanya Selin dengan bahu yang bergetar hebat.

Justin panik melihat Selin yang tiba-tiba menangis, "Maaf." Ucap Justin dengan memeluk Selin.

"Biarkan Selin menjadi pendonornya, tapi lakukan itu setelah wisuda selesai." Ucap Selin yang sudah mulai tenang.

"Ngga bisa, kamu ngga boleh berkorban."

"Tapi Selin harus gimana? Sekarang Selin udah ngga punya waktu untuk mencari pendonor lagi, jadi biarkan Selin yang melakukannya."

"Kamu harus menemuinya saat dia sadar nanti."

"Tapi siapa yang menjadi pendonornya? Bagaimana kalau tidak ada? Selin udah ngga bisa bantu. Bener-bener udah ngga ada waktu kak."

"Biarkan aku yang berusaha, berdoa saja semoga Jimmy bisa menemukan pendonornya." Ucap Justin berusaha meyakinkan.

Tidak ada jawaban, karna Selin memilih menangis dalam pelukan Justin.

"Maafin Selin ya kak." Ucap Selin saat dirinya sudah merasa lebih baik.

"Tidak usah minta maaf." Ucap Justin yang masih setia memeluk Selin, mengusap rambut Selin dengan lembut.

"Makasih."

"Kenapa kamu nangis? Mau cerita?" Tanya Justin melepas pelukannya dengan kedua tangan yang memegangi bahu Selin.

"Selin ngga bisa cerita, maaf ya kak."

"Tak apa, jangan meminta maaf terus. Kau ini ngga salah." Ucap Justin merubah nada bicaranya

Selin pun tersenyum mendengar ucapan Justin.

"Gitu dong, senyum kan cantik."

"Sekali lagi Makasih."

Flasback end

Ceklek

Suara pintu terbuka berhasil menyadarkan lamunanya.
"Sel, makan dulu yuk!" Ucap Salwa dari balik pintu.

"Duluan ya, nanti gue nyusul. Mau ngomong bentar sama kak Alvin." Sahut Selin.

"Yaudah, jangan lama-lama. Didepan udah ada orang tuanya kak Alvin." Ucap Salwa lalu menutup pintunya.

"Makasih ya kak udah bertahan sejauh ini. Kak Alvin pasti bisa berjuang lagi, sedikit lagi. Selin yakin, Selin sayang sama kak Alvin." Ucap Selin sebelum menyusul Salwa.

"Kalo gitu Selin pergi dulu ya kak, udah diajak makan Salwa. Kak Alvin sama Papah Mamah dulu." Pamitnya sebelum benar-benar meninggalkan Alvin.

"Sel, lo jangan diem terus dong. Gue harus apa biar lo kembali." Ucap Salwa memulai pembicaraan selagi berjalan menuju kantin.

"Maafin gue kalo gue berubah. Gue ngga tau harus gimana. Disaat kondisi kak Alvin begitu karena gue, gue harus seneng-seneng shopping cari kebaya? Gue harus seneng-seneng sementara kak Alvin sakit?" Sahut Selin dengan tatapan lurus, entah apa yang dilihat.

"Lo ngga boleh nyalahin diri lo, bukan lo yang nabrak kak Alvin." Ucap Salwa dengan menghentikan langkahnya.

"Tapi karena gue kak Alvin ditabrak."

"Sel... Lo ngga boleh gini, kak Alvin udah bertahan sejauh ini. Oke, kak Alvin kecelakaan emang karena lo, tapi kak Alvin bertahan juga karna lo." Ucap Salwa memegang kedua tangan Selin dan menatap Selin seolah semuanya akan baik-baik saja.

"Gue cuma pengen lihat mata kak Alvin, senyum kak Alvin, dan denger suara kak Alvin sebelum hari wisuda. Karna setelah hari itu entah gue masih ada di dunia ini atau engga." Batin Selin dengan senyum tulus yang ia tujukan untuk Salwa.

"Makasih ya Sal udah jadi sahabat
baik buat gue." Ucap Selin dengan memeluk Salwa. Membiarkan air matanya mengalir begitu saja. Karna Selin merasa lebih baik setelah menangis akhir-akhir ini. Mengabaikan tatapan orang-orang yang melihat keduanya aneh.

.
.
.
.
.
.
.

To be continue...

-애인-

Oh My Ghost ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang