TIGA
Malam itu sama seperti malam biasanya. Yaitu aku dan seluruh anggota keluargaku berkumpul di ruang tengah, sambil mengerjakan kegiatan kami masing-masing. Ini adalah peraturan bunda, tidak boleh ada yang beranjak dari ruang tengah kecuali kami sudah sangat mengantuk, dan itu mulai berlaku jam sembilan ke atas.
Dulu waktu aku kecil, aku sangat senang peraturan itu diterapkan oleh bunda, karena dengan begitu kami sekeluarga tetap punya waktu untuk bersenda gurau meskipun saat pagi semuanya sibuk. Tapi seiring beranjaknya waktu, itu jadi sedikit menyusahkanku, terlebih waktu aku masih pacaran dan tiba-tiba pacarku meminta video call. Tapi untungnya seluruh anggota keluargaku tidak pernah tidur lebih dari jam sepuluh, jadi aku masih punya waktu untuk sekedar bertukar sapa beberapa menit dengan pasanganku sebelum aku ketiduran sendiri saking tak tahannya menahan kantuk.
"Ayah kita dapat undangan lagi nih!" seru bunda yang baru kembali dari pintu depan.
"Ini kan lagi bulan baik, ya wajarlah bun kita dapat banyak undangan," jawab ayah yang sedang membaca koran.
"Ayah nggak peka banget sih, maksud bunda tuh ya, buat apa kita terima banyak undangan, kalau kita nggak kunjung ngirimin undangan balik," balas bunda sambil duduk di samping ayah.
Kulihat ekspersi kak Al langsung berubah kecut mendengar penuturan bunda.
"Temen bunda udah nimang cucu loh yah, bunda kapan bisa kaya temen bunda yah?"
Aku terkekeh melihat bunda, sepertinya bunda akan tetap kekeuh membahas topik yang sama dengan sedikit membelotkan isinya, sebelum kak Al ikutan nimbrung.
"Ayah jawab ih!"
"Waktu anak-anak udah nikah lah bun."
"Nah iya. Tapi kapan ya yah kita nikahin anak-anak kita? Kalau Gigi sama Yoyo nggak mungkin lah ya kita nikahin sekarang, kan masih sekolah, tapi kalau Al sih udah waktunya kita nikahin dia."
Kak Al yang daritadi mencoba menghiraukan ucapan bunda dengan cara menyetel volume televisi menjadi besar, akhirnya menoleh ke arah bunda. "Bunda apaan sih? Al itu baru dua puluh empat tahun, jangan bersikap seolah-olah Al udah jadi perawan tua ya!" Lulusan dengan predikat cumlaude salah satu universitas negeri di Jakarta itu mendengus sebal.
"Bunda waktu seumuran kamu udah nikah dan punya kamu loh Al."
"Jaman sekarang kan beda sama jaman dulu bun. Lagian Al tuh baru aja menikmati dunia kerja, jadi jangan paksa Al buat mikir nikah dulu."
"Kamu dibilangin kok ngebantah mulu sih! Ini juga demi kebaikan kamu," decak bunda.
"Ya udah oke, Al bakal nikah tapi sama pilihan Al sendiri, oke?"
"Pilihan kamu siapa? Pacar kamu yang sekarang? Bunda nggak bakal setuju sama dia, tapi kalau kamu mau bunda punya kandidat yang cocok banget sama kamu."
"Bun yang nikah itu Al, bukan bunda!" sela kak Al dengan nada sedikit meninggi.
"Ya udah kalau masih sama pilihan kamu itu, kamu nggak usah nikah sekalian, karena bunda nggak akan pernah setuju kamu sama anak yang temperamennya nggak stabil gitu." Bunda tersenyum kecut lalu kembali fokus menonton televisi.
Jika sudah begitu kak Al memilih diam. Dan melanjutkan menonton acara kesukaannya.
Percayalah ini bukan kali pertama kak Al dan bunda bertengkar masalah itu, makanya kami semua memilih diam aja, karena membela salah satu hanya akan makin memperkeruh keadaan.
Sejujurnya hal itu juga ikutan membuatku trauma. Makanya aku memilih untuk backstreet selama hampir satu tahun, karena aku takut berakhir berdebat dengan bunda seperti rutinitas kak Al semenjak dia mengenalkan pacarnya pada ayah dan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahesagita✔️
FanfictionKalau kamu baca kisahku. Maka kamu akan: -Ngakak ngelihat betapa kocaknya seluruh anggota keluargaku, atau mungkin kamu bakal jatuh cinta sama tingkah bunda. -Jungkir balik, melayang secara estetik sama kisah aku dan Mahesa yang berasa sport jantu...