Sembilan

996 135 17
                                    

Mata penuh binar itu terus menatap objeknya, mengamati setiap gerakan yang begitu menggemaskan untuk tersimpan di dalam otaknya. Senyuman pun mulai terbentuk menghiasi wajah tampannya, "Selamat pagi," sapanya dengan suara lembut.

Selin yang masih menggeliat dengan mata terpejam pun menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara yang memasuki telinganya---sebentar terdiam---Selin merasa ada yang aneh ketika suara itu menyapanya dan benar saja, saat ia membuka matanya sempurna seorang laki-laki tengah berdiri dengan eye smile yang tercetak di wajahnya.

"Hmm, selamat pagi juga," balas Selin acuh. Sebenarnya ada sedikit rasa terkejut tapi mau bagaimana lagi? ini bukan pertama kalinya, sudah pasti dirinya pun sudah mulai terbiasa.

Selin dengan paksa meninggalkan alam mimpinya, meski matanya kembali terpejam nyatanya perempuan itu sudah bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. "Apa kau selalu disini saat malam?" tanyanya tanpa melihat objek yang diajak bicara.

Bolehkah ia membawa Selin ke rumahnya? Jimmy ingin sekali memilikinya---untuk dijadikan pajangan---tidak, ia menahan tawanya saat ide gila itu melintas di pikirannya.
"Sepertinya ide yang bagus," sahutnya berniat menggoda.

Mata sipit itu tiba-tiba saja terbuka sempurna, menatap Jimmy yang berbicara tanpa epkspresi. "Yak! itu bahkan sebuah pertannyaan, apa kau bodoh?" tanya Selin gugup sembari menahan jantungnya yang berdebar.

"Aku akan menggunakannya," ucap Jimmy yang membuat tanda tanya dipikiran Selin.

"Jangan pura-pura lupa! siapa yang menang taruhan kemarin hmm?" lanjutnya seolah mengerti kebingungan Selin yang masih sibuk mencerna satu persatu kalimatnya.

Selin yang semula memasang raut percaya diri akan kemenangannya tiba-tiba saja berubah datar saat Salwa datang dengan kesedihannya. Bahkan tanpa bertanya saja sudah jelas siapa yang menang, tapi Selin masih menaruh harapannya jadi ... apa boleh buat.

Selin menangkup kedua bahu Salwa saat perempuan itu sudah duduk di kursinya. "Kenapa? Apa kau akting? Dokter itu mau menolongmu kan?" tanyanya memastikan.

"Andai dia sebaik yang kau pikir," jawab Salwa dengan tatapan kosong.

"Yang benar saja? Hanya menolong tidak mau?!" ucap Selin lantaran tidak habis pikir.

"Ya ... dia bilang kalau mau minta bantuan yang lain dia bisa, tapi kalau meminta bantuannya untuk membohongi perasaan, bahkan membohongi orang tua dia tidak mau," jelas Salwa.

"Pembohong!" Kali ini bukan Selin yang bersuara, tapi Jimmy.

Selin menatap Jimmy terkejut dan ingin menannyakan maksud dari perkataan Jimmy. Tapi tidak sekarang tentu saja, ada Salwa yang tidak mendengar ataupun melihat keberadaan Jimmy.

"Lalu kau bagaimana?" tanya Selin cemas.

"Mau bagaimana lagi? aku harus datang ke acara makan malam itu minggu depan," sahut Salwa dengan ekspresi yang mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.

"Kau tidak bisa berbohong di depanku Sal. Kalau kau tidak mau kau punya hak untuk menolak. Kau hanya perlu melakukan apa yang kau suka." ucap Selin meyakinkan dengan genggaman tangannya pada Salwa.

"Tapi untuk kali ini aku tidak bisa, dengan begitu mungkin saja aku melukai perasaan orangtuaku."

"Sal..." Selin kehabisan kata-kata, tidak ada  lagi yang bisa ia ucapkan. Salwa yang ia kenal dari dulu memang seperti ini.

Salwa tersenyum saat melihat Selin yang berusaha menahan air matanya. Menatap lekat mata yang berair itu sembari bersyukur di dalam hatinya karena bisa memiliki sahabat seperti Selin."Udah ya, aku capek. Makasih juga udah sempetin waktu kesini, aku pulang dulu," pamit Salwa.

Oh My Ghost ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang